Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Konspirasi
Ketika mendengar hal itu aku terkejut, aku mencarinya di tengah badai dan dia ditemukan begitu saja? Apakah Fanny sebenarnya mereka sembunyikan dan pura-pura hilang? Kecurigaanku semakin bertambah.
Dr. Irma memberitahuku bahwa dia ditemukan di gedung belakang yang terbengkalai. Aku tadi malam sudah mengecek kesana dan aku tidak menemukan Fanny. Bagaimana mungkin aku tidak menemuinya jika memang dia berada di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku.
Aku mendengar kabar bahwa Fanny tertimpa bangunan yang rubuh akibat badai, dan kondisi fisik serta mentalnya sungguh memprihatinkan. Mendengar hal tersebut, aku segera berlari ke ruang perawatan dan Michelle mengikutiku dari belakang.
Di dalam ruangan itu, aku melihat tubuh Fanny terikat dengan selang infus menempel di lengannya. Aku menghampirinya, dan wajahnya penuh memar. Dari matanya tampak ketakutan yang sangat mendalam.
"Apa yang terjadi, Fanny?" tanyaku ke arahnya.
Fanny menoleh dengan tatapan kosong. Mata kami bertemu, tapi seolah-olah dia melihat menembusku. Ada sesuatu yang hilang dalam tatapannya, sesuatu yang membuatku merasakan dingin yang merayap di tulang belakang.
"Fanny, kamu mengenaliku, kan?" Aku mencoba berbicara dengan lembut, berharap bisa mencapai pikirannya yang tampak tersesat.
Dia hanya menatapku, bibirnya sedikit bergetar tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Aku menggenggam tangannya yang dingin dan rapuh, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan.
"Aku di sini, Fanny. Kamu aman sekarang," bisikku pelan.
Perlahan, tatapan kosong itu mulai pudar, digantikan oleh kilatan pengenalan dan ketakutan. "Nazam..." suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Nazam? Bagaimana mungkin dia memanggilku dengan nama Nazam? Anehnya, panggilan itu tampak akrab dan sangat familiar. Aku merasakan sesuatu yang mengguncang dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku benci dengan nama itu tapi ada sebuah kerinduan yang tak bisa kugambarkan.
"Fanny, aku Fikri, aku bukan Nazam. Kenapa kamu memanggilku Nazam?" tanyaku dengan penuh kekhawatiran.
Fanny menatapku dengan mata yang berair, bibirnya bergetar seolah-olah mencoba mengingat sesuatu yang sangat penting. "Aku... aku ingat," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Kamu adalah..."
Sebelum dia bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba, dan Dr. Irma masuk dengan wajah serius. "Dr. Fikri, kita perlu bicara," katanya dengan tegas.
Aku menoleh ke arah Dr. Irma, merasa terganggu dengan interupsi tersebut. "Apa yang terjadi, Dr. Irma?"
Dr. Irma menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuterjemahkan. "Aku harus berbicara denganmu tentang penyelidikan ini," katanya dengan nada serius.
"Kenapa?" Aku bertanya, mataku kembali ke Fanny yang tampak semakin lemah.
Dr. Irma menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang berat. "Aku tahu kamu sangat peduli dengan kasus ini, Dr. Fikri. Tapi penyelidikan ini harus dihentikan."
Aku mengerutkan dahi, merasa bingung dan bingung dengan keputusan Dr. Irma yang tiba-tiba. "Apa maksudmu? Kenapa penyelidikan ini harus dihentikan?"
Dr. Irma melipat tangannya di depan dada, ekspresinya penuh ketegangan. "Ini demi kebaikanmu dan kebaikan Fanny."
Alasan itu terdengar sangat klise di telingaku. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini, Dr. Irma? K,enapa kamu begitu ingin menghentikan penyelidikan ini? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tuduhku dengan nada yang semakin meninggi.
Dr. Irma menatapku dengan tenang. "Dr. Fikri, aku hanya mencoba melindungi semua orang. Termasuk dirimu."
Aku menggelengkan kepala, tidak bisa menerima jawabannya begitu saja. "Aku tidak percaya ini. Ada terlalu banyak keanehan. Fanny hilang, ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan, tadi malam aku sudah mengeceknya ke gudang belakang dan dia tidak ada disana! Dan sekarang kamu mengatakan bahwa penyelidikan ini harus dihentikan? Ini tidak masuk akal!" aku berteriak ke Dr. Irma dengan penuh kemarahan.
Aku kembali menatap Fanny lagi, dan kali ini, aku memperhatikan luka-lukanya lebih seksama. Memar di wajahnya, luka di tubuhnya, ini tidak terlihat seperti akibat tertimpa bangunan. Aku merasa luka-luka ini terlihat seperti dipukuli. Aku merasa yakin, Fanny dipukuli. "Luka-luka ini, Dr. Irma. Ini bukan karena tertimpa bangunan. Ini akibat dipukuli. Siapa yang melakukan ini pada Fanny!?" Emosiku benar-benar tidak terkendali dan penuh kemarahan.
Dr. Irma tetap tenang, tatapannya tetap lurus padaku. "Dr. Fikri, kamu harus berhenti. Jika kamu terus menangani kasus ini, kamu tidak akan pernah bisa pulang."
"Sekarang kamu mengancamku! Aku tidak takut! Bahkan jika musuhku Nazam! Kau! Ataupun kepala yayasan! Aku tidak takut! Demi kesembuhan dan keadilan Fanny!" aku berteriak dan segera pergi keluar meninggalkan Dr. Irma begitu saja.
Aku keluar dari ruangan Fanny dan segera menemui Michelle yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamar, menungguku.
"Michelle, kita perlu bicara," ucapku tegas.
Michelle mengangguk. Aku mengajak Michelle ke tempat yang sunyi untuk mengungkapkan kegelisahanku.
Michelle dan aku menuju ke taman rumah sakit yang sepi. Pepohonan yang basah oleh hujan sebelumnya menciptakan suasana yang dingin dan sunyi, seolah-olah menyembunyikan rahasia gelap di balik daun-daunnya yang rimbun.
"Apa yang terjadi, Dr. Fikri?" Michelle bertanya dengan nada cemas.
Aku menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosi yang masih bergejolak di dalam diriku. "Michelle, ada sesuatu yang sangat salah di rumah sakit ini. Aku merasa ada konspirasi besar di balik hilangnya Fanny."
Michelle mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Fanny memanggilku dengan nama Nazam. Dan ketika dia ditemukan, luka-lukanya bukan akibat tertimpa bangunan, tapi seperti habis dipukuli. Dr. Irma mencoba menghentikan penyelidikan ini dengan alasan yang tidak masuk akal. Aku yakin dia tahu lebih banyak dari yang dia katakan," jelasku dengan cepat, suaraku penuh dengan ketegangan.
Michelle menatapku dengan mata yang lebar, seolah-olah mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku. "Ini terdengar sangat mencurigakan. Apa yang kamu rencanakan?"
"Aku tidak akan berhenti. Aku akan terus menyelidiki kasus ini sampai aku menemukan kebenaran. Tapi aku butuh bantuanmu, Michelle. aku tidak akan bisa mengungkap semuanya sendirian," jawabku dengan tegas.
"Aku setuju, bagaimana jika kita mulai dari kamar sel Fanny?" tanya Michelle agar segera menemukan bukti.
Aku mengangguk. Kami berdua segera bergegas ke sel Fanny yang kosong.
Ketika kami sampai di kamar Fanny, aku segera memperhatikan keadaan sekeliling. Suasana kamar terasa dingin dan gelap meski lampu menyala, memberikan kesan suram yang menyelimuti ruangan itu. Mataku tertuju pada tulisan yang dicoret disebuah kertas yang berbunyi "Hentikan atau kalian akan menyesal."
Aku merasa jantungku berdegup kencang. "Michelle, lihat ini," kataku, memperlihatkan tulisan yang mengerikan itu.
Michelle menatap tulisan itu dengan ekspresi bingung dan cemas. "Apa ini? Siapa yang melakukan ini?"
Aku menggenggam bahunya, mencoba menenangkan diriku sendiri sambil menjelaskan. "Ini adalah tanda peringatan. Ada sesuatu yang lebih besar terjadi di sini, dan aku merasa semua ini terhubung. Fanny, Dr. Irma, bahkan seluruh rumah sakit ini, semuanya tampaknya bagian dari rencana yang lebih besar."
Michelle menatapku dengan tatapan penuh keraguan. "Rencana seperti apa, Dr. Fikri? Bagaimana kamu bisa yakin bahwa ini bukan hanya kebetulan?"
"Begini," aku mulai, merasa perlu untuk menjelaskan lebih rinci. "Fanny dipukul, bukan hanya tertimpa bangunan. Aku yakin, ada seseorang yang sengaja melukainya. Dan Dr. Irma, dia berusaha menghentikan penyelidikan ini dengan alasan yang sangat lemah. Mengapa? Apa yang dia sembunyikan?"
Michelle memotong dengan heran. "Tapi, Dr. Fikri, bagaimana mungkin kamu tiba-tiba berpikir tentang konspirasi seperti ini? Semua ini bisa jadi hanya kebetulan. Mungkin ada penjelasan rasional untuk semuanya."
Aku berhenti sejenak, terdiam oleh pertanyaan Michelle. "Aku tahu ini terdengar gila. Aku sendiri tidak mengerti kenapa pikiranku penuh dengan skenario-skenario seperti ini. Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengendalikan pikiran dan emosiku, menjadikanku lebih curiga daripada seharusnya."
Michelle hanya menatapku tanpa mengucapkan apapun.
"Ah aku ingat, kamu menyuntikan aku obat! Kamu juga dalang dari semua ini! Kalian semua bersekongkol, seluruh rumah sakit ini bersekongkol untuk merusak pikiranku!" ucapku lepas kendali dan memegang kepalaku sendiri.
"Tenanglah, Dr. Fikri. Aku tahu ini berat, sebaiknya kamu beristirahat."
Kepalaku kembali sakit, ingatan tentang Nazam dan senjata api yang menembak Yunita tiba-tiba terlintas kembali di pikiranku. Aku menatap Michelle dengan marah, lalu mendorongnya hingga tersungkur.
Aku lari keluar dari sel Fanny, Michelle berteriak untuk meminta bantuan. Aku terus berlari tak tentu arah, melewati koridor-koridor rumah sakit. Hingga aku melihat Rizal. Aku ingat sesuatu saat Rizal ku interogasi, kebebasan? Dia pernah bilang tentang kebebasan. Aku mulai mengerti maksudnya, aku harus menyelamatkan Fanny dan segera membebaskannya dari rumah sakit terkutuk ini.
aarrrrgh~~~