Penghianatan Yang Tak Terduga

Keesokan harinya amara keluar dari kamar dia berniat ingin sarapan,namun saat dia berjalan dia berpapasan dengan suami nya,langkah nya terhenti saat melihat diana berada di belakang nya,hati amara sudah kadung mati,dia tidak memperdulikan nya,sebentar lagi dia akan pergi dari rumah ini,

"amara...."

Amara menoleh,dengan nada datar dia menjawab,sudah cukup kepura puraan nya selama ini,

"kenapa diana?kamu kaget aku sudah mengetahui semuanya?kamu memang benar benar orang yang tidak tahu malu!sudah aku tolong malah menggigit dasar ular."

Mendengar itu diana mendelik,lalu dia tersenyum sinis,"ya ampun amara....hidup kamu begitu sempurna kehilangan rafael tidak akan mempengaruhi hidup mu lepaskan dia dan berikan kepadaku!"

Amara tertawa sumbang,"silahkan aku berikan bekas ku,memang tidak akan berpengaruh terhadap hidup ku,tapi terhadap kekasih mu...itu sangat berpengaruh."

Setelah mengucapkan itu amara pergi meninggalkan mereka berdua diam mematung di sana.

"mas...maksud dia apa?kenapa mempengaruhi hidup mu?emang siapa dia,kamu juga orang kayak kan mas.bahkan jabatan mu di perusahaan itu sangat bagus."tanya diana dengan wajah bingung nya,

Mendengar itu rafael sedikit waswas,pasal nya dia sekarang hanya karyawan biasa,takutnya nanti amara menyuruh oma nya memecat dirinya,tapi ego rafael sangat tinggi,dia juga sudah kecewa dengan istrinya itu,selama menikah dia tidak mengetahui harta istrinya.

"tentu"jawab rafael sedikit canggung,

Setelah semua yang terjadi, Amara memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi tinggal di rumah besar yang penuh kenangan pahit itu. Dengan hati yang hancur, ia mengemas barang barangnya dan pulang ke rumah orang tuanya.

Saat tiba di rumah orang tuanya, Amara terlihat begitu rapuh. Ibunya, yang terkejut melihat kondisi putrinya, segera memeluknya. Amara tak sanggup lagi menahan tangis. Ia menangis tersedu sedu di pelukan ibunya sambil menceritakan semua kebusukan Rafael.

"ma, selama ini aku bodoh... aku pikir Rafael benar benar mencintaiku. Tapi dia... dia malah berkhianat dengan sahabatku sendiri," isak Amara.

Ayah Amara yang mendengarkan dari ruang tamu tampak sangat marah. "Kalau aku tahu laki laki itu seperti ini, aku tidak akan pernah mengizinkanmu menikah dengannya!"

Amara merasa sedikit lega setelah mengeluarkan semua beban hatinya. Ibunya mencoba menenangkannya. "Nak, kau tak perlu kembali ke sana. Mulai sekarang, tinggal di sini saja. Kami akan selalu ada untukmu."

Rafael Menyadari Kepergian Amara

Ketika Rafael kembali ke rumah besar dan menyadari Amara telah pergi, ia mulai panik. Ia mencoba menghubungi Amara, tetapi nomor teleponnya sudah tidak aktif. Rafael bahkan mendatangi rumah orang tua Amara, tetapi ia ditolak mentah mentah oleh ayah Amara.

"Kau sudah menghancurkan putriku. Jangan pernah muncul lagi di sini!" bentak papa Amara sambil menutup pintu di hadapan Rafael.

Ayah Amara, yang sangat marah dan kecewa, memutuskan untuk tidak tinggal diam setelah mendengar semua pengkhianatan Diana terhadap putrinya. Ia merasa pengkhianatan ini bukan hanya melukai Amara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan yang telah diberikan keluarganya kepada Diana dan keluarganya.

Dengan penuh amarah, ia mendatangi rumah orang tua Diana. Ketika tiba, ayah Diana dan ibunya yang sedang bersantai langsung terkejut melihat kedatangan Ayah Amara dengan wajah murka.

"Ada apa, Pak?" tanya ayah Diana dengan nada khawatir.

Namun, sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, Ayah Amara langsung meluapkan emosinya.

"Kalian tahu apa yang telah dilakukan anak kalian kepada Amara?! Sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tega teganya dia mengkhianati anakku dan menghancurkan rumah tangganya!"

Orang tua Diana terkejut. Ibunya, yang tidak percaya, mencoba membela anaknya.

"Pak, mungkin ini hanya salah paham. Diana tidak mungkin melakukan hal seperti itu."

Namun, Ayah Amara dengan nada tinggi menjawab, "SALAH PAHAM? Kalian pikir aku datang ke sini tanpa bukti? Aku tahu semuanya! Anak kalian terang terangan merebut suami anakku, Rafael, di depan mata Amara sendiri!"

Orang tua Diana langsung terdiam. Mereka malu, apalagi mengingat betapa baiknya keluarga Amara selama ini terhadap mereka. Kedekatan Amara dengan Diana membuat keluarga Amara sering membantu perekonomian keluarga Diana, termasuk membiayai pendidikan Diana dan bahkan mempermudah mereka dalam soal uang ketika sedang kesulitan.

Ayah Diana akhirnya angkat bicara dengan nada lirih, "Kami benar benar tidak tahu kalau Diana sampai berbuat sejauh itu. Kami sangat malu, Pak. Keluarga Anda sudah banyak membantu kami, tapi Diana malah... mengkhianati kepercayaan Anda."

Ibunya mulai menangis, merasa tidak mampu menghadapi rasa malu yang begitu besar. "Kami akan bicara dengan Diana. Kami tidak akan membiarkan dia terus berbuat seperti ini."

Tindak Lanjut Orang Tua Diana

Setelah Ayah Amara pergi dengan penuh kekecewaan, orang tua Diana segera memanggil Diana untuk pulang. Ketika Diana tiba, mereka langsung mengintimidasi nya

"Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan, Diana?! Keluarga Amara sudah seperti keluarga kita sendiri, tapi kamu malah berbuat seperti ini!" bentak ayahnya.

Namun Diana, yang sudah terjebak dalam ego dan obsesi terhadap Rafael, malah membalas dengan dingin.

"Sudah waktunya kalian berhenti mengurusi hidupku. Aku sudah dewasa, dan aku tahu apa yang kulakukan."

Ibunya yang menangis mencoba menyadarkannya. "Diana, apa kamu tidak malu? Keluarga Amara sudah banyak membantu kita. Tanpa mereka, kita tidak akan bisa berada di posisi sekarang."

Namun, Diana tetap bersikeras bahwa ia tidak menyesali pilihannya. Sikapnya yang keras kepala ini semakin memicu kemarahan orang tuanya, yang akhirnya merasa tak lagi sanggup mengendalikan Diana.

Amara Mendapat Kabar

Beberapa hari kemudian, Amara mendengar dari ayahnya bahwa ia telah mendatangi keluarga Diana. Amara merasa lega karena ayahnya membelanya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa sedih bahwa hubungan panjang keluarganya dengan keluarga Diana hancur begitu saja karena pengkhianatan itu.

Setelah berhasil merebut Rafael, Diana merasa di atas angin. Dia yakin Rafael akan mencintainya sepenuhnya dan melupakan Amara. Namun, hubungan mereka tidak berjalan seperti yang dia bayangkan.

Setelah beberapa minggu menjalani hubungan dengan Diana, Rafael mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Keceriaan dan kehangatan yang selalu dia rasakan bersama Amara kini tak lagi ada. Diana, yang tadinya terlihat menyenangkan, mulai menunjukkan sifat aslinya egois dan manipulatif. Rafael pun perlahan menjauh, lebih sering sibuk dengan pekerjaannya atau menghabiskan waktu sendiri.

Diana, yang merasakan perubahan sikap Rafael, mencoba berbagai cara untuk menarik perhatiannya, tetapi Rafael tetap bersikap dingin.

"Rafael, belakangan ini kamu sibuk banget. Aku merasa kita jadi jarang ngobrol seperti dulu."

Rafael menjawab sambil membaca dokumen tanpa menatap Diana"Aku sibuk, Diana. Banyak hal yang harus aku urus di kantor."

Diana berusaha tersenyum"Ya, aku tahu. Tapi setidaknya luangkan waktu sebentar untukku. Kita bisa makan malam bersama, kan? Seperti dulu."

Rafael meletakkan dokumen dan menatap Diana dingin"Dulu berbeda, Diana. Sekarang aku punya banyak tanggung jawab. Aku nggak bisa buang buang waktu untuk hal yang nggak penting."

Diana terkejut dan terluka "Nggak penting? Jadi aku ini nggak penting buat kamu?"

Rafael menghela napas panjang, suaranya datar "Aku nggak bilang begitu. Tapi aku nggak punya energi untuk drama seperti ini. Kalau kamu nggak bisa mengerti, aku nggak tahu apa lagi yang harus aku jelaskan."

Diana menahan tangis "Rafael, kamu berubah... Kamu bukan Rafael yang aku kenal dulu."

Rafael berdiri dan meraih jasnya "Mungkin karena aku mulai sadar bahwa aku telah membuat banyak keputusan buruk, Diana."