NovelToon NovelToon
Petals Of Greedy

Petals Of Greedy

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Reinkarnasi / Epik Petualangan / Perperangan / Masalah Pertumbuhan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Fadly Abdul f

Ini merupakan cerita kelanjutan, pelengkap ending untuk cerita Pelahap Tangisan dan baca cerita pertamanya sebelum cerita ini.

Di sebuah kota terdapat seorang gadis, dia dikaruniai keluarga beserta kekasih dan hidup selayaknya gadis remaja. Hidupnya berubah drastis dikarenakan kekasihnya meninggal sewaktu tengah bekerja, disebabkan itu Widia sangatlah terpukul akan apa yang terjadi dan tidak sanggup menerimanya. Dalam keadaan kehilangan arah, tiba-tiba saja boneka yang diberikan kekasihnya hidup dan memberitahu jikalau jiwa kekasihnya masih bisa tinggal di dunia.

Dengan harapan itu, Widia memulai perjalanan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Akankah Widia mampu mengembalikan nyawa kekasihnya? Yuk! Ikuti petualangan Widia untuk merebut kembali sang pujaan hatinya. Tetap ikuti dan dukung cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fadly Abdul f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

Bab 14 Bunga Keserakahan

Bunker berisi warga-warga diterobos oleh Wiraka tanpa merobohkannya, 'kan gawat bila orang-orang terkena puing-puing dan meninggal. Maira langsung beralih mode, dia menghunuskan pedang sekuat tenaga, kalau dalam kondisi prima Maira tak 'kan seukuran anak kecil.

"Kok beda dari kelihatannya di televisi, ya? Lebih kecil."

"Lupain dulu. Dia lagi hunusin pedangnya ke siapa?!"

Orang-orang ini segera berbisik-bisik menjumpai pemuda eksentrik dan pahlawan bertopeng mereka, keduanya saling menatap. Tidak lama kemudian Wiraka menoleh kepada Widia. Dia bergerak dalam kecepatan luar biasa, semua orang tidak sempat bereaksi, kecuali Maira yang segera menanggapinya dengan melemparkan pisaunya.

Benda itu menusuk kakinya, alhasil gerakan Wiraka mulai melambat, dengan begitu Maira mendahuluinya dan melindungi Widia. Dengan teriakan petugas, mengetahui kejadian ini mereka memberikan arahan untuk pergi menuju bunker lainnya, sementara Widia terdiam karena Maira membiarkannya pergi dan lagi menjadi perisainya.

Widia memburu napas, dia tidak tega dan ketakutan saat melihat Maira dalam wujud seperti Adiira disiksa sampai kulit-kulitnya mengelupas. Tiba-tiba saja Widia terperanjat, sorot mata hampa dengan warna pupil mata merah melirik orang-orang, kesadarannya seperti berganti menjadi orang lain dan gadis terlelap kelelahan.

"Nona!"

Maira sama sekali tak menduga Widia terbaring jatuh, dia pingsan selagi Maira tengah menahan serangan Wiraka.

"Ya. Nonamu itu cukup menawan juga," ungkap Wiraka.

Maira kelihatan jengkel dan menjawab, "tuan Adiira akan membawa bencana dan membunuhmu jikalau beliau mendengarnya, jangan bawa-bawa orang lain, bajingan!"

"Diam, berisik sekali kau."

"Ukh!"

Maira meringis sebelum merintih kesakitan merasakan kalau kekuatannya semakin memudar, bahkan benang-benang yang menjahitnya putus. Sebagaimana boneka rusak terus diperbaiki sampai takkan bisa diperbaiki lagi, itulah kondisi Maira sekarang, tidak bisa lagi bertarung dan kehilangan jahitan tangan serta kaki.

Wiraka menyeringai tipis, akhirnya dia benar-benar sudah kehilangan benang di kaki yang berfungsi seperti tulang jika dalam tubuh manusia. Wiraka bermaksud berjalan mendekati Widia, buru-buru Maira menarik maju tubuh dan mencengkeram kedua kaki lawan sekuat tenaganya.

"Prrft! Kau sangatlah menyedihkan sekarang, lho~"

Wiraka menahan tawa. Destyn ini mengigit kedua kakinya demi mencegah dia mendekati kekasih tuannya, lalu tiba-tiba dia membisu dengan seringai jahat berkata, "aku rasa ini sama pas Adiira bunuh kekasih aku depan mata, 'kan? Lagian dia juga pasti lagi pinjem penglihatan kamu."

Maira pada wujud seperti manusia membelalakkan mata mendengarnya, dia sudah kehilangan kekuatan Destyn, butuh waktu untuk pulih kembali. Dia takkan mampu mengamankan Widia, melalui keputusasaan laki-laki yang sudah kehilangan putrinya melihat bayang-bayang yang sama, kilas balik yang serupa dengan situasi mereka ini.

Dengan satu hentakkan, Wiraka menyingkirkan Maira dari kakinya. Lelaki itu meraih-raih Widia dengan pandangan mata yang buram dipenuhi air mata, tidak lama...

"Apa kau melupakanku?"

Datang-datang seorang laki-laki menggunakan kacamata dan kemeja kusut. Maira berjuang menoleh ke belakang, menemukan Aria tengah memperhatikannya, tiba-tiba saja berjongkok dan berkata, "jadilah.. pedang, sekarang."

Tanpa mengharap lebih lama, tubuh Maira mulai mencair menjadi darah dan menggumpal sebelum menguap jadi uap merah. Asap itu membentuk sebilah pedang. Kemudian menjadi padat, dengan cara yang misterius nan ajaib Aria segera mengambil dan menggenggamnya.

Wiraka selangkah lagi menemui Widia, ujung kaki laki-laki itu nyaris saja menyentuhnya, sebelum insting bertarung naganya bangun. Dia mengangkat kapak setinggi bahu. Seorang pria menerjang maju, mengayunkan pedangnya dalam garis vertikal untuk menyerang dengan tebasan tunggal, Aria melakukan gerakan dan tebasan cepat berkekuatan tinggi. Merobohkan pertahanan kokohnya.

"Berat!" Batin Wiraka.

Wiraka berhasil menahan, tetapi tiada waktu sepersekian detik saja tubuhnya terpelanting beberapa meter dan menumbuk tembok bunker meninggalkan bekas lubang seukuran tubuhnya. Usai terjatuh Wiraka bangkit kembali dan merasa serangan ini tidaklah asing baginya, meskipun begitu Wiraka dipaksa berlari seusai Aria maju.

"Kau siapa lag---!"

Keterkejutan takkan membiarkan kalimatnya selesai, Aria mengeluarkan pistol dan menembakinya jikalau dia menjaga jaraknya, maka ketika Wiraka mendekat musuh akan menggunakan pedangnya. Baginya tempat ini agak merugikan, Drake dan Wyfern takkan bisa masuk, karena jalan masuk bunker sangat kecil untuk dilewati sekaligus.

Aria mengambil sikap menyerang meletakkan senjatanya ke depan, mengarah kepada Wiraka seolah membidik, selagi kaki kanan menghentak maju dan kaki kiri menggeser ke belakang. Pria itu mengeluarkan aura yang bagaikan hawa panas. Kedatangannya pun tidak terduga, Wiraka merasa dia tengah menghadapi kecepatan Adiira.

Mereka saling beradu senjata, dalam tiap ayunan pedang dan gerakan gesitnya, menghasilkan serangan yang dahsyat serta menghancurkan. Mencerminkan sebuah sifat api yang eksplosif bahkan tidak terkendali sehingga Wiraka kewalahan dan dia memutuskan untuk kabur saja.

Wiraka melemparkan kapaknya. Aria tak mereaksikannya terlalu serius, hanyalah mengayunkan pedang, membelah kapak menjadi dua. Serempak itu juga Wiraka menumbuhkan sayap naga, memelesat cepat menuju ke pintu keluar bunker, dengan perasaan penuh kejengkelan.

"... kasihan," ujarnya.

Aria mengatakan itu dengan nada ringan, meski demikian reaksi Wiraka lebih dari dugaannya, dia membuka mata lebar-lebar seperti terperangah berjumpa suara itu yang tidak asing dan sebuah kata yang dibencinya. Sampai dia melewati jalan keluar, Wiraka memandangi dengan benci.

Pedang itu mencair kembali dan membentuk boneka lagi Maira. Tidak lama cahaya di mata Aria kembali, tubuhnya runtuh seketika menerima sakit kepala berat sekaligus, dengan senyuman masam dia membatin, "begini rasanya kalo tubuh dikendalikan orang, ya?"

Satu jam sebelumnya, ia mendapatkan panggilan telepon dari istrinya yang mengabarkan Widia belum pulang, hal tersebut tentu saja membuat Aria tertegun begitu lama. Dia tidak bisa memfokuskan semua perhatian untuk mencari putrinya, dengan beberapa tentara, sebagai ayah dia masih memikirkan putrinya dan tanggung jawabnya.

"Pinjamkan beberapa prajuritmu padaku," pinta Aria tidak memaksa, "setidaknya aku perlu tiga orang," tambahnya.

Ketua regu menganggukkan kepala. Aria dapat dianggap melalaikan tugasnya dikarenakan urusan pribadi, tapi dia tidak bisa membiarkan putrinya dalam bahaya, terlebih lagi Maira terluka parah. Aria berharap dia tidak sebodoh itu pergi ke tempatnya Widia, sama saja dengan membahayakan nyawa gadis yang semestinya dilindungi.

Si ayah menaiki mobil dan mempersiapkan amunisi pistol selagi kendaraan mereka menuju ke kota, Aria begitu mencemaskan putrinya. Dia memikirkan apa yang musti dilakukan, jikalau dia harus melawan seorang pengguna kekuatan ajaib, sedangkan yang dipegang hanyalah senjata api dan Aria tak tau seberapa efektif pistolnya ini.

"... ah, benar juga."

Ingatan lama terkenang begitu saja, segera dia merogoh saku celana dan meraih dompet. Mengacak-acak isi dompet, mengabaikan uang dan kartu yang berjatuhan kemudian mengambil secarik kertas, dengan tulisan mirip seperti mantra yang diberikan Adiira dulu padanya.

"Disini tertulis 'baca mantra ini dengan sungguh-sungguh kalau Widia dalam bahaya, meski saya di neraka sekalipun, saya akan tetap datang' katanya." Setelah Aria membacanya dia tersenyum masam, "kalau gak tahu dia penyihir, pasti 'kan ku anggap gombalan doang," katanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!