Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Mana cincin pertunangan itu, Aluna?" suara pria itu—dalam dan keras—menusuk malam yang hening.
Aluna menunduk, jemarinya yang gemetar memegang erat tangan kirinya, tempat dimana cincin pertunangan itu masih melingkar.
"Aku... aku belum siap melepasnya," bisik Aluna hampir tak terdengar.
Tasya, gadis muda itu memiliki wajah cantik, hanya saja lebih tajam dan licik, tertawa kecil dengan nada mengejek.
"Astaga, Luna. Kau masih mengharapkan pernikahan yang sudah tidak ada itu? Sadarlah... Niko sekarang milik aku." katanya sambil memamerkan senyum penuh kemenangan.
Zayyan yang mengamati dari kejauhan mengepalkan tangannya erat-erat.
Darahnya berdesir melihat betapa rendah dan kejamnya kata-kata mereka.
Aluna memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar kecil. Tapi ia tetap berusaha berdiri tegar, walau matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak peduli... cincin ini adalah satu-satunya yang tersisa dari kenangan itu. Setidaknya... biarkan aku menyimpannya." ucapnya lirih.
Namun tanpa memperdulikan permohonan itu, Niko—mantan tunangan Aluna—mendekat, meraih tangan Aluna dengan kasar.
"Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Aluna! Cincin ini seharusnya diberikan kepada calon istriku sekarang. Ini sudah bukan menjadi hakmu lagi!"
Aluna berusaha menarik tangannya, namun cengkeraman Niko terlalu kuat. Dengan kasar, Niko memaksa cincin itu keluar dari jari manis Aluna, meninggalkan goresan merah di kulitnya.
Air mata Aluna jatuh, satu per satu, tanpa suara.
Bukan karena kehilangan cincin itu. Tapi karena luka-luka lama yang kembali disayat tanpa ampun.
Tasya melipat tangannya di dada, menatap Aluna dari atas ke bawah seperti memandang pecundang yang menyedihkan.
"Kau pikir dengan menangis seperti itu akan membuat kami kasihan? Tidak! Dunia ini tidak pernah butuh orang sepertimu, Luna. Bahkan orang tuaku saja tahu itu."
Kalimat itu—kalimat itu menghantam Aluna seperti pisau yang berputar dalam dadanya.
Zayyan menahan napas, jantungnya menghantam tulang rusuknya.
Melihat Aluna berdiri di sana—sendirian, hancur, tapi tetap menolak jatuh—membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar belas kasihan.
Ini bukan tentang sekadar menyelamatkan hidup seseorang. Ini tentang menyelamatkan seseorang yang tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.
Setelah mengambil cincin itu, Niko dan Tasya pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan Aluna berdiri membeku di tengah halaman, seperti boneka usang yang dibuang.
Zayyan tak tahan lagi. Ia berjalan pelan mendekat, memastikan langkahnya tidak mengejutkan Aluna.
Gadis itu memeluk dirinya sendiri, tubuh mungilnya bergetar hebat, kepalanya tertunduk dalam keputusasaan. Di bawah cahaya redup bulan, Aluna tampak begitu kecil—begitu hancur.
Zayyan mendekat perlahan, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaket damkar nya dan menyampirkan nya ke pundak Aluna.
Aluna tersentak kecil, lalu perlahan menoleh.
Melihat sosok Zayyan di hadapannya, air mata yang tadi ia tahan, akhirnya pecah.
Tangisnya mengalir deras tanpa suara.
Tangis yang memecah sunyi malam, membawa semua rasa sakit, semua kehilangan, semua ketidakadilan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Zayyan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.
Setelah beberapa saat, Aluna terisak, suaranya pecah,
"Kenapa semua ini harus terjadi padaku, tuan? Kenapa? Apakah aku memang tidak pantas untuk mendapatkan cinta dari laki laki yang sangat aku cintai? Apakah aku tidak pantas untuk menerima cinta dan juga kebahagiaan di dunia ini?"
Zayyan merasakan hatinya bergetar hebat.
Ia menunduk, menatap mata Aluna yang sembab, dan dalam suara rendah penuh kehangatan, ia berkata,
"Kau bukan tidak pantas dicintai, Aluna. Dunia ini hanya terlalu kejam untuk orang sebaik dirimu."
Kalimat sederhana itu—kata-kata yang pantas untuk menenangkan rasa sakit yang dialami oleh Aluna—menjadi benih kecil yang ditanamkan Zayyan di hati Aluna yang gersang.
Benih harapan.
Benih keberanian untuk percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, ia masih bisa diselamatkan.
Malam itu, di bawah langit kelabu yang penuh awan berat, Aluna akhirnya membiarkan dirinya menerima satu kenyataan kecil:
Bahwa kadang, kebaikan itu datang dari orang asing.
Dari seseorang yang bahkan tak pernah mengenalnya, tapi cukup peduli untuk tetap tinggal ketika seluruh dunia memilih pergi.
Dan Zayyan, dengan kesabaran dan kehangatannya, telah menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan yang hampir menelan Aluna.
Mungkin, untuk malam ini saja, Aluna bisa berhenti bertarung sendirian.
Mungkin, untuk malam ini saja, ia bisa mulai percaya lagi.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/