Inara dipaksa untuk menjadi istri ketiga dari pria berusia 45 tahun. Untuk menghindari pernikahan itu, Inara terpaksa menikah dengan pria asing yang sempat ia selamatkan beberapa hari yang lalu.
Tidak ada cinta di dalam pernikahan mereka. Pria tersebut bahkan tidak mengingat siapa dirinya yang tiba-tiba saja terbangun di tempat asing usai mengalami kecelakaan tragis. Meskipun Inara terlepas dari jeratan pria tua yang memaksanya menjadi istri ketiga, tapi wanita itu dihadapkan pada masalah besar yang tengah menantinya di depan.
Siapakah pria asing tersebut sebenarnya? Benarkah ia amnesia atau hanya berpura-pura bodoh demi menghindari masalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Inara diam seribu bahasa, buliran bening seketika bergulir tanpa terasa. Telapak tangannya seketika bergerak mengusap kedua sisi wajahnya yang membanjir. Mengingat bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh sang ayah membuat luka yang sudah ia kubur dalam-dalam seakan naik kepermukaan. Rasanya sakit, amat sakit. Sebagai seorang anak, ia pun merasa tidak ada artinya.
"Sayang," sapa Johan mengusap punggung sang istri lembut. "Mas yakin ada banyak yang ingin kamu katakan sama Ayahmu itu. Sebelum benar-benar terlambat lebih baik kamu katakan semuanya, Inara. Jangan ditahan lagi, setidaknya jika beliau harus pergi pun, biarkan Ayahmu pergi dengan tenang."
Bahu Inara mulai berguncang, air matanya kian deras bergulir hingga kedua sisi wajahnya benar-benar membanjir. Wanita itu menggigit bibir bawahnya keras berharap dapat mengontrol suara isakan yang ia tahan sedemikan rupa.
Johan tidak mengatakan apapun lagi, pria itu seketika naik lalu meringkuk dan memeluk tubuh istrinya dari arah belakang. Satu kecupan pun ia layangkan di kepalanya lembut dan penuh kasih sayang.
"Menangislah sampai kamu puas, Sayang," lemah Johan.
Inara sontak memutar badan lalu menangis sesenggukan di dalam pelukan suaminya hingga pakaian yang dikenakan oleh Johan mulai membasah karena air mata. Wanita itu ingin menumpahkan seluruh kesedihan yang selama ini ia tahan, di sana di dalam dekapan laki-laki yang sudah berjanji tidak akan pernah meninggalkannya sendirian. Tidak ada yang mampu Johan perbuat untuk meringankan kesedihan Inara. Yang dilakukan oleh pria itu hanyalah memeluk sang istri seerat mungkin.
Inara mulai mengurai pelukan setelah ia rasa puas menumpahkan air matanya di dalam pelukan Johan. Wanita itu mengusap kedua sisi wajahnya dengan bahu yang berguncang. Johan tersenyum ringan lalu mengecup kening istrinya lembut juga membersihkan air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya.
"Udah puas nangisnya?" tanya Johan seraya membelai rambut panjang Inara dan hanya dijawab dengan anggukan oleh wanita itu. "Mas ambilkan minum dulu buat kamu, ya."
Lagi-lagi Inara hanya menganggukkan kepalanya.
Johan mulai bangkit lalu turun dari atas ranjang kemudian keluar dari dalam kamar, pria itu kembali beberapa saat kemudian dengan membawa segelas air putih untuk sang istri. Inara yang semula berbaring seketika bangkit lalu menerima gelas tersebut kemudian meneguk isinya hingga habis tidak bersisa.
"Tenangin diri kamu dulu, Sayang. Mas tak bisa membayangkan sesakit apa hati kamu sampe kamu kayak gini," pinta Johan. "Tapi, Mas harap setelah kamu melewati semua ini, hati kamu akan merasa lega. Mas gak akan memaksa kamu buat ketemu sama Ayahmu, Inara. Semua keputusan ada di tangan kamu."
"Tidak, Mas. Bawa aku ketemu sama Ayahku," jawab Inara, akhirnya mengeluarkan suaranya. "Benar kata kamu, sebelum semuanya terlambat, sebaiknya aku mengatakan apa yang ingin aku katakan sama beliau. Aku cuma mau Ayah tau kalau aku, putrinya begitu menderita setelah dia tinggalkan."
Johan menghela napas panjang merasa lega. Pria itu kembali memeluk tubuh istrinya seraya memejamkan kedua mata. Akhirnya usahanya tidak sia-sia. Sang istri tercinta bersedia menemui Ayahnya yang saat ini dalam keadaan sakit keras.
"Kapan kamu pengen ketemu sama beliau? Mas akan selalu menemani kamu, Sayang," tanya Johan.
"Secepatnya, lebih cepat lebih baik," jawab Inara singkat seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya tercinta.
***
Keesokan harinya, Johan dan Inara benar-benar meninggalkan kediamannya untuk menemui sang ayah. Berkat alamat yang diberikan oleh Ida sang bibi, kedua orang itu tidak terlalu kesulitan mencari rumah mewah yang berada di kota Jakarta tersebut. Membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam hingga keduanya benar-benar tiba di sana. Mereka berdua nampak berdiri tepat di depan pagar besi berwarna hitam di mana rumah mewah dua lantai tersembunyi di dalam sana.
"Bener 'kan ini rumahnya?" tanya Johan, seraya menatap secarik kertas berisi alamat yang sesuai dengan nomor rumah yang tertera di pintu pagar.
"Kayaknya bener deh," jawab Inara seraya menatap sekeliling.
"Ya udah, kita masuk sekarang." Johan hendak menekan bel.
"Tunggu, Mas," pinta Inara menahan pergelangan tangan suaminya.
Johan seketika menoleh seraya menurunkan telapak tangannya. "Apa kamu gugup?"
Inara menganggukkan kepalanya dengan wajah pucat. Sementara Johan seketika menghela napas panjang lalu memeluk tubuh istrinya sejenak. Ya, pelukan Johan selalu saja berhasil memenangkan hati seorang Inara. Satu kecupan bahkan ia layangkan di pucuk kepala sang istri. Keduanya pun mengurai pelukan, Johan meraih telapak tangan Inara sementara pergelangan tangannya lainnya mulai naik lalu menekan bel yang berada di pintu pagar.
"Aku takut, Mas," rengek Inara seketika menundukkan kepala. "Aku takut ketemu sama Ayah. Aku bahkan lupa wajah dia seperti apa?"
"Tak usah takut, Sayang. 'Kan ada Mas," jawab Johan, seraya menggenggam erat telapak tangan istrinya.
"Aku juga gak nyangka ternyata Ayah sekaya ini, padahal aku hidup miskin di kampung," lemah Inara, dadanya seketika terasa seakan. "Eu ... mendingan kita balik aja, Mas. Aku berubah pikirkan, aku gak mau ketemu Ayah."
Johan memejamkan kedua matanya sejenak mencoba untuk menekan emosinya dalam-dalam. Mereka sudah sampai sejauh ini, keduanya bahkan menghabiskan waktu selama lebih dari tiga jam untuk sampai di sana. Sekarang Inara meminta untuk pulang? Johan kembali menarik pelupuk matanya lalu menatap sayu wajah sang istri.
"Kita udah di sini, Sayang. Mana boleh kita pulang begitu aja," jawab Jogan. "Perjalan dari kampung ke sini lama lho."
"Kita ke mana dulu, kek. Rasanya aku belum siap ketemu sama Ayahku."
"Baiklah, kita jalan-jalan dulu kalau begitu, tapi kamu harus janji bakalan balik lagi ke sini, oke?"
Inara menganggukkan kepala dengan wajah datar. Keduanya pun berbalik dan hendak melangkah. Namun, baik Johan maupun Inara seketika menahan gerakan kaki mereka juga kembali memutar badan ketika pintu pagar tiba-tiba saja dibuka dari dalam.
"Tu-Tuan Muda?" sapa wanita paruh baya, berdiri tepat dibelakang pintu pagar.
Bersambung
(Like-nya jangan sampai ketinggalan ya, Reader)
otor request up-nya yg banyak boleh 🙏🤭