Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Ksatria dan Tabir Kebenaran
"Lily sudah boleh pulang, Ya Pak, Bu."
Akhirnya, setelah hampir empat hari kami menginap di rumah sakit. Dokter akhirnya mengatakan keadaan Lily sudah normal dan diizinkan pulang. Tentu saja, baik aku ataupun Pak Bima semuanya senang bukan kepalang.
Kami sampai dirumah, Lily langsung dibaringkan Pak Bima ke kasur, sementara aku membereskan barang-barang kami semula di rumah sakit.
"Pak ---"
Dia mendengar panggilanku, tetapi tepat saat itulah pula pintu depan berbunyi karena ada yang mengetuk. Dengan sigap Aku segera berjalan menuju pintu depan.
Ketika pintu terbuka, aku melihat seorang pria yang tiba-tiba menyihirku. Dia berdiri di depan pintu dengan senyum kecut yang persis milik Pak Bima. Dia mengenakan kaus kehijauan seperti layaknya pakaian tentara dengan jaket kulit berwarna cokelat. Dan yang membuat penampilannya mengguncang duniaku adalah kemiripannya yang seiras dengan majikanku.
"Satria?"
Kehadiran Pak Bima membangunkan aku dari lamunan. Kupikir aku sedang halu karena kelelahan, sebab bisa-bisanya ada dua Pak Bima di dekatku. Tetapi, rupanya aku salah.
Dialah, Pak Satria Nagapasa Samudera, saudara kembar Pak Bima. Pak Satria itu, aku belum menyadari bahwa ia semirip itu dengan Pak Bima. Sebab inilah pertama kalinya aku bertemu keluarga kandung Pak Bima.
"Kopinya, Pak." Kataku sambil menata gelas di depan Pak Satria. Baru kemudian mundur sedikit, kepada majikanku. "Ini tehnya Pak Bima."
Dia mengangguk dan menyunggingkan senyum untukku. "Terima kasih."
"Kenapa ke rumah sakit?" Tanya Pak Bima kepada majikanku, Pak Bima. "Siapa yang sakit?"
"Beberapa hari kemarin, Lily kambuh lagi. Keadaannya mungkin lebih parah, sampai dirawat hampir empat hari-an." Jawab Pak Bima.
"Oh ya? Penyebabnya apa?"
"Kelelahan, seperti biasa."
"Apa yang dia lakukan? Main?"
Aku tertegun tidak sengaja obrolan mereka terdengar dari balik dinding ruang tengah, begitu Pak Satria melayangkan pertanyaan itu. Dalam dugaanku, tidak mungkin Pak Bima akan mengatakan yang sebenarnya seperti yang kupikirkan, melainkan;
"Merapikan kamar." Ternyata dia berkata jujur.
"Kamar?" kata saudara kembarnya terkejut. "Seingatku kamu tidak semalas itu untuk merapikan kasur sendiri, kamu masih suka kebersihan 'kan?"
"Ah, sudahlah. Aku malas bahasnya." Pak Bima mengelak.
"Kamu punya pembantu baru?"
"Siapa? Julia maksud kamu?"
"Perempuan yang tadi antar minum dan bukakan pintu untukku."
"Dia bukan pembantu," jawaban Pak Bima membuatku terkejut. "Dia pengasuh anak ku."
"Oh pengasuh? Bukan pacar?"
Mereka sempat hening beberapa saat. Entah karena memang tidak ada obrolan, atau karena kupingku yang tidak bisa menjangkau suara mereka lagi. Tapi, selang beberapa menit kemudian, aku mendengar lagi, kali ini suara Pak Bima yang membuka obrolan.
"Omong-omong," katanya. "Kapan kamu pulang tugas?"
"Dua hari yang lalu,"
"Terus kenapa ke sini? Tahu dari mana Aku di rumah sakit?"
"Maya." Pak Satria menjawab singkat,
Dan karena penasaran setelah mendengar nama Mbak Maya disebut, aku maju beberapa langkah mendekat ke samping dinding perbatasan ruang tengah dengan ruang tamu. Aku tahu, ini sangat tidak sopan, jadi tidak perlu ditiru untuk kalian.
"Kemarin dia datang lagi menemuiku, dia cerita; kalau kamu sudah punya pacar baru dan tinggal serumah." lanjutnya.
"Mulai sekarang jangan terima dia lagi, kalau dia datang berhenti meladeninya. Aku sudah menutup semua hal tentang dia, jadi mulai sekarang kalian juga. Sampaikan juga dengan Mama dan Papa."
"Sudahlah Bima, kamu tahu apa yang dia butuhkan 'kan? Tiga tahun dia tetap begitu, jadi sampai kapan kamu mau menyembunyikan itu? Dia cuma minta kejelasan dari kamu."
Pak Bima menenggelamkan wajahnya. Membuatku paham bahwa ia dalam posisi yang tidak baik-baik saja. Wajar, Mbak Maya adalah mantan kekasih yang bisa kuyakini bahwa Pak Bima masih sangat mencintainya.
Kupandangi lagi dia dari kejauhan. Dia masih mengangguk-angguk kecil menyembunyikan perasaannya. Dan entah mengapa itu membuatku terharu, bukan karena ketegarannya yang baru kali ini kusaksikan, bukan pula karena patah hati Pak Bima bersedih untuk orang lain, melainkan oleh keikhlasannya menerima takdir perpisahannya. Begitu kan? Aku sebenarnya tak tahu apa pun tentang mereka.
"Katakan saja yang sejujurnya pada Maya, Bim." Kata Pak Satria sekali lagi. Dilihat dari cara bicaranya, nampaknya Pak Satria ini sudah tahu alasan Pak Bima memutuskan hubungan dengan Mbak Maya. Tapi, apa?
"Entahlah,"
"Apa yang entah? Lagi pula, kamu dilahirkan sebagai lelaki. Jadi, kamu harus mampu bertanggung jawab dengan semua perbuatanmu. Kalau kamu memang takut dia tidak terima, toh kamu sekarang juga sudah memutuskan hubungan. Lalu apalagi yang kamu takutkan? Kalian sudah berhubungan selama tujuh tahun, lalu tiba-tiba kamu minta putus. Wajar dia gila penjelasan begitu. Dia berhak tahu alasan kamu, Bim."
"Hmm?" Pak Bima menatap saudara kembarnya, dengan senyuman itu. Dan di saat itulah kusaksikan keindahan Pak Bima yang menggetarkan. Tiada ciptaan lain, seindah senyum Pak Bima yang teduh.
"Katakan yang sebenarnya kalau kamu pernah tidak sengaja memperko-sa wanita lain."
Apa?
Memperko-sa?
Apa aku tidak salah dengar? Pak Bima pernah memperko-sa seseorang? Bulu badan ku bergidik, ingin rasanya aku memungkiri pendengaranku, tapi perkataan Pak Satria masih membekas di telinga mengusik pikiranku.
Mengapa aku sakit begini? Mengapa aku kecewa? Mengapa aku merasa hampa? Ya, Tuhan perasaanku pada Pak Bima baru saja merekah, namun saat mengetahui kenyataan dia telah menyentuh wanita lain sudah mampu membuat hatiku pecah, hancur tak terkira.
Lalu bagaimana dengan Mbak Maya?
"Aku sudah menyakiti hati perempuan yang kusentuh paksa," kata Pak Bima. "Kalau aku memberitahu Maya, itu hanya akan menambah rasa sakit hatinya juga."
"Lalu dengan diam, dan membiarkan dia mencari-cari kamu tiga tahun lamanya; kamu pikir itu tidak menyakiti dia?"
"Entahlah, Aku pusing sekali."
"Jangan memutuskan sesuatu begitu saja, Bim. Kalau memang kamu merasa tertekan karena kesalahan itu, tuntaskan. Beri tahu Maya, katakan yang sebenarnya. Mau apa pun dia merespon, itu sudah menjadi urusannya. Lalu tugasmu selanjutnya cari perempuan itu, dan akui kesalahan kamu dan bertanggung jawablah semaksimal mungkin padanya."
Pak Bima kali ini diam. Begitu juga aku, masih duduk di lantai sambil bersandar di balik dinding mendengar percakapan mereka.
"Menghindari masalah tidak menjadikan kamu mutlak bebas dari kebenaran. Jangan jadi burung dalam sangkar, kalau kamu berani mengakui semuanya pada Maya, dia akan lepas tuntas darimu, aku yakin. Dan kamu wajib bertanggungjawab Pada perempuan yang kamu sentuh itu."
Pak Satria kemudian bangkit dari kursinya, dan berjalan keluar. "Aku mau pulang." katanya seraya menepuk pundak Pak Bima, "Kamu sudah dewasa, berhenti jadi pecundang."
Sepulang saudara kembarnya, Pak Bima langsung ke kamar Lily. Kurasa sekarang ia sudah tak mampu lagi untuk memendam perasaan, dia mungkin sudah tak kuat lagi berupaya tegar dengan senyum kecut penuh kepalsuan.
"Pak?---" Aku berdiri di samping ranjang, sementara ia duduk menghadap jendela. "Pak, saya sudah siapkan makan malam. Kita ke meja makan sekarang, ya?"
"Saya belum lapar, Julia. Kamu makanlah lebih dulu. Nanti saya susul."
"Pak ---"
"Kamu sudah dengar semuanya, 'kan Julia?"
Akhirnya Pak Bima mengangkat kepalanya, saat dia menoleh itu, aku memahami bagaimana ia menahan diri untuk tak tenggelam dalam rasanya yang menyesatkan.
Aku pun beranjak dari tempatku untuk menghampirinya. Dia memandangku dengan lebih baik sekarang. Kemudian, aku berlutut di hadapannya, meraih tangannya, dan menggenggamnya erat-erat. Pertama kali ku lakukan hal begini pada lelaki.
"Yang dikatakan Pak Satria itu benar, Pak." Kataku, "Jangan menghindar, selesaikan semuanya satu-persatu."
Aku berlindung dari perasaan berdebar ini, perasaan yang muncul saat tanpa kusangka Pak Bima menarik tubuhku dan menenggelamkan ku dalam rengkuhan dadanya yang bidang dan hangat. Bisa kurasakan bagaimana degup jantungnya yang berirama. Menggetarkan hatiku, bahkan walau hanya untuk malam ini.
"Saya takut, perempuan itu akan berpikir yang sama seperti kamu. Benci dengan lelaki yang sudah menyentuhnya." Bisiknya pelan di telingaku.
"Tidak ada yang tahu letak jiwa seseorang, Pak. Kita sudah berbuat salah, tapi paling tidak kita ada usaha untuk memperbaikinya."
lanjut kak uchi
bgmn skrg perasaan ibu Julia melihat cucu kandung nya yg dulu dibuang dan skrg dalam keadaan sakit ?
imajinasi penokohannya jd brubah arah /Smirk//Applaud/