Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat belas
Malam baru saja menyelimuti mansion megah milik Abraham. Pria muda itu baru usai pulang dari perusahaannya yang menggurita, disambut oleh puluhan pengawal dan pelayan di kediamannya yang kini berbaris rapi di depan pintu utama. Di antara mereka, seorang gadis berdiri paling depan, tubuhnya kecil, hampir tenggelam di antara barisan pelayan lainnya jika seandainya dia tidak mengambil tempat di depan sana.
Gadis itu adalah Firda, gadis yang baru saja dibeli Abraham seharga satu miliar dari pamannya.
Abraham turun dari mobil mewahnya, langkahnya tegas dan dominan, membuat semua yang berada di sekitarnya langsung menunduk hormat. Namun, pandangannya segera terhenti pada Firda. Wajah gadis itu terlihat pucat, nyaris tanpa darah, dengan kaki yang tampak gemetar hebat.
Kening Abraham berkerut. “Firda?” tanyanya tajam.
Firda si empunya nama segera mengangkat wajahnya perlahan yang semula hanya menunduk dalam. Binar matanya tampak berpendar sebab menyiratkan ketakutan yang teramat sangat saat tatapannya bertemu dengan manik tajam pria itu. "S-Selamat malam, Tuan," sapanya. Suaranya begitu kecil, nyaris tenggelam di antara desiran angin.
Tanpa pikir panjang, Abraham melangkah mendekati gadis itu. Tangannya terulur hendak menyentuh pipi pucatnya, tetapi seketika Firda mundur selangkah. Gerakan itu refleks, hampir tanpa disadarinya. Mata Abraham melebar kala mendapati penolakan itu dari seorang gadis yang harga dirinya telah Abraham beli. Kini tangan Abraham hanya bisa menggantung di udara.
“Apa-apaan?” gumam Abraham dengan nada rendah yang sarat dengan dominasi. Ekspresi wajahnya kini terlihat sangat sinis, tampak jelas bahwa dia merasa tidak senang dengan penolakan yang Firda tunjukkan kepadanya.
Teguran itu sontak saja membuat tubuh ringkih Firda seketika tersentak. Wajahnya kian memucat pias. Tubuhnya langsung bergetar tanpa bisa dirinya sendiri kendalikan. Seakan rasa takut akan kemarahan pria di hadapannya ini langsung menguasai seluruh saraf-sarafnya.
Firda kini hanya bisa menunduk dalam-dalam, pupil matanya bergetar dan berkaca-kaca menatap ujung sandal yang dirinya kenakan saat ini. "Maafkan aku, Tuan," pintanya hampir menangis. "Aku tidak bermaksud... aku ... Itu hanya...." katanya terbata-bata, tak sanggup menyelesaikan ucapannya karena teramat ketakutan. Suaranya bahkan hampir pecah.
“Hanya? ....” sambung Abraham menanti dengan tak sabar. Matanya menyipit, menatap gadisnya seolah mencoba membaca pikirannya.
Firda menggigit bibir, takut untuk menjelaskan lebih jauh. Dia hanya merasa ... Tuan Abraham masihlah pria asing baginya—seseorang yang baru dikenalnya hari ini namun telah membawanya pergi dari tempat yang dikenalnya seumur hidup. Baginya, Abraham bukan hanya asing, tetapi juga menakutkan dan berbahaya.
Abraham menghela napas berat, jelas menahan diri untuk tidak meledak. Gadisnya benar-benar menguji kesabarannya. Dirinya sudah menanti cukup lama penjelasan dari bibirnya, tapi gadisnya justru hanya berdiam diri.
Tes....
Tanpa bisa dicegah, air mata Firda menetes jatuh, mengalir membasahi pipi tirusnya yang kian pias dan pucat pasi. Helaan napas Abraham yang berat itu terdengar sangat menyeramkan di pendengaran Firda. Ketakutannya merongrong, menguasai seluruh jiwanya hingga ia tak bisa menahan air matanya lagi.
"Maaf, Tuan... Maafkan aku. Aku mohon, j-jangan marah," pintanya memohon dengan terisak-isak. "A-Aku ha-hanya takut... K-Kita b-belum menikah dan Tuan hendak menyentuhku sembarangan. A-Aku tidak mau jadi p-pelac-ur ...." Firda menjelaskan dengan susah payah karena isak tangisnya yang terus meronta hendak keluar.
Penjelasannya yang tergagap-gagap itu, sayangnya membuat Abraham sulit memahami penjelasannya dengan baik. Namun, pria itu cukup mengerti inti dari ucapan gadisnya.
Abraham sontak memasukkan tangannya ke saku celana hitam yang saat ini dirinya kenakan. Gadisnya ketakutan disentuh olehnya. Gadisnya hanya ingin disentuh jika telah resmi dinikahi.
Sudut bibir Abraham berkedut karena menahan senyumannya yang hendak terbit. Mana mungkin dirinya bisa marah jika gadisnya terlampau menggemaskan seperti ini? Justru Abraham merasa tersanjung karena gadisnya sangat menjaga diri. Kelak ketika dirinya sudah menjadi suami Firda, maka ia akan menjadi pria yang pertama bagi gadis itu.
Fakta itu membuat hati Abraham yang semula panas dan tubuhnya yang terasa lelah sehabis bekerja ... Kini semua beban berat itu seolah hilang dan sirna begitu saja. Namun, tetap saja ia masih merasa marah melihat kondisi gadisnya yang saat ini tampak sangat memprihatinkan seperti orang sakit.
Abraham lekas menoleh ke arah kepala pelayan yang berdiri tak jauh darinya. “Ella!” sentaknya kepada wanita paruh baya itu. Suara Abraham terdengar sangat keras, membuat semua orang, termasuk Firda, langsung terlonjak karena kaget.
Kepala pelayan paruh baya itu segera melangkah maju dengan wajah cemas. “A-Ada apa, Tuan?” tanyanya telah mempersiapkan diri untuk menanggung kemarahan Tuannya. Ella jelas tahu persis apa yang menyebabkan Tuan Abraham bisa semarah ini.
“Kamu masih bertanya kenapa? Di mana otakmu? Atau perlu kubelah saja kepalamu dan kucongkel otakmu sekalian supaya kamu benar-benar tidak punya otak hm?" tanya Abraham dengan intonasi datar, tapi seluruh pelayan dan pengawalnya tahu persis bahwa Tuan Abraham kini tengah sangat murka.
Jika yang bicara adalah orang biasa, mungkin itu hanyalah ancaman belaka. Tapi ini adalah Abraham, pria yang ucapannya sangat mudah untuk pria itu realisasikan. Tubuh Ella gemetar ketakutan. Dia segera jatuh berlutut karena kakinya tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya sendiri.
"Ampun, Tuan ... ampuni saya." Wanita paruh baya itu memohon dengan berderai air mata karena ketakutan.
Pemandangan yang kini Firda saksikan tepat di depan matanya membuat rasa takut yang dirinya miliki terhadap Tuan Abraham semakin membesar. Berdiri tepat di depan Abraham membuat Firda dapat merasakan dengan sangat intens bagaimana menyerahkannya kemarahan pria itu. Oksigen seakan menghimpit paru-paru Firda hingga membuatnya kesulitan bernapas dengan normal.
Abraham mengabaikan permohonan kepala pelayannya. Dengar suara dingin, penuh amarah yang terpendam dia bertanya, "Kenapa Firda terlihat seperti ini? Apa yang kalian lakukan sepanjang hari hm?”
Ella tergagap, tenggorokannya seketika tercekat hingga dirinya tak mampu mengeluarkan suara sepatah kata pun untuk menjawab.
Menyaksikan hal itu, tanpa bisa dicegah rasa bersalah segera menggerogoti hati Firda. Bagi Firda ... dirinya lah yang patut disalahkan di sini, bukan Ella. Wanita paruh baya itu telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
Takut jika wanita itu akan disalahkan karena dirinya, dengan suara lirih, Firda akhirnya berkata, “Ini bukan salah Ella, T-Tuan. A-Aku hanya... belum makan apa-apa sejak kemarin malam.”
Pengakuan Firda tersebut sontak saja langsung membuat semua mata yang ada di halaman ini tertuju sepenuhnya kepada gadis itu.
Spontan Abraham memutar tubuhnya kembali ke arah gadisnya, tatapannya kini semakin tajam. “Belum makan? Sejak kapan?” tanyanya beruntun, bak sedang mengintrogasi gadisnya.
Abraham bukannya tak mendengar kata-kata Firda di akhir kalimatnya. Dia bertanya dengan maksud menitah gadisnya untuk mengulangi lagi pengakuannya itu.