Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.14 - Lail Si Penipu Ulung
“La, kemarin kenapa turun di tengah jalan?” tanya Bening.
“Hehe, kebetulan ada urusan genting.” Jawab Lail, dia menggaruk pipinya yang tak gatal.
“Ouh...” Bening memilih untuk percaya.
Ini adalah pekan terakhir sebelum PAS. Tapi para siswi tampak santai, kecuali mereka yang masih kena bimbingan BK karena tersangkut kasus. Isvara juga baru selesai dengan bimbingannya setelah ribut dengan kakak kelas tempo hari. Sepertinya setelah kejadian itu, Marina tak pernah mengganggu Isvara lagi.
Lail menatap malas Nylam yang sudah mengatur kursi untuk tidur. Kegiatan rutinnya jika ada jam kosong adalah bermain gim, setelah beberapa saat dia akan terlelap seperti orang mati. Nylam memang selalu begadang setiap malam. Sibuk menaikkan rank akunnya.
“Ning, kamu punya nomor Erlangga ‘kan? Boleh minta gak?” tanya Lail.
“Hah? Nomornya ‘kan udah kuhapus kemarin.”
Lail menepuk dahinya, dia lupa.
“Hng... tapi kayaknya nomor dia ada di riwayat panggilan, deh.” Bening membuka ponselnya.
“Panggilan? Kalian pernah telponan?”
“Bukan! Dia yang nelpon, cuma gak aku angkat.” Bening membantah mentah-mentah.
“Ouh..."
Lail menyimpan nomor Erlangga untuk saat-saat genting. Persiapan bila mana semasa-masa dia bertindak kurang ajar. Dia akan mengancam Erlangga menggunakan video yang telah direkam. Lail bisa saja menyebarkannya kalau Erlangga macam-macam. Karena, walau Erlangga stres, ancaman sekecil ini sudah bisa membuat mentalnya ciut.
“Ah! Gak bisa main nih bocah satu!” keluh Nylam yang bermain gim sambil tiduran di atas deretan kursi.
“Nylam, bangku aku balikin!” kesal Bening.
Sudah satu semester sekolah, semuanya sudah beradaptasi dengan lingkungan kelas. Kelompok pertemanan juga sudah terbagi menjadi beberapa.
Pertama ada Lail, Bening dan Nylam. Kemudian Welda dan Azara yang satu ekskul. Zeira serta Hanin yang jadi duo NPC kelas. Milda dan Shanaya pun tak pernah lepas, senantiasa bersama-sama.
Akhir-akhir ini Jelika terlihat selalu bersama dengan Shakira. Empat sisanya tergabung dalam geng Amanda yang punya basecamp sendiri di kantin.
Baru satu semester, tersisa lima semester lagi. Lail punya firasat kalau kelompok pertemanan akan berubah seiring berjalannya waktu. Yah, Lail harap tak ada yang berubah dari hubungan antara dirinya, Nylam dan Bening.
“Tim burik!” cerca Nylam, rupanya dia kalah lagi saat main rank.
Lail mengembuskan napas lelah. Personil kelas ini sudah sangat menguras emosi dan tenaganya.
“Lama-lama kelas dua gue pindah juga nih ke kelas lain. Kelas kita rasanya kayak kelas buangan.”
Suara keluhan Amanda bisa terdengar jelas oleh Lail meski jarak tempat duduk mereka cukup jauh. Sudah sejak sebulan lalu Amanda mengeluhkan kelas 1-7, kelas paling terakhir yang bisa dikatakan sebagai murid sisa karena jumlahnya tak sampai 20 orang.
Tahun ini sekolah kekurangan lima murid lagi untuk menyempurnakan aturan 20 siswi per kelasnya. Lail sudah muak mendengar ocehan Amanda nyaris setiap hari.
Kenapa gak sekalian aja keluar dari sekolah? Itu ide paling bagus.
“Eh tau gak? Si Marina itu baru juga putus udah dapet yang baru aja. Gue yakin sih dia punya cadangan bahkan pas masih pacaran.” Ujar Isvara, memulai gosip hari ini.
“Gue tau tuh lon*e gak bener.” Kompor Amanda.
“Emang rata-rata geng mereka tuh gitu semua anjir.” Timpal Giselle.
“Dari muka aja udah kentara.” Tambah Khalila.
Dan jangan lupakan gosip pedas mereka yang selalu membicarakan aib orang lain seolah-olah mereka tidak melakukannya. Telinga Lail sudah ‘bersih’ mendengar berbagai gosip yang rupa-rupa rasanya itu.
Di satu sisi meninggikan diri sendiri dan di sisi lain merendahkan orang lain. Mungkin menjelekkan orang lain adalah cara mereka untuk memuaskan diri sendiri. Cara yang menjijikkan dan kotor.
“Sayang, mikirin apa sih?” tanya Shanaya, kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Lail.
Lail menatapnya jijik.
Neraka yang ia dapatkan dari kelas ini bukan hanya geng Amanda. Melainkan juga Shanaya yang akhir-akhir ini menggoda dan mengejar Lail.
Menurut teman sekelas mereka mungkin lucu, apalagi reaksi Lail yang berlebihan seperti berlari ke luar kelas atau nyaris melempar kursi pada Shanaya. Tapi bagi korban, ini bukanlah perlakuan yang membuatnya tertawa.
Ini bukanlah lelucon, dan Lail bisa saja menangis jika di ruangan ini tak ada banyak orang. Lail harus bersabar, setidaknya untuk tiga tahun ke depan. Setelah itu? Lail akan putus kontak dengan mereka.
Waktu saat jam kosong berlalu sangat cepat. Akhir pekan juga berlalu layaknya angin ribut. Seminggu penuh PAS dijalani. Tidak ada drama berarti seperti saat PTS.
Minggu berikutnya diisi oleh kegiatan remedial bagi para siswi yang nilai ujiannya tak sampai KKM yang telah ditentukan sekolah. Dari sepuluh pelajaran, Lail dan Nylam remedial pada satu mapel, sedangkan Bening remedial di dua mapel. Sisanya? Rata-rata dari mereka mendapat remedial di lebih dari tiga mapel.
Entah bagaimana mereka menyelesaikannya, tapi ada beberapa guru yang menggunakan cara cepat agar para siswi melewati remedial dengan mudah.
'Uang’ adalah media penukar untuk nilai bagi guru-guru yang malas repot mengurus remedial. Hanya dengan selembar uang berwarna ungu, siswi-siswi sudah mampu membeli nilai KKM.
Miris. Tapi fakta di lapangan sudah sangat banyak.
Setelah pekan remedial usai, sisanya tinggal menunggu hari pembagian rapor.
Sekolah ini masih mempunyai sistem penilaian yang sama dengan kebanyakan sekolah, yaitu mengelompokkan si pintar dan si bodoh melalui peringkat.
Padahal tidak semua anak pintar dalam akademik. Tapi mau bagaimana lagi, sistem peringkat ini seolah sudah menjadi darah daging bagi negara.
Sistem yang rasis, kata Lail.
Alasan mereka menggunakan sistem penilaian semacam ini agar murid lain jadi terpacu untuk mendapat peringkat 1. Namun faktanya berbanding terbalik, si bodoh justru tak mau berusaha dan bergantung pada si pintar sebagaimana parasit yang menumpang pada pohon.
Ketika mereka tahu bahwa mereka tak bisa, mereka tak mencoba dan malah memilih jalur paling cepat. Joki, menyontek, pakai A.I dan cara-cara lain.
Seharusnya sistem bodoh ini dihapus. Tapi seperti mitos yang dipercayai para leluhur, sistem payah ini tak dapat dihapus begitu saja sama halnya dengan mitos.
Dan karena semua kebodohan itu, Indonesia menempati peringkat 129 dari 190-an negara dinilai dari rata-rata IQ mereka. Luar biasa, bukan?
Betapa bodohnya penduduk negara ini.
...****...
Angka 1 tertulis jelas di halaman terbawah rapor setelah rangkaian nilai yang didapatkan Lail. Angka yang biasa dia dapatkan sampai Lail bosan. Saking biasanya, orangtuanya tak pernah bereaksi apa pun apalagi sampai memberinya apresiasi.
Kalau peringkatnya turun, barulah mereka bertanya, ‘kenapa nilai Lail semester ini turun?’. Kakaknya pun tak berbeda jauh. Semua berkat gen sang bapak, kecerdasannya menurun ke semua anaknya.
Nylam sendiri di posisi kedua, Bening peringkat ketiga, Jelika dan Shakira di urutan keempat dan kelima. Sisanya Lail tak tahu. Tapi seharusnya semua dapat peringkat, dari 1 sampai 15.
Hei, bukannya itu...
Lail memicingkan matanya, berusaha melihat dari kelasnya ke arah gerbang utama. Ada sosok tinggi kurus yang menarik perhatiannya. Postur tubuh yang cukup familiar.
“La, ayo pulang.” Ajak Bening.
“Oh, iya.” Lail mengangguk.
Mereka berdua berjalan melewati lapangan voli dan basket untuk sampai ke gerbang.
Grep!
“Ning, boleh minta waktu sebentar, gak?”
Tangan Bening ditarik seseorang. Lail dan Bening menoleh bersamaan demi melihat manusia mana yang berani asal menarik tangan orang lain. Bening terdiam, sedangkan Lail mengernyit sebal.
Itu Erlangga.
Lail menarik tangan Bening yang lain. Jadilah aksi tarik-tarikan antara Lail dan Erlangga. Firasat Lail buruk, makanya dia tak suka akan kedatangan Erlangga hari ini. niat Erlangga tercetak jelas dari sorot matanya.
“Mau ngomong apa? Ngomong aja sekarang!” tantang Lail.
“Gue mau ngomong berdua aja sama Bening.” Tegas Erlangga.
Walah, bocah satu ini...!
Lail segera menarik Bening untuk bergerak menjauh. Tapi kekuatannya tak pernah bohong. Tenaga Lail kalah telak dari Erlangga yang adalah seorang lelaki. Meski gerakannya suka mendayu-dayu layaknya perempuan, ternyata si mata empat ini kuat juga.
“Lepasin Bening, gak?!” suara Lail makin keras.
Aksi tarik-menarik Bening itu berlangsung selama beberapa menit. Lail sampai tak tahu harus berbuat apa. Masalahnya, kalau Lail menarik terlalu keras, Bening bisa kesakitan. Buktinya cengkeraman tangan Erlangga berbekas di pergelangan tangan Bening, warnanya sudah berubah merah sejak tadi.
Lail menyerah, dia melepaskan tangan Bening.
“Ning, kamu mau ngomong sama dia?” tanya Lail dengan menekan setiap kalimatnya.
Dengan cepat Bening menggelengkan kepalanya.
“Lihat? Dia gak mau ngomong sama kamu.” Cerca Lail pada Erlangga.
“Ning, kok gitu sih?” Erlangga tak terima.
Bening mengempaskan tangan Erlangga agar cengkeramannya bisa lepas. “Aku mau pulang.”
“Kok lo berubah jadi dingin ke gue, Ning?” Erlangga berusaha meraih tangan Bening, untungnya Bening bergerak cepat menjauh sambil dilindungi Lail.
Bening berjalan duluan ke angkot, Lail mengikuti dari belakang masih mengawasi tindak tanduk Erlangga, khawatirnya dia semakin nekat. Beruntung mereka masuk angkot lebih dulu sebelum Erlangga berjalan satu langkah.
Di dalam angkot, Lail mengirimkan pesan ancaman pada Erlangga. Sebuah video yang pernah diambilnya. Lail sengaja mengirimnya dalam mode sekali lihat.
“Kok mendadak Erlangga begitu, ya? Jadi serem.” Bisik Bening pada Lail.
Lail hanya mengedikkan bahu, berpura-pura tak tahu.
“Eh, Lail!”
Seseorang di dalam angkot menyapa Lail. Mereka adalah rombongan anak kelas 1-1 yang tinggal di kompleks yang sama. Bagaimana Lail mengenal mereka? Tentunya dari ekskul.
Meski tampak seperti manusia introvert sejati, sebenarnya Nylam dan Bening pun tahu kalau di setiap langkahnya, Lail selalu menyapa kenalannya. Seakan-akan Lail kenal dengan setiap orang di seluruh penjuru sekolah.
“Oh? Kamu Bening, bukan?” tanya Fida, gadis yang menyapa Lail barusan.
“Hah? Iya.” Bening mendadak kikuk, karena ia tak mengenali orang-orang ini. Mereka semua kenalannya Lail.
“Tadi kamu ditungguin Erlangga di depan gerbang, ya? Gimana? Diterima atau enggak?” tanyanya lagi.
Lail membeku di tempat. Kini Bening tahu.
“Apanya yang diterima?” Bening nampak linglung.
“Hah? Bukannya dia nembak kamu? Apa gak jadi? Padahal dia cerita ke banyak orang kalau dia bakal nembak kamu pas bagi rapor.” Jelas Fida.
“Aku gak tahu apa-apa.” Jujur Bening.
“Terus tadi gak jadi?” cecar Fida.
Lail menatapnya tajam, mulut Fida terlalu comel.
“Hampir, tapi tadi ditarik sama Lail suruh cepet pulang. Untung udah aku blokir nomor dia. Kamu tahu soal ini, La?” kini Bening beralih menatap Lail yang sejak tadi membatu.
“Aku baru tahu sekarang.” Ujar Lail meyakinkan. “Tapi sekarang jadi ngerti kenapa dia aneh ke kamu.”
Bening menatap rapor di tangannya, “Iya, dia agak aneh sejak ngasih PC ke aku.”
Setelah itu, selama perjalanan, Lail dan Fida sibuk membicarakan hasil rapor mereka. Sedangkan Bening, dia hanya diam membisu di samping Lail. Otaknya terus memikirkan kejadian barusan.
Untung saja Lail memaksanya segera pulang. Kalau Bening mendengarkan pengakuan Erlangga, entah bagaimana caranya menikmati liburan semester.
Ingat, Bening itu penuh empati dan selalu merasa tidak tegaan. Walau mampu menolak pernyataan Erlangga. Kesehariannya pasti akan berubah signifikan, dan dia tak menyukai itu.
Bening melirik Lail.
Apa benar kalau Lail baru mengetahui masalah ini sekarang? Karena sebelumnya, Lail meminta nomor Erlangga padanya. Dan belum lama ini, Lail bertingkah aneh dengan turun di tengah jalan.
Kalau Lail memang tahu sejak awal, semuanya menjadi masuk akal. Bening tahu, Lail tidak sepenuhnya jujur padanya.
Bening tersenyum tipis. Diam-diam dia mengusap pergelangan tangan yang pernah menjadi saksi bisu betapa tersiksanya dia di kelas 1-7.
Tak apa.
Lail si penipu ulung ini tetaplah sahabatnya bersama Nylam.
TBC