Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah Menanti Cinta
Bab 14
"Zayden, kita harus bicara," kata Laura singkat, matanya menyiratkan ada sesuatu yang sangat penting.
Zayden mengerutkan kening, tetapi Laura langsung menyerahkan ponsel padanya. Di layar, terpampang serangkaian foto yang diambil secara diam-diam. Wanita dalam foto itu adalah Elara, tengah berjalan bersama Pak Sobri. Mereka terlihat pergi ke beberapa tempat: butik, salon, bahkan sebuah Wedding Organizer.
Wajah Zayden memucat seketika. Laura yang berdiri di sampingnya tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya cukup jelas. Dia menuntut jawaban.
"Siapa wanita ini, Zayden?" Laura bertanya dengan nada penuh tekanan.
Sebelum Zayden sempat menjawab, Laura, yang dari tadi mencoba sabar dan tenang, kini melangkah mendekat. Dia melihat foto-foto itu dengan napas kasar, dia menahan amarah. Detak jantungnya berdebar kencang, seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah rahasia besar yang disembunyikan suaminya.
"Apakah kamu akan menikah lagi, Zayden?" Laura berbisik lemah, suaranya penuh dengan luka yang dalam.
Zayden terdiam. Dalam hati, dia tahu bahwa penjelasan apa pun yang dia berikan tak akan mampu memperbaiki situasi ini. Laura telah mengetahui terlalu banyak, dan sekarang, tak ada jalan untuk mundur.
"Jika iya kenapa?" jawab Zayden dengan tegas.
"Zayden...?" Laura menatap Zayden dengan mata mulai berkaca-kaca. "Kau tega di tengah aku sedang mengandung? Berikan alasannya Zayden." Suara Laura mulai bergetar.
"Tidak perlu memasang wajah seakan tersakiti seperti itu, tanyakan pada dirimu sendiri atau Jika perlu tanyakan pada anakmu yang sedang kau kandung."
"Apa sih Zayden?.Apa yang kau bahas? Aku tak pernah mengerti saat kau selalu membahas tentang anak ini?"
"Udahlah aku sudah terlambat, nanti lama-lama kau juga akan mengerti. Atau mungkin sebenarnya kau hanya pura-pura tidak tahu saja."
Zayden pergi meninggalkan rumah tanpa memedulikan Laura yang mulai menangis sambil memegang perutnya. Pikiran Laura kemana-mana. Apakah Zayden ke kantor atau menemui wanita itu? Laura tidak bisa tinggal diam, harus cari tahu tentang hal ini.
Laura adalah wanita pilihan Zaydan, dulu mereka digadang-gadang akan menjadi pasangan yang serasi. Laura dari keluarga berada, dia juga memegang bisnis papanya. Namun, saat dia mengandung, memutuskan istirahat di rumah.
"Lihat saja Zayden, aku tidak akan membiarkan wanita lain masuk dalam kehidupan kita."
Laura niatnya akan kembali ke kamar, dia harus bersiap untuk menelusuri siapa wanita itu. Namun tiba-tiba ketukan pintu membuatnya terhenti, pintu yang masih terbuka memperlihatkan sesosok pria yang tentu saja Laura sangat mengenalnya.
###
Cahaya lampu kristal yang memancar dari sudut apartemen Zayden menciptakan bayang-bayang lembut di wajah Elara yang cantik, meskipun hatinya bergemuruh. Elara duduk di depan cermin besar yang menghiasi sudut ruangan itu, gaun pengantin putih yang membalut tubuhnya begitu sempurna, dengan renda-renda halus yang menjuntai seperti tirai tipis.
Rambut Elara yang digelung rapi, dihiasi dengan mahkota kecil, semakin menambah aura elegan yang memancar dari dirinya. Namun, di balik kecantikan itu, tampak jelas kegelisahan yang terselip di antara tarikan napasnya.
"Kenapa Nona Elara?" tanya Maria.
"E-enggak."
Elara melirik ke ponselnya sekali lagi, berharap menemukan pesan atau panggilan dari Zayden. Namun layar itu tetap sunyi, tanpa tanda kehidupan. Sekali lagi, Elara menghela napas panjang. Sudah berjam-jam berlalu, dan tak ada kabar sama sekali dari tunangannya.
“Mbak Maria,” panggil Elara dengan suara lembut namun penuh kecemasan.
Maria, sekretaris kepercayaan Zayden yang setia menemani Elara selama beberapa hari terakhir, segera mendekat. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang sama, namun Maria berusaha untuk tetap tenang di hadapan Elara.
“Ya, Nona Elara?”
“Sudah ada kabar dari Tuan Zayden?” tanya Elara, matanya kembali melirik ponsel di tangannya yang seakan tak pernah berhenti ia genggam.
Maria menggeleng pelan. “Belum, Nona. Saya sudah mencoba menghubungi semua kontak yang mungkin terhubung dengan Tuan Zayden, bahkan Raldo di luar negeri. Namun tidak ada yang tahu keberadaannya. Sepertinya semua masih dalam keadaan yang... tidak bisa dijelaskan.”
Kata-kata itu membuat Elara semakin gelisah. Pikiran buruk mulai menggerogoti benaknya. Apakah Zayden berubah pikiran? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Atau... mungkinkah ia sedang mengalami kecelakaan? Elara menggeleng cepat, menyingkirkan segala spekulasi yang terus berputar di kepalanya. Tidak, Zayden bukan tipe pria yang mudah mengabaikan tanggung jawab, apalagi dalam situasi penting seperti ini.
“Nona Elara, saya rasa lebih baik kita segera berangkat ke gedung. Waktu terus berjalan, dan kita tidak bisa menunda lebih lama lagi. Nanti Ibu dan tamu-tamu akan khawatir,” saran Maria dengan hati-hati.
Elara menatap sekilas bayangan dirinya di cermin. Dia tampak sempurna di luar, tetapi di dalam dirinya ada badai yang tak terlihat. Dia tahu, jika terus menunggu di sini, itu hanya akan memperparah kegelisahannya.
“Baiklah,” kata Elara akhirnya. “Aku akan pergi dulu ke gedung. Jika Tuan Zayden sudah bisa dihubungi, tolong beri tahu aku secepatnya, ya?”
Maria mengangguk dengan tegas, “Tentu, Nona. Saya akan terus mencoba menghubungi Tuan Zayden.”
Sebelum meninggalkan apartemen, Elara mengetik sebuah pesan singkat kepada Zayden. “Aku berangkat dulu ke gedung. Semua orang sudah menunggu. Tolong balas secepatnya jika kamu membaca ini.”
Jemarinya bergerak cepat, dan pesan itu terkirim tanpa hambatan. Elara merasa lega sejenak melihat bahwa ponsel Zayden sudah aktif. Tinggal menunggu balasan, dan itu memberi sedikit penghiburan di tengah kegundahannya.
Langkah Elara meninggalkan apartemen terasa berat. Setiap tapakan seakan menggema di lorong kosong menuju lift, membawa serta rasa khawatir yang tak kunjung hilang. Mobil yang sudah menunggunya di lobi segera melaju menuju gedung pernikahan yang megah, sementara matanya tak pernah lepas dari layar ponsel.
###
Setibanya di gedung pernikahan, Elara dan rombongan rias serta Maria masuk melalui pintu belakang yang langsung menuju ruang rias pengantin. Ruangan itu telah disiapkan dengan sempurna, tempat yang biasanya penuh dengan kegembiraan jelang momen sakral itu kini terasa sunyi.
Elara menatap sekelilingnya, mendapati cermin-cermin besar, lampu-lampu berpendar lembut, dan meja rias yang dipenuhi alat-alat kecantikan.
Ia melangkah menuju cermin besar yang menggantung di dinding, memperhatikan dirinya sendiri dalam gaun pengantin yang dirancang khusus untuk hari ini. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Elara terlihat bagaikan seorang putri, tapi tanpa kehadiran Zayden, semuanya terasa hampa. Jemarinya dengan lembut merapikan veil putih yang menjuntai di punggungnya, mencoba menenangkan diri dari gejolak hati yang semakin meresah.
Waktu terus berjalan. Detik-detik yang berlalu semakin mendekati pukul delapan. Elara terus menunggu di ruangan itu, berharap pintu akan terbuka dan Zayden akan muncul dengan senyum menenangkannya. Namun, yang datang bukanlah sosok yang ditunggunya.
"Elara?" Suara lembut itu memecah keheningan.
Bersambung...