"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN DI PINTU SURGA
Matahari baru saja terbit, menciptakan kehangatan lembut di pagi yang damai. Namun, bagi Farah ibunya zilfi, pagi itu terasa kelabu. Setiap detik yang berlalu, rasa sakit di hatinya semakin dalam. Bayangan wajah anaknya, Zilfi, berkelebat di benaknya.
Satu minggu yang lalu, saat ia masih mengandalkan harapan untuk bisa berbincang dengan mantan suaminya, Falah, semua itu runtuh. Tanpa pemberitahuan, Falah memasukkan Zilfi ke pesantren, memutuskan segalanya sendiri seolah ia bukan seorang ibu. Bagaimana bisa seorang ayah bertindak tanpa memberi kesempatan kepada ibu untuk berpendapat?
Dengan hati yang berat,Farah mempersiapkan diri untuk menjenguk Zilfi di pesantren. Dia mengenakan hijab kesayangannya dan menyeka air mata yang tak kunjung surut. “Aku akan melihatmu, nak,” bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Ketika mobilnya melaju di jalan setapak menuju pesantren, kenangan indah bersama Zilfi muncul kembali.. Semua kenangan itu kini terasa jauh dan tertutup oleh rasa sakit yang dalam.
Sesampainya di pesantren, suasana yang tenang dan khidmat terasa aneh bagi Farah. Anak-anak lain tampak ceria, berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi hatinya hanya bergetar memikirkan bagaimana Zilfi akan menyambutnya. Dia berdoa dalam hati agar putrinya tidak merasa terasing di tempat baru ini.
Dengan langkah perlahan,Farah memasuki aula pesantren. Suara adzan terdengar, menggema di antara dinding-dinding yang dingin. Di sudut ruangan, dia melihat Zilfi. matanya berbinar saat melihat ibunya. Hati Farah terasa terbelah. Bagaimana bisa dia merasa bahagia sekaligus hancur melihat putrinya di tempat yang bukan pilihan mereka berdua?
“Zilfi!!" teriak Mira, dan seolah diambil alih oleh rasa rindu yang menggebu, dia berlari menghampiri anaknya. Pelukan hangat yang ditunggu-tunggu terjadi, dan air mata mereka bercampur dalam kebahagiaan yang terasa pahit.
“Ibu,” Zilfi berbisik, suaranya bergetar. “Kenapa ibu datang?”
“Aku datang untuk melihatmu, nak. Ibu merindukanmu,” jawab Zilfi dengan suara serak. Dia tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. “Tapi, kenapa ayah memasukkanmu ke sini tanpa memberi tahu ibu?”
Zilfi terdiam sejenak, tatapannya merunduk. “Ayah bilang ini yang terbaik untukku, Bu.”
“Yang terbaik? Atau hanya untuknya?” Farah bertanya, rasa sakit kembali merobek hatinya. “Ibu hanya ingin kita bisa membuat keputusan bersama, Zilfi.”
Zilfi menggeleng, terlihat bingung. “Aku ingin belajar, Bu. Tapi aku juga ingin ibu di sini.”
Farah menghapus air mata dan menatap Zilfi. “Ibu akan selalu ada untukmu, nak. Tidak peduli di mana pun kamu berada, kasih sayang ibu tidak akan pernah pudar,ibu harap kamu tetap menghubungi ibu ya nak,,kapan -kapan kamu tinggal di rumah ibu ya...”.Zilfi pun menjawab.."Insyaallah jika ayah mengizinkan,liburan nanti aku pulang ke rumah ibu,,"
Mereka duduk bersama di halaman pesantren, bercengkerama tentang hal-hal kecil, berbagi cerita dan tawa. Dalam pelukan itu, Farah merasakan kekuatan baru. Meskipun Falah berusaha memisahkan mereka, cinta seorang ibu tak akan pernah padam.
Saat menjelang sore, Farah tahu sudah waktunya untuk pergi karena waktu berkunjung sudah habis . Namun, dia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia tidak akan menyerah. Dia akan berjuang untuk mendapatkan kembali haknya sebagai seorang ibu, agar Zilfi bisa merasakan kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya, tidak terpisah oleh keputusan yang sepihak.
Dengan langkah mantap, Farah meninggalkan pesantren, hatinya penuh harapan. Dia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia siap berjuang demi putrinya. Cinta tidak mengenal batas, dan itu adalah kekuatan terbesarnya.