NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:17.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 34

Artha menutup bagian bawah yang menegak dengan kedua telapak tangan. Masalahnya air yang membasahi tubuhnya juga mengenai celananya. Dan saat hawa yang panas tiba-tiba menjadi segar begini, lalu Naira memeluknya, jelas saja si Jasson bereaksi.

"Apa? Nggak mungkin lah? Dia emang otomatis. Bukan karena lo, tapi karena gue kena air. Udah biasa begini! Lo keluar sana!"

Masih berdiri di sana dengan kening mengernyit, Naira menyangsikan kejujuran Artha.

"Keluar nggak? Apa lo penasaran sama isinya?"

Bertambah merahlah wajah Naira. Dia melotot kesal.

"Apaan, sih! Ogah. Gue keluar!"

“Bagus!” Artha mengarahkan wajah ke arah pintu, mengisyaratkan agar Naira segera keluar dari kamar mandi.

Naira mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya yang basah. Sialan Artha! Dia sengaja mencipratkan air itu membasahi rambut dan juga sedikit bajunya. Mau keluar dari kamar Artha, tetapi urusannya belum selesai. Tentu Naira tahu benar kalau Artha suka ngedrama. Dia hanya ingin bicara hal penting, tetapi lelaki itu malah sengaja membuatnya kesal. Naira memilih menunggu di kamar lelaki itu.

Memang, baru kali ini Naira melihat dengan jelas kamar Artha. Untuk ukuran cowok, Artha termasuk rapi. Tiada barang atau pakaian yang teronggok tidak pada tempatnya. Dan di sana banyak sekali penghargaan yang diterima lelaki itu. Sangat berkebalikan dengan dirinya yang nyaris tidak memiliki prestasi selain medali yang sempat diraihnya ketika masih berstatus murid SMP.

Detik itu juga Naira menyadari jika dia dan Artha benar-benar seperti bumi dan langit. Apa itu artinya dia sangat beruntung karena bisa dekat dengan lelaki itu? Naira terkadang berpikir jika dia memang sangat beruntung. Dari kalangan miskin dan yatim piatu, derajatnya seakan-akan langsung diangkat oleh Tuhan setelah Artha bersamanya. Dia tak lagi memusingkan makan apa nanti, bagaimana membayar sekolah, lalu perlengkapan sehari-hari yang tentu membutuhkan banyak uang.

Perhatian Naira teralihkan pada foto dalam pigura kecil yang terletak di meja belajar Artha. Tangan mengambil alih pigura itu, melihatnya lebih dekat. Itu adalah foto Artha kecil yang terlihat lucu dan menggemaskan. Telapak tangan mengusap permukaannya di sana, melihat anak kecil yang berusia sekitar tujuh tahun berdiri dengan jersey bola.

“Lo belum balik? Masih betah di kamar gue?” Artha keluar dari kamar mandi dengan mengusapusap rambut menggunakan handuk kering. Sementara tubuhnya hanya ditutupi handuk yang dililit sebatas pinggang.

Naira membalikkan badan. Langsung dihadapkan pada dada telanjang Artha. Kebiasaan banget Artha selalu bertelanjang dada seperti ini. Dia bener-bener tidak punya urat malu.

“Astaga, Artha! Lo nggak punya malu, ya! Pake baju dulu sana! Lo susah banget dibilangin! Kasihan tahu nanti yang jadi bini lo!” Naira ngedumel. Bisa-bisanya Artha sesantai itu padahal ada cewek di kamarnya.

“Lo lagi ngasihani diri lo sendiri?”

Artha duduk di ranjang, tak peduli dengan permintaan Naira yang sejak tadi menyuruh lelaki itu untuk mengenakan pakaian. Kedua tangan menjorok untuk bertumpu ke belakang. Dengan posisi seperti itu justru dia tampak menantang.

"Kan bini gue itu lo."

Wajah merah Naira sudah tak bisa dikondisikan lagi. Tangan menyambar kaus putih polos yang sejak tadi dijadikan bahan perdebatan setelah meletakkan kembali pigura kecil yang tadi sempat menarik perhatiannya. Menahan rasa kesal bercampur malu, Naira maju mendekat pada Artha. Berusaha mengabaikan kondisi Artha yang hanya berbalut handuk, gadis itu memasangkan kaus dengan memasukkan kepala Artha pada lubang leher.

"Buruan pake! Lo bukan bayi, Artha!"

Artha terkekeh kecil. Tangan melanjutkan mengenakan kaus yang terpasang setengah di badannya.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Artha sembari membenarkan posisi kausnya.

Dia masih setia mengenakan handuk di bagian bawah tanpa berniat mengganti pakaian. Handuk itu masih menjadi perhatian Naira. Jika tadi Artha keluar hanya pakai handuk, bukankah itu artinya di balik handuk itu tiada apa pun yang menutupi?

“Lo lihatin apaan, Nai?"

Kelopak mata Naira langsung mengerjap cepat, menyadari Artha memperhatikan ke mana matanya tertuju.

"Lo masih penasaran apa yang ada di dalam sini?" tanya Artha lagi sembari mengusap paha yang berbalit handuk. Gerakannya seperti tengah menggoda.

Naira melotot, lalu mendengus kasar.

"Mesum!" Bibir mengerucut kesal.

Dia akhirnya ikut duduk di ranjang, tepat samping Artha. Setidaknya Artha sudah lebih sopan daripada sebelumnya. Tanpa mengarahkan pandangan pada lelaki itu, Naira melemparkan tanya.

"Lo jadi nerima tantangan Om Fadli?"

Mendengar nama Fadli disebut mengubah ekspresi Artha secepat kilat. Dia juga tidak mengerti mengapa pria itu selalu bisa dengan cepat memancing rasa kesalnya.

"Tentu. Gue nggak mungkin ngehindar, kan? Ini masalah harga diri."

"Kalau gue bilang jangan, apa lo tetep berangkat?" Kali ini Naira mengarahkan tatapannya pada Artha.

"Gue khawatir sama lo!"

"Gue udah biasa balapan. Nggak akan kenapa-kenapa."

"Tapi gue nggak suka lo balapan." Naira berkata dengan nada meninggi.

"Apa yang lo dapetin dari balapan itu? Nggak ada, kan? Iya kalau lo nggak kenapa-kenapa? Kalau ada apa-apa saat balapan, siapa yang disalahin?"

"Apa yang gue dapetin? Harga diri, Nai. Dia nantangin. Jadi gue nggak mau dianggap cemen dengan nggak dateng. Gue paling benci ada yang ngejatuhin harga diri gue."

"Nggak usah diladenin, Ta. Sesimpel itu. Kalian juga nggak setiap hari ketemu. Nggak akan ada harga diri jatuh karena nggak dateng ke balapan itu. Percaya sama gue. Please! Jangan pergi!"

Naira menatap Artha sendu, berkata dengan nada memohon. Tangan menyatu di depan wajah. Dia benar-benar tak ingin Artha meladeni perkataan Fadli.

"Okey! Gue nggak akan pergi." Artha memutuskan yang membuat Naira bernapas lega.

"Tapi dengan satu syarat!"

Naira mendengus. Artha selalu memperumit masalah.

Andai Artha mengikuti balapan itu, dan kemudian terjadi sesuatu. Ravindra yang belum pulang dari luar kota akan semakin murka. Artha pasti akan mendapatkan hukuman yang mungkin lebih dari sebelumnya. Dan yang membuat Naira takut adalah keluarga ini akan kehilangan kebahagiaan lagi jika anak dan papa itu sudah perang dingin.

"Syarat? Syarat apa?" tanya Naira kemudian. Walaupun kesal, tetapi dia juga harus tahu syarat yang Artha sebutkan.

"Cium gue selama lima menit." Artha menipiskan bibir.

"Bisa nggak?"

"A-apa?"

Sungguh, otak Artha bener-bener udah geser. Pikirannya dari tadi cium-cium mulu. Sepertinya memang Naira harus berusaha mencuci otak mesum Artha agar tidak modus dan selalu mengambil kesempatan. Dan apa itu tadi? Lima menit? Astaga! Bibir mereka menempel sedetik saja sudah membuat Naira tidak bisa tidur. Apalagi harus sampai lima menit.

"Gimana? Bisa nggak?" Tangan yang sejak tadi bertumpu di belakang, sekarang bersedekap dada. Tatapan menatap lurus ke arah Naira.

"Nggak ada ciuman, balapan akan dilakukan. Inget lima menit. Nggak boleh kurang, boleh lebih."

Anjim banget, kan? Banyak banget nyari untung. Mata Naira menatap ke kanan dan ke kiri, tetapi tak beralih pada wajah Artha. Pengen marah, tapi nggak tahu mau marah kenapa. Ini semua tidak ada urusan dengan hati. Terserah Naira mau melakukannya atau tidak. Namun, siapa yang mau ciuman hanya dijadikan mainan. Walaupun dirinya dan Artha sudah sah, tapi Artha mengatakan hubungan ini cuma status. Nggak mungkin ciuman lima menit nggak bikin baper. Naira takut jatuh cinta.

"Lo makin gila! Gue sebel sama lo!"

Artha terkekeh. Dia tahu Naira nggak akan berani melakukan itu. Lelaki itu pun sebenarnya lebih keiseng ngasih tantangan karena tahu Naira nggak akan mau. Tangan yang sebelumnya melipat di dada kini diturunkan, lalu secara perlahan menyentuh dagu gadis itu.

Naira hanya diam saat Artha mengangkat wajahnya sedikit menengadah, sehingga pandangan mata keduanya saling temu. Wajah Artha semakin dekat. Mata Naira makin melebar, ingin menghindar, tetapi tangan Artha yang lain menahan kepalanya. Hinggan kemudian bibir itu cuma berjarak satu senti saja. Hanya embusan napas keduanya yang saling menerpa.

"Nggak susah, kok, kalau lo memang niat! Cuma nempelin bibir doang. Kalau lo nggak bisa, gue juga nggak maksa. Gue tetep balapan." Wajah Artha menjauh, pun dengan tangan yang menyentuh dagu Naira segera diturunkan.

Hanya didekatkan wajah saja jantung Naira berdetak tak keruan. Gimana dengan ciuman bibir. Bisa gila Naira lama-lama.

"Terserah! Gue udah bilang pokoknya. Lo mau balapan kek, lo mau minggat kek, gue nggak peduli." Naira kemudian beranjak dari duduknya, berdiri. Tatapan tajam diarahkan pada Artha, lalu gegas keluar dari kamar lelaki itu.

Memang sulit sekali mengubah prinsip Artha yang sok berani. Si sok paling punya harga diri. Naira terbiasa mencari aman. Dirinya dulu acapkali dibully teman-temannya, dan dia diam saja. Bukan karena Naira tidak memiliki harga diri. Dia tentu paling menomorsatukan harga diri. Namun, ada kalanya dia harus menahan diri agar tidak terseret pada masalah yang lebih jauh. Kapasitasnya sebagai murid dari kalangan serba pas-pasan, terkadang malah kekurangan membuat Naira berpikir jauh lebih dewasa dalam menentukan sikap.

Bisa saja dulu dirinya melawan, menghajar setiap siswa yang sudah mencari gara-gara dengannya. Alih-alih melakukan itu, Naira lebih memilih bertahan. Bukan tidak melawan, melainkan mempertahankan diri ketika diserang, bukan menantang seperti yang Artha lakukan.

Saat malam menjelang, Artha terlihat sudah rapi dengan jaket kulit yang melekat di tubuhnya. Naira melihat Artha keluar dari rumah melalui balkon kamarnya. Saat Artha hendak memacu motor sport merahnya, dia menatap ke atas.

Merasa ada yang memperhatikan, pandangannya diarahkan ke kamar Naira. Artha tak banyak bicara. Dia hanya melihat Naira yang sedang memperhatikannya. Hal itu dilakukan tak lebih dari tiga detik, karena pada detik selanjutnya dia memilih mengenakan helm fuliface-nya.

Suara mesin motor dinyalakan tak membuat perhatian Naira teralihkan. Walaupun Artha sudah menjauh dan meninggalkan rumah, Naira tetap menatap di mana punggung Artha sudah tidak berada disana. Untuk saat ini Naira merasa akan ada masalah. Apa yang harus dia lakukan? Artha, mengapa sih selalu nyari masalah? Sesuai dengan perjanjian, Artha sudah tiba di cafe Amoris. Cafe ini memang terletak di area yang sering kali dijadikan tempat balapan liar. Sudah terkenal sejak zaman dahulu. Di sana ternyata sudah banyak berkumpul teman-teman Artha, termasuk Thalita, Sinta, dan Rachel. Entah siapa yang memberi pengumuman. Teman-teman sekelas Artha pada ikut melihat pertunjukan di sini.

Fadli ternyata bukan cowok biasa. Pertama kali bertemu, lelaki itu tampak seperti pria kantoran. Namun, saat pertemuan terakhir, Fadli malah terlihat berbeda. Badannya bagus. Tinggi dengan otot-otot bisep yang begitu indah terbentuk. Membuat para kaum hawa menjerit saat didekati olehnya.

Bener-bener membuat Artha kesal. Apalagi cowok itu tentu lebih matang dan kaya darinya yang hanya berstatus seorang pelajar. Nggak boleh kalau Naira tiba-tiba naksir sama Om Fadli itu. Pokoknya membayangkan saja sudah membuat Artha kesal. Bagaimana jika di kemudian hari Naira beneran jadian sama pria itu?

Tapi seharusnya jika tidak menginginkan Naira pergi, Artha harus mengatakan perasaannya pada Naira, bukan? Jujur saja kalau cemburu. Iya, Artha akui kalau cemburu saat melihat Naira dideketin pria lain. Status istri membuat Artha merasa memiliki Naira sepenuhnya walaupun dia belum memiliki perasaan seperti apa yang pernah dirinya rasakan ke Mesa dulu. Intinya saat ini, Artha tidak ingin si Om Fadli ngedeketin Naira. Apa pun alasannya. Titik. No debat.

"Jadi kita balapan di sini?"

Artha dan Fadli sudah berada di atas motor masing-masing.

Fadli mengangguk. Tampak seorang wanita datang, lalu dengan senang hati duduk di belakang motor sport hitam legam yang Fadli kendarai.

"Sok-sokan bawa cewek." Artha tersenyum sinis.

"Kamu berani balapan dengan membawa seorang wanita?" Dengan membonceng seseorang di belakang, membuat pengendara tidak bisa seenaknya ugal-ugalan karena ada tanggung jawab akan keselamatan seseorang yang sedang diboncengnya.

Saat ini Artha bingung harus bagaimana. Dia tidak membawa teman wanita. Namun, hal itu tentu tak disia-siakan oleh Thalita. Kesempatan langka!

Thalita dengan penuh percaya diri menghampiri Artha, lantas tanpa menunggu persetujuan menaiki motor Artha.

"Gue bisa nemenin lo!" ucap Thalita seraya mengenakan helm yang entah dapat dari mana.

"Thanks!" Artha mulai menyalakan mesin motornya, menggeber dengan banyaknya asap keluar dari knalpot.

Saat seorang wanita membawa bendera datang, sebagai petunjuk balapan akan segera dimulai, seseorang berlari dari kejauhan membuat semua orang mengalihkan perhatian sejenak.

Gadis berambut panjang dengan poni menutupi dahi merentangkan kedua tangan di depan kedua motor yang siap melaju.

"Naira!" kata Artha dan Fadli secara bersamaan.

"Udah, nggak usah dilanjutin. Kalian bisa nggak sih berbuat lebih dewasa. Om, jangan maksain Artha kayak gini. Om kan lebih dewasa, jangan nantang anak SMA!"

Perkataan Naira membuat Artha kesal. Apa maksudnya Naira mohon-mohon kepada Fadli. Pakai bilang lelaki itu lebih dewasa. Seakan Artha adalah anak kecil. Saat Fadli hendak menjawab, Artha menyerobotnya.

"Pergi nggak lo, Nai!" bentak Artha yang cukup membuat Naira terkejut.

"Iya, lo ganggu aja!" Thalita yang sudah tak sabar dibonceng Artha sambil balapan ikut mengompori. Ini momen langka. Dia sudah menyuruh Sinta untuk merekam dirinya saat balapan berlangsung. Buat di-uploud di sosial media.

Namun, Naira tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menuju Artha berada. Lalu dengan penuh tekad dia mengulurkan tangan, membuka tali pengait pada helm Artha, lantas menaikkan helm Artha sampai sebatas wajah. Dan di hadapan semua orang, dengan penuh keberanian, Naira mencium bibir Artha.

Mata Artha melebar. Bibir dan bibir saling temu, menempel. Dalam waktu lima menit. Lima menit yang membuat jantungnya berdetak kencang. Lima menit yang membuat kepalanya terasa pecah. Lima menit yang sungguh tak pernah terbayangkan olehnya.

Naira masih memejam, berusaha tak memedulikan semua orang yang tengah melihat aksinya. Terutama Fadli.

Sementata Artha hanya diam mematung, tak bereaksi. Ini benar-benar di luar dugaan. Gila! Naira benar-benar melakukannya. Entah gadis itu mengumpulkan keberanian dari mana. Artha tak mengerti, tetapi untuk saat ini jantungnya benar-benar tak bisa dikondisikan. Naira membuatnya gila.

Benar-benar gila.

1
𝐍𝐮𝐫𝐖𝐢𝐧𝐀𝐫
👍👍👍👍👍
Indriani Kartini
keputusan yg tepat
karina
gila Fadil.. musnakan ajah cwo begitu.
Ff Gembel
lanjut
rill store
lanjut thor
zuleyka
up lgi thorrr
syifa
pengen jadi naira, direbutin para cwok kaya
syifa
ksihan bngt artha
Anonymous
up trus thor
Syahril Akbar
gk sabaran kelanjutannya seperti apa/Determined//Determined/
Syahril Akbar
semangat up nya thor
Syahril Akbar
lanjut thor suka banget
Syahril Akbar
up lagi dong Thor
Anonymous
bagus banget ceritanya
yingbidew
buruann thor update gk sabar
yingbidew
up terus
yingbidew
bagus banget alurnya, pengen cepat-cepat tau akhir critanya
yingbidew
makin penasarannn
yingbidew
upp trus thor
Indriani Kartini
bagus suka banget, bacanya sampai tegang bngt thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!