NovelToon NovelToon
Long Journey

Long Journey

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Epik Petualangan / Dunia Lain / Ahli Bela Diri Kuno / Penyeberangan Dunia Lain / Elf
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Yudha Lavera

Kejadian pilu dan tak terduga menimpa Bjorn saat polisi menuduhnya sebagai kaki tangan kriminal dan ditembak mati secara brutal.

Setelah kematian yang tak terduga, ia bangkit dan kebingungan, menemukan dirinya di dunia kayangan, tempat legenda-legenda mitologi berkumpul.

Bjorn beradaptasi dengan kehidupan baru di dunia kayangan, meninggalkan masa lalunya sebagai petarung dan menemukan kedamaian di antara orang-orang yang menerimanya.

Sampai serangan kejam tentara berzirah hitam misterius tiba, membangkitkan kemarahan dan kesedihan mendalam, sehingga Bjorn memutuskan untuk berkelana mencari jawaban atas kejahatan itu.

Perjalanan panjangnya pun dimulai ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudha Lavera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Rival?

"Ular itu sudah tak ada, kami yang akan melapor ke serikat," jawab Amoria dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk mata para bangsawan yang baru saja datang.

Keempat bangsawan itu memperhatikan seisi gua dengan pandangan menilai. Mata mereka menyapu reruntuhan dan jejak-jejak pertarungan yang masih tersisa, alis mereka berkerut dalam kebingungan. "Lalu di mana bangkai ular itu?" tanya Larson, pemimpin regu yang tak dikenal, dengan nada arogan.

"Cuma ada potongan ekornya," jawab Amoria, menyodorkan potongan ekor Kundea yang masih bergeliat lemah di tangannya.

Salah seorang dari kelompok bangsawan itu mendekati Larson dan berbisik di telinganya. Ekspresi Larson berubah menjadi serius, matanya menyipit curiga. Hawa mencurigakan menyelimuti mereka, seolah-olah ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

"Baiklah, terima kasih atas informasinya," ucap Larson dengan nada datar, setelah menerima bisikan penuh rahasia dari rekannya. Ia memberi isyarat pada timnya untuk bersiap pergi.

"Ayo kita kembali" perintahnya, dan ketiga rekannya yang berbalut zirah besi lengkap segera mengikutinya menuju pintu keluar gua.

Saat mereka berbalik untuk pergi, Larson tiba-tiba berhenti. Ia menatap Bjorn dengan tajam, sebuah senyum aneh tersungging di bibirnya. Senyum itu bukanlah senyum keramahan, melainkan senyum yang penuh arti dan misteri.

"Sampai bertemu kembali" ucapnya dengan nada rendah yang sulit diartikan, lalu berbalik dan meninggalkan gua.

Bjorn tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia tetap duduk dengan tenang, memangku kepala Neil yang sedang pingsan, wajahnya datar dan tak terbaca.

...****************...

"Akhirnya kita sampai!" seru Amoria lega, mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Ia mendorong pintu serikat lebar-lebar, membiarkan anggota The Punish lainnya masuk dengan gaya bak pahlawan yang kembali dari medan perang. Januza dengan bangga menggendong potongan ekor Kundea yang sebesar batang pohon, sementara Neil berjalan dengan gagah di samping Bjorn.

Begitu mereka masuk, suasana di dalam gedung serikat mendadak riuh. Para petualang yang sedang berkumpul di sana menatap The Punish dengan penuh rasa ingin tahu.

"Apakah itu mereka?"

"Mereka itu regu baru, 'kan?"

"Sepertinya mereka berhasil menjalankan misi."

"Wow, mereka hebat sekali!"

Amoria tersenyum bangga, menikmati perhatian yang mereka dapatkan. Ia berjalan dengan angkuh menuju meja resepsionis, lalu meletakkan potongan ekor Kundea di hadapan Thena.

"Thena, aku mau uangnya" katanya dengan nada memerintah.

Thena terkejut melihat potongan ekor yang begitu besar. Ia menelan ludah, lalu berkata dengan gugup, "Maaf, Amoria... sebenarnya kami memiliki sedikit masalah, dan kemungkinan kalian hanya akan mendapatkan 30% dari hadiahnya"

"Hah? Kenapa bisa begitu?" Amoria berteriak dengan marah. "Kami sudah menyelesaikan misinya!" Ia menarik kerudung jubah Sulpha yang ia pakai, lalu mendekatkan wajahnya ke depan kacamata Thena. "Lihat?! Dahiku! Apa kau pikir dengan 30% hadiah itu bisa menutupi warna belang di dahi ini karena terlalu lama terkena sinar matahari?"

Thena mundur dengan takut, menghindari Amoria yang semakin mendekat. "Ma-maaf, Amoria... tapi ini perintah dari larson."

"Larson? Pria kunyuk dengan zirah mengkilap itu?"

Suara tapak sepatu besi yang semula samar-samar kini semakin mendekat dan jelas, mengiringi sekelompok sosok yang menyebalkan itu kembali memasuki gedung serikat. The Punish, menoleh dengan heran dan sedikit jengkel.

"Sepertinya ada yang memanggilku" ucap Larson dengan nada mengejek, muncul dari belakang mereka.

Larson tidak datang sendiri. Ia bersama regunya menghampiri The Punish yang masih berada di depan meja Thena. Suasana mendadak hening dan tegang. Para petualang di dalam serikat menghentikan aktivitas mereka dan menatap kedua kelompok itu dengan penuh rasa ingin tahu.

"Maaf, jika aku ikut campur" kata Larson dengan senyum sinis. "Tapi ada sesuatu yang perlu kami luruskan"

"Karena yang layak mengalahkan ular itu adalah kami, Silver Judge" lanjutnya dengan nada angkuh.

Tiba-tiba, muncul seorang pria muda dari belakang regu Larson. Rambutnya berwarna perak, ia mengenakan jubah bersih dan zirah yang berkilauan mewah. Sekelompok bangsawan itu menyingkir, memberikan ruang untuk pria itu berjalan ke depan. "Lebih tepatnya, beliau yang layak mengalahkannya" kata Larson sambil menundukkan kepalanya dengan hormat. Rekan-rekannya pun mengikuti. "Dia adalah Tuan Yver" Larson memperkenalkan pria itu.

Yver berdiri tegak di hadapan Bjorn, aura kekuatan memancar dari tubuhnya, membuat orang-orang di sekitar mereka merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia adalah pemimpin Silver Judge, regu petualang yang beranggotakan para bangsawan unggul, terlatih sejak kecil dalam berbagai bidang, termasuk seni pertempuran. Yver sendiri dikenal sebagai bangsawan paling gigih dan ambisius, pemimpin regu terkuat dengan peringkat tertinggi di serikat.

Suasana di antara keduanya terasa begitu pekat. Bjorn dan Yver, dua sosok yang berhadapan, terjebak dalam keheningan yang menyesakkan.Tatapan tajam Bjorn seperti menusuk Yver, seolah ingin menguliti setiap lapisan keberaniannya.

Yver, yang merasa tak nyaman di bawah tekanan tatapan itu, akhirnya menghela napas panjang. "Matamu menyilaukan" ucapnya, berusaha memecah ketegangan yang mencekik.

Namun, bukannya meredakan situasi, Yver justru mencabut pedangnya. Kilatan cahaya tajam terpancar dari bilah pedang yang baru saja keluar dari sarungnya. "Bagaimana jika matamu hilang satu?" ancamnya dengan nada dingin.

Bjorn tetap bergeming. Dengan tenang, ia menjawab, "Aku tidak keberatan... Itu pun kalau kau bisa"

Tantangan Bjorn membuat urat di dahi Yver berkedut. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya kembali dengan senyum tipis yang sarat makna. "Begitukah?" balasnya, lirih namun penuh ancaman.

"Hei.. Jauhkan pedang jelek itu dari Ketua kami!" seru Januza lantang, memegang erat tombak besarnya sambil melangkah mendekati Bjorn dan Yver.

Namun, sebelum ia sempat menggerakkan tombaknya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Wush! Tombak besar yang digenggamnya terpental dengan kecepatan mengerikan, menancap dalam dinding bangunan serikat.

Januza terpaku. Ia menatap tombaknya dengan tak percaya, lalu mengalihkan pandangannya pada Yver yang kini menoleh ke arahnya dengan tatapan dingin. "Jika kau ulangi kalimat tadi, selanjutnya tanganmu yang akan hilang" ucap Yver dengan nada datar yang menyiratkan ancaman nyata.

Pikiran Januza berpacu. Bagaimana bisa? Gerakan macam apa itu? Aku bahkan tidak menyadarinya sama sekali! Aku sudah benar-benar memegang tombakku dengan erat. Apakah ayunan pedangnya bisa melontarkan tombak besarku sekuat itu? Tapi ... aku yakin sekali pedangnya tidak bergerak! Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Kau.. Yver? Lancang sekali pedangmu" ucap Bjorn.

Yver menoleh, mengangkat kedua alisnya dengan ekspresi pura-pura tak mengerti. "Hmm?" tanyanya dengan nada mengejek.

Dalam sekejap, suasana berubah. Tiga helai rambut Bjorn terjatuh ke lantai, diikuti garis tipis darah yang muncul di pipinya. Di saat yang sama, tangan Yver yang memegang pedang tampak gemetar, memar kebiruan terlihat jelas di kulitnya.

Semua terjadi begitu cepat, secepat kilat. Orang-orang di sekitar mereka bahkan tak menyadari pertukaran serangan yang baru saja terjadi.

"Kau benar-benar mengincar mataku?" desis Bjorn, matanya menyipit tajam.

"Ah, maaf, tidak sengaja," jawab Yver enteng, disertai tawa kecil yang terdengar sangat menjengkelkan.

"Terima kasih hiburannya, The Punish" ucap Yver dengan nada datar, seolah baru saja menyaksikan pertunjukan sandiwara biasa. Ia dengan santai memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya, lalu berbalik badan. "Dan... ehm, Bjorn?" lanjutnya, seakan baru mengingat sesuatu. "Senang berkenalan denganmu. Kuharap kau tidak cepat mati" Kalimat terakhir itu dilontarkan dengan nada mengejek yang terselubung.

Bjorn hanya membalas dengan senyum tipis. "Kuharap memar itu tidak menghambat pedangmu," balasnya.

Yver tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkahnya. "Thena" panggilnya pada seseorang di dekatnya. "Berikan regu Bjorn hadiah yang layak dan juga bonusnya" Ia kemudian meninggalkan kerumunan tanpa menoleh lagi. Tak ada seorang pun yang menyadari senyum lebar yang tersungging di wajah Yver saat ia keluar dari bangunan serikat. Seolah-olah, ia baru saja mendapatkan sesuatu yang sangat berharga.

...****************...

Markas The Punish saat ini berubah menjadi lokasi konstruksi yang ramai. Setelah sukses besar dalam misi pertama mereka, dana yang melimpah mengalir ke kantong tim.

Amoria, sang putri duyung yang terbiasa dengan kemewahan istana bawah laut, adalah dalang di balik proyek renovasi ambisius ini. Ia bertekad mengubah markas yang sebelumnya sederhana menjadi tempat yang setidaknya nyaman bagi duyung itu.

Para pekerja bangunan berlalu-lalang, sibuk dengan tugas masing-masing. Suara palu, gergaji, menjadi simfoni pembangunan yang riuh. Di tengah-tengah kegaduhan itu, Amoria tampak tenang duduk di kursinya, mengawasi jalannya pekerjaan dengan seksama.

"Maaf, sebaiknya kau istirahat saja, Nona" ucap salah seorang pekerja dengan sopan. "Kami akan melakukan tugas kami dengan baik" Ia merasa sedikit risih diperhatikan terus-menerus oleh Amoria.

"Santai saja" jawab Amoria dengan santai, sambil mengayunkan kipas di tangannya. "Aku tidak akan memaki kalian. Lagi pula, aku sedang tidak ada kerjaan" Mata birunya yang tajam terus menjelajahi setiap sudut bangunan, memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya.

"Regu kalian tergolong hebat untuk level pemula," celetuk seorang pekerja sambil mengangkat sebalok kayu dan meletakkannya di atas bangunan. "Memangnya kalian tidak ada niatan menaikkan pangkat?"

"Huh? Memangnya itu penting?" balas Amoria acuh tak acuh.

"Jika pangkat kalian tinggi, kalian bisa dapat relasi dengan petinggi serikat dan pejabat bangsawan" jelas si pekerja sambil memukul balok dengan palu.

"Mungkin itu ada benarnya..." Amoria mengerutkan alis, jari telunjuk dan ibu jarinya mengurut dagu. "Mungkin aku harus ke serikat untuk melihat misi yang bisa kami kerjakan" gumamnya.

"Aku dengar ada misi baru yang ditempel di laporan dinding serikat" kata pekerja yang sedang sibuk memukul paku di balok kayu. "Tapi para petualang bilang misi itu tidak masuk akal"

Penasaran, Amoria bertanya, "Memangnya misi apa itu?"

"Mengusir Beruang Petir, di perbatasan kota," jawab si pekerja.

"...Petir?" Amoria mengibaskan rambutnya, memutar bola mata dengan ekspresi skeptis.

"Terima kasih informasinya. Kerjakan dengan benar bangunan ini" ucap Amoria sambil berdiri dari duduknya dan beranjak pergi.

Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benak Amoria. Kalau beruang petir ini adalah lawan yang cocok untuk Januza... pikirnya.

Sebagai seorang putri duyung, Amoria memiliki kelemahan terhadap makhluk yang berhubungan dengan petir. Namun, Januza justru akan sangat kuat melawan makhluk semacam itu. Seharusnya Januza bisa menyelesaikan misi ini sendirian. Sebuah senyum licik tersungging di bibir Amoria.

Amoria melangkah keluar dari bangunan markas yang bising dengan suara palu dan gergaji. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman, mencari keberadaan rekan-rekannya. Di bawah pohon rindang di sudut halaman, tampak Bjorn sedang berbaring dengan santai. Secarik kain menutupi wajahnya, melindunginya dari silau matahari yang menembus celah-celah dedaunan. "Sepertinya dia sedang tidak mau diganggu" gumam Amoria dalam hati, mengamati Bjorn dari kejauhan.

Ia memutuskan untuk mencari anggota tim yang lain. Amoria memutar bangunan. Samar-samar terdengar suara tawa dari arah belakang markas, ditemukannya Neil dan Kundea yang sedang duduk bersama di sebuah meja bundar. Secangkir teh mengepul di hadapan mereka, Neil dan Kundea tampak akrab, berbincang dengan gayeng diselingi tawa riang.

Amoria mencari-cari Sulpha dengan pandangannya, namun ia tak menemukan sosok sang pemburu itu. Mungkin dia sedang asyik menjelajahi hutan dan mencari buruan baru, pikir Amoria. Ia juga menyadari ketidakhadiran Januza sejak pagi tadi. Aneh, biasanya Januza selalu memberi tahu kalau dia pergi?

Rasa penasaran Amoria terhadap misi yang disebutkan oleh pekerja bangunan tadi semakin kuat. Ia pun memutuskan untuk pergi ke serikat sendirian.

Sepanjang perjalanan menuju Serikat, Amoria tak henti-hentinya memindai setiap sudut kota dengan harapan menemukan Januza. Namun, usahanya sia-sia. Ia tiba di bangunan megah Serikat tanpa bertemu dengan pria besar itu.

Sesampainya di depan pintu Serikat yang menjulang tinggi, Amoria merasakan sesuatu yang janggal. Ia meraih tuas pintu dan menempelkan telinganya, mencoba menangkap suara dari dalam. Samar-samar terdengar suara keributan dari dalam, namun terlalu samar untuk didengar dengan jelas.

Rasa penasaran Amoria semakin menjadi-jadi. Perlahan, ia membuka pintu sedikit demi sedikit, mengintip melalui celah sempit dengan sebelah mata.

"Aku sudah bilang aku ingin pinjam uangmu untuk membeli tombak baru!" teriak Januza dengan suara menggelegar, sambil mengguncang-guncang bahu Thena dengan kedua tangannya yang besar.

"Tolong~ dia membuatku takut" isak Thena dengan wajah memelas, hampir terlempar dari kursinya setiap kali digoyang. "Aku pusing... Nanti uang kas serikat berantakan..." Melihat pemandangan itu, Amoria tertegun di ambang pintu. Matanya melotot, rahangnya ternganga. "Dasar monyet!" rutuknya.

Tingkah Januza benar-benar membuat darah duyung itu mendidih. Amarahnya meluap-luap seperti panci sup yang mendidih. Dengan gesit, ia melepas sebelah alas kakinya dan berlari ke arah Januza.

PlAK!

Suara tamparan keras menggema di ruangan serikat yang hening. Januza terhuyung, kepalanya berputar seperti gasing. Ia memegangi kepalanya yang baru saja dihajar alas kaki Amoria.

"Huh? Siapa yang berani memukulku—" Januza berbalik dengan geram, siap melabrak siapa pun yang berani menyerangnya. Namun, begitu melihat wajah Amoria yang merah padam dengan tatapan setajam pedang, nyalinya langsung menciut. Keringat dingin mengguyur tubuhnya yang besar, wajahnya pucat pasi seperti kain pel.

...----------------...

Sang mentari mulai condong ke peraduan, meninggalkan semburat jingga yang menandai berakhirnya siang. Di bawah naungan kanopi hutan yang rimbun, di mana kedamaian alam yang mengalun merdu, harmoni tersebut mendadak terusik oleh pekikan yang memecah kesunyian.

"Tidak! Hentikan!" seru Januza, suaranya membelah angkasa, mengagetkan para fauna yang berdiam di dahan-dahan. Burung-burung beterbangan tak tentu arah, seolah terusik oleh dentuman yang tak kasatmata. "Cukup!" lirihnya lagi, namun sarat akan penderitaan yang teramat sangat.

Amoria, dengan memanfaatkan keahlian mistis yang dimilikinya, ia memanipulasi organ vital Januza, menekan dan melonggarkan jantungnya secara berirama, persis pompa air yang sedang bekerja. "Jika kau mampu menjaga tata krama" tegas Amoria dengan nada dingin yang menusuk, "maka siksaan ini akan berakhir!"

"Baiklah! Aku janji tak akan mengulanginya! Ampun, Baginda Ratu! Bebaskan hamba!" Januza memohon dengan suara terbata-bata, menyerah di bawah tekanan yang tak tertahankan.

Telinga Amoria yang tajam menangkap kepakan sayap yang tak biasa. Suara itu berasal dari sisi lain hutan, terlalu jauh untuk diabaikan. Ia menoleh, mencari sumber kegaduhan di antara pepohonan lebat.

"Januza" panggil Amoria, suaranya memecah kesunyian yang mencekam, "aku ingin bertanya."

Januza, yang masih terbaring lemas di tanah, meringkuk ketakutan. Dadanya terasa sesak, trauma akibat siksaan Amoria masih membekas. "A-apa?" jawabnya gugup, suaranya nyaris tak terdengar.

"Memangnya tombakmu kenapa?" tanya Amoria lagi, rasa penasaran terpancar dari sorot matanya.

"Tombakku tak bisa lagi dipakai" keluh Januza, "itu karena pedang sialan milik bangsawan Yvor."

"Namanya Yver, idiot," ralat Amoria, nada kesalnya tersirat jelas.

Amoria melangkah mendekat, menurunkan tubuhnya hingga lututnya menyentuh tanah. Ia menatap Januza dengan tatapan menyelidik. "Satu lagi yang ingin kutanyakan" bisiknya, "apa kau bisa bertarung tanpa tombak?"

Januza terdiam, wajahnya dibayangi keputusasaan, "Mustahil aku bisa melakukannya" jawabnya pasrah, suaranya bergetar.

Seketika, suasana hutan yang tegang berubah menjadi kacau balau. Burung-burung berhamburan keluar dari pepohonan di sekitar Amoria dan Januza, mengepakkan sayap mereka dalam kepanikan yang tak terkendali. Dari balik rimbunnya dedaunan, muncul sesosok makhluk yang membuat jantung berdesir.

Seekor beruang berbulu biru gelap dengan sorot mata liar. Bulunya yang lebat dan tampak lembut bergerak-gerak mengikuti setiap langkahnya yang berat, menciptakan gelombang biru gelap yang menakutkan.

"Sialan! Sekarang apalagi?!" umpat Januza. Ia melompat mundur dengan refleks, menyeret bokongnya di tanah hingga menciptakan jejak debu. Wajahnya memucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.

Tanpa sepatah kata pun, Amoria berbalik dan meninggalkan Januza yang ketakutan menghadapi beruang itu sendirian. "Baiklah Januza" ucapnya acuh tak acuh, "sisanya kuserahkan padamu"

"Hoi! Duyung sialan! Jangan tinggalkan aku sendirian seperti ini!" teriak Januza dengan suara gemetar. "Kau berniat menjadikan aku santapan monster jelek ini?!" Namun, Amoria terus melangkah tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Januza yang terpaku dalam ketakutan dan kemarahan.

"Tega-nya dirimu mengajak gadis tak berdaya sepertiku melawan monster mengerikan ini!" Amoria merengek dengan suara dibuat-buat, sambil melentikkan jari-jarinya dengan dramatis. Ekspresinya dibuat semenyedihkan mungkin, berharap Januza luluh dan melindunginya.

Tapi sayangnya, Januza bukan tipe pria yang mudah tertipu oleh drama murahan. "Tidak, aktingmu buruk sekali," balasnya dengan nada datar.

Mendengar komentar jujur itu, sebelah mata Amoria berkedut seperti terkena sengatan listrik. Alisnya yang lentik ditekuk paksa, bibirnya mengerucut, dan wajahnya berubah masam seperti jeruk nipis. "Sebaiknya aku menjauh dari pria bodoh ini" gumamnya dengan kesal, "pesonaku bisa memudar" Dengan gaya diva yang dibuat-buat, dia berbalik dan berjalan meninggalkan Januza, sambil mengibaskan rambutnya yang wangi aroma rumput laut.

"Ikan! Kembali kau manusia ikan!" teriak Januza, mencoba memaksa Amoria untuk kembali. "Jangan tinggalkan aku sendirian melawan beruang berbulu domba itu!"

......................

"Dasar putri duyung tak berperasaan!" gerutu Januza, nada kesalnya bercampur dengan rasa putus asa. Ia menggeram, menyumpah-serapahi Amoria yang telah melenggang pergi tanpa menoleh ke belakang. "Apakah ia buta? Tidakkah ia melihat betapa mengerikannya makhluk berbulu biru itu?"

Meskipun dilanda amarah, Januza berusaha menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang berpacu seperti kuda balap. "Tenang, Januza, tenang" gumamnya menghibur diri, "anggap saja ini hanya seekor beruang koala raksasa yang tersesat." Ia menampar pipinya sendiri, berharap tamparan itu mampu mengembalikan kesadarannya.

Namun, sebuah kenyataan pahit segera menyadarkannya. "Astaga! Bagaimana mungkin aku bisa melawannya tanpa tombakku yang setia? Celaka!"

Beruang itu, yang tadinya berdiri diam dengan aura mengancam, tiba-tiba lenyap dari pandangan. Januza terkesiap, matanya melayang ke sana kemari mencari jejak sang monster. "Di mana dia? Jangan bilang dia punya jurus menghilang!"

WHAP!

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah hantaman keras mendarat di kepala bagian belakangnya. Januza terhuyung, tubuhnya terpelanting ke belakang dan menghantam pohon dengan bunyi gedebuk yang menggema di seluruh penjuru hutan. Hidungnya terasa nyeri, darah segar mengalir deras, membuat wajahnya tampak seperti lukisan abstrak.

"Brengsek!" umpatnya sambil meringis kesakitan. Ia terbatuk-batuk, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. "Makhluk apa itu sebenarnya?" gumamnya dengan suara parau, sambil mengusap darah di hidungnya dengan tangan yang gemetar. "Gerakannya secepat kilat! Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk mengeluarkan jurus pamungkas keluargaku!"

Tanpa diduga, Januza melesat bak anak panah yang terlepas dari busurnya. Dengan kecepatan yang menyaingi kilat, ia meniru gerakan beruang tersebut dan melancarkan sebuah tinju tepat di dagu sang makhluk buas.

DUK!

Pukulan balasan yang tak terduga itu membuat si beruang terjengkang ke belakang, berguling-guling beberapa kali sebelum akhirnya terhenti dengan posisi terlentang. Januza berdiri tegak, tangan kanannya terangkat tinggi dengan penuh kemenangan.

"Rasakan itu!" serunya dengan nada pongah. "Apa itu sakit, hah? Aku mempelajari jurus itu dari seseorang yang hampir membunuhku dengan tangan kosong! Pukulan ini dinamakan Uppercut! Ingat itu, Uppercut!"

Namun, kebanggaan Januza tak berlangsung lama. Beruang yang pura-pura terkapar itu diam-diam menyentuhkan ujung ekornya ke kaki Januza.

"Zzt!"

Seketika, aliran listrik bertegangan tinggi mengalir deras ke tubuh Januza. Pria malang yang sedang tenggelam dalam euforia kemenangan itu tersengat hingga gosong, rambutnya berdiri tegak seperti landak yang ketakutan.

"Huaaaaa!!!" jeritnya melengking, suaranya bercampur dengan bunyi letupan listrik yang menggelegar. Tubuhnya menegang sesaat sebelum akhirnya roboh tak berdaya, wajahnya mencium tanah dengan keras.

"Kurang ajar!" Januza meraung, menghentakkan tinjunya ke tanah dengan kekuatan penuh hingga tanah bergetar dan dedaunan berguguran. "Kau pikir kau siapa, berani-beraninya menyerangku secara licik?!"

Dengan sigap, ia melompat bangkit dan membalas serangan beruang tersebut. Kakinya yang dialiri kekuatan petir menghujam punggung sang makhluk buas, mengirimkan sengatan listrik yang menyakitkan.

"Grrrraaargh!" beruang itu meraung kesakitan, bulunya yang lebat berdiri tegak. Tak hanya Januza, ia pun ikut merasakan sengatan listrik yang membuat tubuhnya gosong.

Melihat lawannya terkapar, senyum kemenangan mengembang di bibir Januza. "Ayo bangun!" tantangnya dengan penuh semangat. "Aku merasa pertarungan ini akan semakin seru!"

Beruang itu bangkit dengan geraman marah, matanya menyala-nyala. Keduanya pun kembali terlibat dalam pertarungan sengit, memanfaatkan kecepatan kilat mereka untuk saling menyerang. Hutan menjadi saksi bisu pertarungan dua makhluk luar biasa ini.

Suara-suara serangan mereka beradu dengan pekikan burung dan derak ranting pohon yang patah. Saking cepatnya gerakan mereka, pertarungan itu tak lagi bisa diikuti oleh mata telanjang. Hanya sesekali terlihat bayangan biru dan merah berkelebat di antara pepohonan, meninggalkan jejak kehancuran di mana-mana. Dalam sekejap, sekitar setengah hektar lahan hutan rata dengan tanah.

.........

Tanpa mereka sadari, pertarungan sengit itu telah berlangsung hingga senja berganti malam. Sang surya perlahan tenggelam di ufuk barat, menyeret cahaya terakhirnya dan meninggalkan kegelapan yang pekat menyelimuti hutan. Kedua petarung, Januza dan beruang biru, terkapar tak berdaya di tanah, napas mereka memburu tak beraturan.

"Aku... bisa melakukan ini... sepanjang hari," ucap Januza dengan suara terengah-engah, namun tetap menyiratkan semangat juangnya yang tak kunjung padam.

Beruang itu merespons dengan dengusan dan auman lemah, menunjukkan bahwa ia pun telah mencapai batas kemampuannya. Dengan susah payah, ia berusaha bangkit berdiri, kakinya gemetar tak stabil. Januza pun mencoba mengikuti, namun tubuhnya tak lagi merespons perintah otaknya.

"Ah... sial... tubuhku tak bisa lagi bergerak" keluhnya pasrah. "Aku butuh waktu sebentar untuk memulihkan tenaga"

Beruang itu tak lagi menyerang. Ia hanya menatap Januza dengan tatapan kosong, seolah kehilangan minat untuk melanjutkan pertarungan. Kemudian, dengan gerakan lambat, ia menggelengkan kepalanya dan berbalik pergi meninggalkan Januza yang terbaring lemas.

"Hei, tunggu!" teriak Januza kecewa. "Kita belum selesai!"

Namun, beruang itu tak mengindahkan seruannya. Ia hanya menoleh sekilas, memberikan lambaian tangan malas sambil terus berjalan dengan langkah gontai, meninggalkan Januza yang terbaring kesakitan dan frustrasi. Pertarungan itu berakhir tanpa pemenang.

...****************...

"Paman, sejak pagi aku tidak melihat Kak Januza," ucap Neil dengan nada cemas. Ia duduk meringkuk di halaman markas, dekat dengan api unggun yang menyala-nyala, menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal untuk menghalau hawa dingin yang menusuk. Sesekali, ia melemparkan kayu bakar kecil ke dalam kobaran api, menjaga agar nyala api tetap hidup.

Di halaman lapang yang sama, Bjorn tampak berlatih bela diri. Keringat membasahi tubuhnya yang kekar dan telanjang dada, hanya berbalut celana training. Ia bergerak dengan lincah, mempertontonkan jurus-jurus mematikan yang telah ditempa selama bertahun-tahun. "Mungkin dia sedang terjebak di suatu keributan" jawab Bjorn tanpa menghentikan gerakannya, suaranya terdengar tenang dan berwibawa.

Raut wajah Neil semakin muram. Kekhawatiran akan keselamatan Januza tergambar jelas di wajahnya yang masih belia. "Aku khawatir pada Kak Januza, Paman. Apa dia tidak apa-apa?"

Tiba-tiba, kabut tipis muncul di sekitar Neil, mengepul dan berputar-putar sebelum akhirnya membentuk sosok Kundea seperti kakak perempuannya. "Tenanglah, Neil" ucap Kundea dengan lembut, sambil mengelus kepala Neil. "Aku yakin sebentar lagi dia akan kembali."

Sementara itu, di dalam markas, Amoria dan Sulpha telah tertidur pulas. Cuaca dingin yang ekstrem membuat mereka memilih untuk beristirahat lebih awal. Neil, yang gelisah menunggu kakaknya, hanya bisa duduk termangu di dekat api unggun, menyaksikan Bjorn yang masih berlatih dengan pikiran yang dipenuhi kecemasan.

Dari balik rimbunnya semak belukar yang menyelimuti sisi kanan bangunan markas, terdengar suara gemerisik yang perlahan mendekat, diiringi erangan pelan yang memecah kesunyian malam.

"Hah... akhirnya aku pulang," desah Januza dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya compang-camping, dipenuhi luka gores dan noda darah yang telah mengering. Ia bersandar lemah di sebuah pohon besar, bahunya merosot, menunjukkan kelelahan yang teramat sangat.

"Kak Januza! Kau kenapa?!" pekik Neil dengan suara histeris. Ia berlari tergopoh-gopoh menghampiri Januza, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.

"Ah, ini cuma luka gores kecil" ucap Januza berusaha menenangkan Neil, sambil mengusap kepala bocah itu dengan lembut. Namun, ia tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang terpancar dari sorot matanya.

Terbangun oleh suara gaduh di luar, Amoria membuka pintu markas dengan malas. Ia menguap lebar, menutup mulutnya dengan punggung tangan, wajahnya masih dipenuhi kantuk. "Sekarat seperti itu masih bisa sok kuat" gumamnya dengan nada sinis, sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku.

"Tidurmu nyenyak ya, duyung bajingan" desis Januza dengan nada sinis, menatap Amoria yang baru saja terbangun dari tidurnya.

Amoria mengerutkan kening, kantuknya seketika lenyap. "Apa kau bilang?" tanyanya tajam, sorot matanya menyorotkan ketidaksenangan.

Januza menelan ludah, nyali yang sebesar gaban tiba-tiba menciut di hadapan Amoria yang murka. "T-terserah" jawabnya gugup, menghindari kontak mata. "Siksa saja aku."

Amoria tertawa kecil, suara tawanya terdengar menggelikan di telinga Januza. "Melihat keadaanmu yang mengenaskan ini membuatku bahagia" ucapnya dengan nada mengejek.

Bjorn berjalan tenang menghampiri Januza. Ia mengambil baju yang tergantung di ranting pohon, lalu meneguk air dari botol minumnya. "Kali ini masalah apa lagi yang kau buat?" tanyanya dengan nada datar, seolah sudah terbiasa dengan ulah Januza.

"Hoi, setidaknya berpura-pura khawatir sedikit lah!" protes Januza dengan kesal.

"Aku bertarung dengan beruang yang memiliki aliran petir di setiap bulunya!" seru Januza, mencoba menjelaskan kejadian luar biasa yang baru saja dialaminya. "Bukan hanya itu, dia juga punya insting bertarung seperti manusia! Aku benar-benar kewalahan melawannya tanpa tombakku"

"Apa kau menang?" tanya Bjorn singkat.

"Tidak," jawab Januza lesu.

"Memalukan" komentar Bjorn dengan nada mengejek.

"Hoii!" teriak Januza, merasa harga dirinya terinjak-injak.

Bjorn mengabaikan protes Januza dan berbalik. Ia menyiramkan sisa air di botolnya ke tubuhnya yang penuh keringat, lalu mengenakan bajunya. "Masuklah" perintahnya dengan nada tegas. "Cuaca sedang dingin. Istirahatkan tubuhmu" Ia melangkah masuk ke markas, melewati Amoria yang sedang berdiri di ambang pintu. "Amoria, obati luka Januza" ucapnya singkat.

"Baik~" jawab Amoria dengan senyum ceria.

"Tunggu, Bjorn!" panggil Januza.

Bjorn menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. "Hmm?" gumamnya singkat, alisnya terangkat sedikit, menanti apa yang akan dikatakan Januza.

"Ajarkan aku bela diri" pinta Januza dengan sorot mata penuh tekad. Keinginan kuat untuk menjadi lebih kuat terpancar jelas dari tatapannya, membuat Bjorn sejenak terpaku. Ia mengamati Januza dengan seksama, menilai kesungguhan di balik perkataan tersebut.

Setelah hening beberapa saat, Bjorn akhirnya menjawab, "Katakan itu saat tubuhmu sudah pulih" Ia kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya memasuki markas.

1
01
fufufafa/Hammer/
Yudha Lavera: weeee
total 1 replies
Kuro Kagami
Setiap chapter bikin penasaran terus, authornya jago banget.
Jenny Ruiz Pérez
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Kamiblooper
Ini bukan cerita lagi, tapi candu, tolong jangan terlambat update thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!