Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebahagiaan
Malam datang merayap, jelaganya menutupi langit dan bumi. Menghantarkan selimut kegelapan, pada dunia yang terus berputar. Di kamarnya, Denis tengah bersiap-siap untuk pergi menemui sang kakek malam itu.
Ia keluar setelah memastikan penampilannya sempurna. Mendatangi Larisa yang sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah rumah. Denis tersenyum, berjalan perlahan agar tidak mengganggu konsentrasi gadis itu.
Ia berdiri di belakangnya, melihat apa yang sedang dikerjakan sang istri. Rupanya, Larisa tengah sibuk mencari lowongan pekerjaan melalui sosial media.
"Sudah dapat yang kau inginkan?" tanya Denis mengagetkan Larisa.
"Oh, astaga!" Tubuh gadis itu terlonjak, sebelah tangannya menepuk-nepuk dada yang berdegup kencang.
Denis tersenyum, berjalan memutar dan duduk di sebelah istrinya. Larisa memindai penampilan pemuda itu, ia terlihat takjub. Denis tidak pernah serapi itu, tapi semenjak menjadi asisten tuan Agata, dia selalu tampil sempurna tanpa cela.
"Kau akan pergi?" tanya Larisa setelah memeriksa penampilan suaminya.
"Iya. Kau baik-baik di rumah. Kunci pintu dan jangan menerima tamu," tegas Denis mengingatkan.
Larisa menggelengkan kepala cepat, entah mengapa begitu patuh dengan titah Denis. Pemuda itu menoleh padanya meski tanpa senyum.
"Kau sudah mengirimkan lamaran ke mana saja? Sepertinya, tuan Haris tertarik untuk mengajakmu bergabung di perusahaannya," ucap Denis membuat Larisa tertegun dan menghela napas panjang.
Ia menunduk, kemudian menggelengkan kepala pelan.
"Aku tidak berani melamar di perusahaan besar itu. Nyaliku tidak sebesar itu," ucap Larisa sambil tersenyum.
Denis membulatkan bibir, diam-diam merogoh saku mengeluarkan ponsel. Mengetik pesan kepada Haris agar segera menghubungi Larisa sesuai permintaannya.
"Kau tenang saja, tunggu seseorang menghubungimu. Aku yakin, kau bisa diterima bekerja di sana," ucap Denis menatap yakin pada istrinya.
Dia begitu peduli pada Larisa meski perasaan belum timbul di hati. Keinginan untuk melindungi dan menjaga senyumnya timbul begitu saja. Merasa harus bertanggungjawab sebagai seorang suami terhadap istrinya.
"Kau tidak berangkat? Tidak takut terlambat!" tanya Larisa menatap heran pada Denis.
Pemuda dengan balutan jas itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Aku menunggu kabar baik darimu. Setelah itu, baru aku akan pergi," jawab Denis tak sabar menunggu reaksi Larisa ketika Haris menghubunginya.
Gadis itu meletakkan laptop di atas meja, duduk bersila sambil memeluk bantal sofa. Menatap hampa pada langit-langit ruang, dia merasa tidak yakin dengan usahanya kali ini.
"Aku tidak tahu apa ada perusahaan yang akan menerimaku bekerja setelah keluar dari perusahaan Mahendra? Seperti yang orang-orang katakan, akan sangat sulit untuk ...."
Larisa menghentikan ocehan ketika mendengar suara dering ponsel berbunyi. Denis dengan penuh semangat menyambar benda itu, mengangkat panggilan dengan wajah sumringah dan memberikannya kepada Larisa.
"Angkat!" Ia berkata tanpa suara.
Sementara Larisa begitu terkejut dengan tindakan tiba-tiba darinya. Ia mengangguk ragu menerima ponsel tersebut tanpa mengalihkan tatapan dari Denis yang tersenyum lebar menatapnya.
Larisa melirik nomor si Pemanggil dan menempatkannya ke dekat telinga.
"Ha-halo!" Larisa melirik Denis yang tiba-tiba mendekat ikut menempelkan telinga di dekat ponselnya.
Merasa konyol, tapi entah kenapa hati Larisa menghangat.
"Dengan nona Larisa Juanda?" tanya suara Haris di seberang sana.
Denis terlihat puas, baru saja dia mengancam akan menghukum asistennya itu jika tidak menghubungi Larisa malam itu juga.
"Iya, benar. Itu saya." Lagi-lagi Larisa melirik Denis yang nampak antusias mendengarkan percakapan telpon mereka.
"Saya Haris Narendra, dari perusahaan Agata Grup ingin menyampaikan kabar baik kepada Anda. Kami telah menerima CV Anda dan meminta Anda datang ke perusahaan untuk wawancara besok pagi," ucap Haris sembari memutar bola mata jengah setelah membaca teks panjang yang dikirimkan Denis.
Ia tersenyum tahu betul apa yang sedang terjadi pada saudara angkatnya itu. Tentunya, jatuh cinta meski belum terasa dan disadari.
Larisa terlonjak, kedua kakinya melompat turun ke lantai. Wajahnya cerah bagai mentari pagi, siapa sangka dia akan diterima di perusahaan besar itu.
"Benarkah? Tuan Haris, Anda tidak sedang bercanda?" pekik Larisa tersenyum lebar.
Denis ikut merasa bahagia melihat senyum manis itu telah kembali. Hatinya berbunga, tak mengira reaksi Larisa akan begitu histeris.
"Tentu saja, Nona. Kami tidak pernah bergurau," jawab Haris mantap seraya berpamitan dan menutup sambungan setelah mengingatkan Larisa untuk datang besok pagi.
"Jika kau hanya bercanda, Denis akan menghukum ku," gumam Haris setelah sambungan tertutup.
Denis ikut berdiri, menatap bahagia wajah cerah Larisa.
"Bagaimana?" tanyanya kemudian.
Gadis itu menoleh, melompat girang ke dalam pelukan Denis.
"Aku diterima, aku diterima di perusahaan Agata. Aku diterima di sana!" pekiknya berjingkrak di pelukan Denis.
Dengan ragu kedua tangan laki-laki itu terangkat, membalas pelukan. Untuk seumur hidup dia tak pernah sebahagia malam itu. Beberapa saat merasakan kehangatan, Larisa terdiam seolah-olah menyadari sesuatu. Ia melepas pelukan, berpikir dalam tentang penerimaan tiba-tiba itu.
"Tapi aku tidak pernah mengirimkan CV ke perusahaan itu. Kenapa tiba-tiba tuan Haris menelpon dan memintaku datang untuk wawancara?" gumamnya sembari melirik Denis yang gugup tiba-tiba, tapi kemudian dia tersenyum.
"Ah, itu aku. Aku lihat kau sungguh berbakat dalam desain, tapi ragu untuk mendaftarkan diri ke perusahaan besar itu. Jadi, aku berinisiatif mengirimkan CV-mu tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan mengirimkan sebuah contoh desain yang kau buat. Tak ku sangka akan secepat ini perusahaan merespon," papar Denis penuh kebohongan.
Ia meyakinkan Larisa agar percaya padanya, tapi gadis itu bergeming. Menatap tajam manik Denis membuatnya semakin gugup.
"Benarkah?" tanya Larisa penuh curiga.
"Haha, tentu saja benar. Kau hanya harus membawa berkas-berkas besok, bukan? Jangan lupa, siapkan saja malam ini," jawab Denis tertawa garing untuk menutupi kebohongannya.
"Baiklah." Larisa menghela napas, ia menatap lembut Denis merasa bersyukur dengan kehadiran laki-laki itu.
"Ada apa?" tanya Denis salah tingkah.
Larisa memeluk Denis, kehangatan yang sempat hilang kembali datang menyapa hatinya. Dia benar-benar berterimakasih atas semua yang dilakukan laki-laki itu.
"Terima kasih. Jika kau tidak bertindak, aku tak akan pernah tahu apakah layak bekerja di sana," ucap Larisa lirih di pelukan Denis.
Pemuda itu terenyuh, ia tersenyum bahagia. Apapun untuk menjaga senyum itu, akan dia lakukan. Larisa melepas pelukan, membenarkan pakaian Denis juga dasi yang ia kenakan.
"Mulai besok, biarkan aku membantumu memasangkan dasi ini. Sekarang, pergilah! Kau tidak ingin terlambat, bukan?" ucapnya mendorong tubuh Denis untuk segera pergi.
Dia hanya tidak ingin berlama-lama dengannya malam itu. Khawatir tidak dapat mengontrol perasaan.
"Baiklah, aku pergi. Ingat! Jangan menerima tamu siapa pun! Kunci saja pintu sebelum aku pulang," ingat Denis seolah-olah tahu akan ada bahaya datang ke rumah istrinya itu.
Larisa mengangguk, meyakinkan suaminya. Ia mengantar Denis sampai pintu dan menutupnya tanpa menunggu Denis pergi seusai perintah laki-laki itu. Larisa menjatuhkan punggung pada daun pintu, menengadah mengucap syukur atas anugerah malam itu.
Sementara Denis terus tersenyum sampai masuk ke dalam lift. Ia menatap kedua tangannya, membayangkan sentuhan Larisa yang begitu hangat. Lalu, menggelengkan kepala merasa konyol sendiri.
"Tuan!" Teguran itu membuatnya terkejut.
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......