Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Rahasia di Balik Hutan Bukit Barisan"
Hujan turun sejak pagi, deras dan penuh rahasia. Menyusup lewat celah-celah dedaunan Bukit Barisan yang lebat, membasuh hening dengan gemuruh halus yang tak pernah benar-benar riuh. Pohon-pohon tinggi bergetar dalam hembusan angin yang membawa dingin sampai ke tulang. Sungai di dekat situ meluap, namun tetap jernih, seakan tak peduli meski langit menumpahkan luka ke bumi.
Di dalam tenda kecil berwarna hijau lumut, Johan duduk diam. Sorot matanya kosong, menembus jendela plastik bening yang basah oleh embun dan hujan. Pikirannya mengembara jauh ke masa lalu. Di sanalah, di sudut paling sunyi dalam hatinya, hidup kenangan akan Vinda Puti Keysha—gadis yang dulu ia cintai, kini hanya tinggal bayang.
“Tahu gak, Han, Bukit Barisan itu menyimpan banyak misteri,” suara Keysha kembali menyusup ke dalam kepalanya, begitu jelas, begitu nyata. “Ada mitos tentang manusia bunian, harta karun tersembunyi, bahkan bidadari yang katanya tinggal di sini. Tapi inget ya, kalau kamu liatin terus bidadarinya, matamu ku colok!”
Johan tersenyum getir. Tangisnya nyaris pecah, tetapi ia tahan. Kenangan itu terlalu indah untuk dikotori air mata. Namun tetap saja, luka bernama rindu itu menyayat perlahan, menyesap hingga ke tulang belakang.
“Mana, Key?” bisiknya pelan, suaranya hampir lenyap ditelan gemuruh hujan. “Katamu mau nyolok mataku kalau aku liatin bidadari… Aku pasang tenda di tempat aku ketemu pertama kali dengan bidadari itu Key. Biar aku bisa gali informasi, biar aku bisa bebasin Kalmi. Semua ini untuk itu, Key... Kau pasti ngerti, kan?”
Ia menyeka air mata yang mengalir tanpa permisi. “Tolong... katakan kalau kamu belum benar-benar pergi.”
Seolah mendengar seruannya, langit mulai mereda. Hujan berkurang menjadi gerimis yang malu-malu. Cahaya mentari menembus sela-sela pepohonan, dan saat itulah, sebuah bayangan muncul di luar tenda. Johan terperanjat. Ia bangkit tergesa, menyingkap tirai tenda dan melangkah keluar.
Di tepi sungai yang deras, berdiri seorang gadis—wajahnya tenang, kulitnya pucat bersih, rambutnya panjang tergerai dan basah oleh embun. Ia mencuci pakaian di bawah rinai cahaya, seperti mimpi yang muncul dari dongeng tua.
Bidadari itu.
“Gadis... tolong,” kata Johan, nadanya tercekat, hampir tak terdengar. “Tolong selamatkan temanku. Di mana dia sekarang?”
Gadis itu menghentikan tangannya. Ia menoleh perlahan. Mata yang lembut namun menyimpan terlalu banyak luka. “Kenapa kau masih di sini?” tanyanya. Suaranya bagai desir angin yang menyelinap di sela dedaunan—pelan, namun menampar hati yang lelah.
Johan diam. Lalu dengan pelan, ia bercerita. Tentang Kalmi. Tentang perjalanan mereka. Tentang petualangan yang berubah menjadi bencana. Dan tentang tekadnya yang kini tak bisa dihentikan.
Gadis itu mendengarkannya dengan seksama. Raut wajahnya berubah, seperti ada badai yang ia tahan di dalam dada. Saat ia bicara kembali, suaranya gemetar.
“Aku... tidak bisa membantumu. Aku tak ingin membawa petaka bagi diriku. Juga bagi orang tuaku.”
“Petaka?” Johan menatapnya tak mengerti.
Gadis itu menunduk, memeluk dirinya sendiri. Hening sejenak, sebelum ia berbicara lagi—kali ini lirih, namun cukup tajam untuk menusuk jantung siapa pun yang mendengarnya.
“Ladang ganja di sini bukan milik warga biasa. Ini milik salah satu pejabat negeri. Semua yang bekerja... adalah orang-orang hilang. Nama-nama yang tak pernah ditemukan. Mereka dipaksa, dijaga oleh senjata, disekap oleh ketakutan. Aku pernah menolong seseorang melarikan diri... tapi ia tertangkap. Ia ditembak... di depan semua mata. Sebagai peringatan. Aku tak sanggup melihat itu lagi.”
Dunia Johan runtuh perlahan. Tapi dari reruntuhan itu, tekadnya justru tumbuh seperti bara dalam abu.
“Apa kamu tahu di mana Kalmi sekarang?”
Gadis itu menggeleng pelan. “Aku tak tahu. Mereka tidak memberitahuku.”
Johan menutup mata. Menarik napas panjang. Di dalam hatinya, badai mulai tenang. Ia tahu, jalan di depannya tak mudah. Tapi ia juga tahu, ia tak bisa mundur.
“Terima kasih... atas yang kau berikan padaku,” ucapnya lembut. “Meskipun sedikit, tapi cukup untukku mulai berjalan.”
Gadis itu menunduk. Johan pun berbalik, melangkah perlahan kembali ke tenda.
Tiba-tiba, suara lembut memanggil dari belakang.
“Hei… pria petualang,” ucap gadis itu.
Nada suaranya bukan sekadar panggilan biasa—ada harap di sana. Ada luka yang disembunyikan dengan rapi. Ia berdiri tegak di hadapan Johan, seperti seseorang yang telah lama terkurung dalam sangkar tak kasatmata dan baru saja mencium aroma kebebasan dari balik jeruji.
“Maukah kau bercerita tentang kehidupan di luar sana? Tentang kota. Tentang langit yang tak tertutup kanopi daun. Tentang suara klakson, lampu jalan, atau… tentang sekolah. Aku ingin sekali tahu rasanya bersekolah. Duduk di bangku dengan seragam. Membaca buku yang harum dan berat di tangan.”
Johan terdiam sejenak. Di matanya, gadis ini bukan sekadar saksi hutan. Ia adalah jiwa yang terperangkap di antara dunia gelap dan cahaya yang belum sempat menyapa. Gadis ini haus, bukan oleh air, melainkan oleh dunia yang tak pernah dikenalnya. Dan mungkin, pikir Johan, dari kerinduan yang sederhana itu, ia bisa menguak misteri hutan dan menyelamatkan Kalmi.
“Tentu,” ujarnya akhirnya. “Aku akan ceritakan semuanya. Tentang keramaian kota, tentang bangku sekolah, tentang pesawat, taman bermain, bahkan tentang es krim yang meleleh di tangan.”
Gadis itu tersenyum kecil. Tapi cepat-cepat senyum itu memudar.
“Ayahku melarangku bicara dengan para pekerja. Katanya, dunia luar hanya membawa petaka. Tapi… aku ingin tahu. Aku ingin bebas.”
Johan melangkah mendekat, nada suaranya tenang namun dalam. “Bagaimana jika kita bekerjasama? Aku akan menyusun rencana, sebaik dan seteliti mungkin. Dan ketika kita berhasil keluar… aku akan sekolahkan kamu. Aku akan bawa kamu terbang naik pesawat. Aku akan biayai hidupmu. Apa pun yang kamu mau, Liana, kamu akan punya itu.”
Gadis itu—Liana, usianya mungkin dua puluh tahun atau lebih sedikit—menatap Johan seperti seorang anak kecil yang baru saja dihadiahi mimpi. Matanya berbinar. Tapi kemudian, awan keraguan kembali menggelayut.
“Tapi… apakah kita benar-benar bisa kabur dari sini?” gumamnya lirih.
Johan menyentuh bahunya, pelan, penuh keyakinan. “Kita akan rencanakan semuanya. Sedikit demi sedikit. Bersama-sama. Dan ketika waktu itu tiba, kita akan melakukannya.”
Liana mengangguk pelan. Perlahan tapi pasti, kepercayaan mulai tumbuh dalam dirinya.
“Baiklah… kita akan coba,” katanya. Tapi lalu ia menyambung polos, “Tapi... apa itu pesawat?”
Johan tertawa kecil, geli sekaligus sedih. Ia lupa, gadis ini tak pernah melihat dunia seperti dirinya. “Pesawat itu seperti burung besi, Liana. Ia punya sayap dan terbang di udara. Kita bisa naik di dalamnya, dan ia akan membawa kita ke tempat jauh hanya dalam hitungan jam.”
Mata Liana membulat. “Terbang di udara? Seperti burung? Itu menakjubkan! Tapi... bagaimana bisa?”
“Karena mesin yang kuat. Mesin itu mendorong udara ke bawah, dan sayap pesawat menciptakan gaya angkat. Seperti keajaiban yang dijelaskan dengan logika.”
Liana menatap langit, seolah-olah bisa membayangkan pesawat itu melintas di atas kanopi pohon yang padat.
“Apakah… kita bisa kabur dengan naik pesawat juga?”
Johan mengangguk. “Jika kita bisa mencapai kota terdekat yang punya bandara, maka iya. Kita akan kabur, dan terbang bersama.”
Sesaat, mereka terdiam. Angin sore menyusup di antara batang pepohonan, membawa hawa dingin yang menusuk lembut. Tapi di hati mereka, mulai tumbuh hangat kecil yang bernama harapan.
“Oh ya,” kata Johan sambil menatap gadis itu. “Sebelum kita mulai rencana ini… siapa namamu?”
Gadis itu tersenyum. Kali ini tanpa ragu. Tanpa takut. “Namaku… Liana.”
“Senang bertemu denganmu, Liana. Aku Johan. Dari sekarang, kita bukan hanya dua orang asing di hutan ini. Kita adalah sekutu. Kita akan mencari kebebasan, bersama-sama.”
Dan begitulah, pertemuan itu menjelma menjadi sebuah janji sunyi di tengah belantara. Janji tentang pelarian, tentang dunia baru, dan tentang dua jiwa yang menolak menyerah pada nasib. Apakah mereka akan berhasil? Tak ada yang tahu. Tapi harapan… selalu tahu ke mana harus tumbuh.