Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 14 — Bai Li
Tempat itu memang penuh dengan batu-batu besar, tinggi menjulang seolah dapat menopang langit tak berawan. Berapa kali pun Chen Huang memandang, sebanyak itu pula dia menahan suaran kagumnya. Ini kali pertama bagi Chen Huang untuk pergi jauh dari desa, dan hal semacam ini pun baru kali ini dia melihatnya.
"Cocok!" Bai Li berkata penuh semangat. Gadis itu menoleh ke sana kemari, melihat tanah kosong luas tepat sebelum kumpulan tebing-tebing itu. "Chen Huang, kita pergi ke puncak sana."
"Maaf?" Tentu saja pemuda itu terkejut karena yang ditunjuk oleh Bai Li adalah tebing paling tinggi dan paling ramping. Dari bawah, Chen Huang memperkirakan puncak tebing itu hanya selebar lima orang dewasa yang berdiri berjajar. "Kau bercanda, kan?"
Bai Li menggeleng dengan anggun. "Kalau kau malas naik ke sana, biar aku yang menggendongmu. Aku tak perlu lagi menyembunyikan kekuatanku, kau sudah lihat." Bai Li berjalan mendekat, melingkarkan tangannya ke pinggang Chen Huang. "Pegangan padaku. Tak usah malu-malu, kali ini akan kumaafkan bila kau tak sengaja memegang sesuatu." Bai Li tersenyum misterius, "ini kesempatanmu."
"Kesempatan, eh ... apa maksudmu? Hei, ooohhhhhh!!!"
Belum juga selesai perkataannya, wanita itu sudah melompat tinggi. Dalam satu hentakan mantap, ia membawa Chen Huang terbang sampai setengah dinding tebing.
"Bai Li, jangan bodoh! Kita akan menabrak, kita mati!" pemuda itu berteriak histeris sambil meronta.
"Kita tidak akan mati!" Bai Li meluruskan kedua kaki ke depan, sebuah aliran energi kemerahan menyelimutinya. Suara berderak terdengar ketika kaki Bai Li menancap di dinding tebing setinggi betis, menciptakan retakan yang cukup lebar. "Pegangan, aku akan jadi cicak!"
"Aaaahhhhhh!!!"
Saat itu, Chen Huang benar-benar kehilangan harga diri. Teringat akan semboyan Suku Gagak, dia memekik tepat di telinga Bai Li. "Aku tak bersayap! Belum, kali ini belum, aku belum bisa terbang!"
Dan entah bagaimana, tiba-tiba mereka sudah tiba di atas tebing tersebut. Bai Li menurunkannya dengan lembut dan perlahan, tapi Chen Huang tetap jatuh tersungkur. Seluruh tubuhnya menggigil.
"Nyawaku masih ada?"
"Mau kupastikan?" Bai Li terkikik. "Bangun, kalau mau tidur, jangan di tempat panas begini."
Chen Huang memaksa dirinya untuk duduk. "Aku terbang, luar biasa."
"Kau harus berterima kasih padaku," Bai Li menimpali.
Setelah mengatur pernapasannya, Chen Huang menatap Bai Li dengan ekspresi kebingungan. Tentu saja bingung setelah secara mendadak dia dibawa terbang.
"Kita mau apa di sini?"
"Membangun rumah tangga."
"Bai Li?"
Wanita itu mengangguk tanpa ragu. "Di sana-sini terdapat banyak semak belukar yang mungkin dijadikan sarang ular, kita harus membangun pondok yang sedikit lebih tinggi dari tanah. Kita membutuhkan tangga, kan?"
Chen Huang menghela napas. "Dan aku harus ikut?" ia memastikan.
"Aku yang ikut kau," Bai Li menjawab. "Kupikir kau tak keberatan?"
Wu Rui, ayah, ibu, siapa saja, tolong aku ....
Dan begitulah, siang itu juga mereka membangun pondok sederhana yang memiliki dua kamar. Kamar barat untuk Bai Li, dan kamar timur untuk Chen Huang. Kedua kamar hanya dipisah dengan sekat kayu tipis.
Dalam hal pengumpulan kayu, Chen Huang hampir tak bekerja. Dengan teknik bertarungnya yang aneh dan mengeluarkan sinar-sinar merah, mudah saja bagi Bai Li untuk memotong pepohonan di puncak tersebut.
saat itu pula Chen Huang baru sadar kalau puncak tebing ini amat luas, mungkin dapat digunakan untuk mengumpulkan seratus orang atau lebih.
Dengan keterampilan Bai Li, mereka dapat menyelesaikan pondok itu ketika senja datang. Sebuah pondok yang cukup enak dipandang mengingat waktu pembuatannya yang terlalu cepat.
Bai Li mengajak Chen Huang untuk duduk bersama di tebing sebelah barat, menikmati pemandangan matahari terbenam.
"Indah," hanya itu yang keluar dari bibir Bai Li setelah sekian lama keheningan menyelimuti mereka.
Chen Huang mengusap-usap telapak tangan. "Kau masih cukup menyebalkan." Bai Li terperanjat karena itu. "Tapi kau menunjukkan ini padaku, padahal kita baru saja bertemu kemarin. Mungkin aku harus mengucapkan terima kasih?"
Bai Li mengamati Chen Huang dari samping, tapi dia tak berkata apa pun, hanya tersenyum seperti biasa.
"Aku sama sekali tak tahu apa tujuanmu mendekatiku, aku ragu kau hanya minta roti." Chen Huang masih mengamati matahari terbenam itu. Perlahan tapi pasti, bola jingga itu mulai tertutup gunung di kejauhan. "Apa tujuanmu yang sebenarnya, apa pula kaitannya dengan pertarungan tadi, jujur aku tak terlalu peduli."
"Oh, kau kejam."
Chen Huang menghela napas, panjang dan berat. "Di desaku, aku dijauhi orang-orang seumuran karena aku jarang berkumpul dengan mereka. Aku tidak mudah dekat apalagi bicara seperti ini dengan orang baru."
"Oh, itu keahlianku, menarik perhatian orang, mungkin?"
Chen Huang terus melanjutkan. "Yah ... apa pun itu, kupikir kau orang biasa, mungkin sore ini pertama kalinya bagiku untuk menyetujui ucapanmu."
"Soal apa?"
"Sahabat," Chen Huang menjawab, "kau selalu menyebutku sahabat, dan sekarang aku tak keberatan dengan sebutan itu."
Sampai beberapa saat, mereka hanya saling pandang. Bai Li kehilangan senyumnya, tapi dia tampak terpana.
Namun ketika berkata untuk menjawab, senyum itu kembali terbit. "Pelajaran dasar untuk para pengelana, maksudku, untuk semua orang. Jangan mudah percaya kepada orang lain."
Chen Huang mengendikkan bahu. "Terserah padamu, kami para gagak amat sulit percaya kecuali kepada anggota suku sendiri. Pelajaran itu sudah melekat dalam diri kami."
Kening Bai Li mengerut. "Apa maksudmu gagak?"
"Aku dari Suku Gagak, di utara sana," jawab Chen Huang dengan pandangan menerawang ke kejauhan. "Dan saat ini aku pergi dari desa."
Bai Li hanya mengangguk beberapa kali, tak terlihat ia ingin menanyakan hal itu lebih lanjut.
...----------------...
Malam hari ketika terdengar suara burung hantu di kejauhan, Bai Li terbangun dari tempat tidurnya.
Dengan berindap-indap, ia memutari pondok dan tiba di depan pintu kamar Chen Huang.
Dia hanya menggunakan kain sutra tipis sebagai penutup tubuh yang membayangkan pakaian dalamnya. Seringai lebar di wajah merekah perlahan ketika jari telunjuk kanannya hendak mencongkel pintu Chen Huang.
Namun pada saat itu, firasatnya mengatakan ada sesuatu, sesuatu yang tidak terlalu baik.
Bai Li mengurungkan niat. Ia kembali ke kamar untuk berpakaian lengkap, menganakan cincin ajaib yang dirampas dari dua kakek siang tadi dan pergi keluar.
Dihampirinya tepi tebing sebelah barat, ketika dia memandang ke bawah, tatapannya menjadi setajam mata elang saat dia melihat tiga puluhan orang berjubah biru muda di sana.
"Sialan ... jumlah sebanyak itu, cukup merepotkan." Dia melirik ke arah pondok, ketika memikirkan Chen Huang, tatapannya berubah dingin. "Kalau dia ikut mati, maka usahaku sia-sia saja, aku makin repot."
Bai Li mencebikkan bibir, mengalirkan tenaga ke dalam cincin itu dan sebatang pedang tergenggam secara tiba-tiba. "Akan kubunuh kalian."
Wanita itu melompat, menuruni tebing curam dengan cara melayang. Ia merentangkan dua tangan, tampak tenang bahkan ketika bumi makin mendekat ke wajahnya.
"Atas!" berseru seorang lelaki yang langsung mengeluarkan pedangnya.
Secepat itu pula dua orang tua berambut kelabu menerjang dari kanan dan kiri, hendak memenggal lehernya.
"Amarah Halilintar!" teriak mereka berdua dengan pedang berselaput petir.
Bahkan orang sekuat Bai Li pun terkejut dengan serangan itu.
Dia mengeluarkan satu pedang lagi dari dalam cincin, tergenggam di tangan kiri. Kemudian dengan putaran tubuhnya yang mengagumkan, dia dapat menangkis dua pedang petir itu dengan pedangnya yang dilindungi cahaya merah.
Ctaaarr
Bai Li meloncat ke belakang, demikian pula dengan dua orang itu. Tempat pertemuan jurus mereka tadi meninggalkan retakan dalam di atas tanah.
"Ketua sendiri yang turun tangan? Oh, aku tersanjung," Bai Li menjura yang diartikan sebagai ejekan oleh dua pria berambut kelabu itu. "Walau hanya ketua cabang, tak masalah."
Salah satu kakek yang dipanggil ketua tadi mengamati kedua pedang di tangan Bai Li. Wajahnya memerah, urat-urat di dahi menonjol seolah bisa keluar kapan saja. "Kau mencuri cincin penyimpanan dan pedang mereka? Dasar jalang!"
"Kasar sekali." Suara Bai Li berayun-ayun seperti nada lembut sang penyair. "Kalian datang bukan untuk mengumpat, kan?"
"Kami datang untuk mencabut nyawamu!"
"Iblis betina, setelah mengkhianati Sekte Pedang Kelabu, apalagi yang hendak kaulakukan dengan berkeliaran di Wilayah Pedalaman?"
Bai Li terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan salah satu tangan. "Bagaimana kalau kukatakan ... hendak mencari mangsa?"
Gaya penceritaanmu udah pas menurutku. Enak diikuti. Entahlah, beberapa yang saya baca dan bagus malah sepi.
Saya kurang paham dg selera orang-orang zaman sekarang. Kadang yg minim narasi, typo bertebaran, catlog, cerita serupa, malah lebih banyak pembacanya.
persahabatan Bai Li apa tidak akan diromantisasi?
(dari siang kesel ga bisa komen)