NovelToon NovelToon
Hyacinth

Hyacinth

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.

Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Naluri Wanita

Belum sampai tiga menit bertarung, Finley dan Cashel sudah sampai pada ambang energinya. Berbagai macam jenis luka di mana-mana. Banyak sekali. Bahkan lika beberapa hari lalu makin menganga. Rasa sakit yang hampir tak terasa. Mereka baru membunuh dua ekor. Tersisa banyak sekali. Total tujuh belas, tersisa lima belas dan hewan-hewan itu masih penuh akan tenaga. Terbang ke sana ke mari. Menyambar kedua remaja itu dengan sayap dan kaki.

Kondisi keduanya sama buruk. Terbanting sana-sini. Menghindari daerah api agar tidak terbanting ke arah sana.

Pegangan telah longgar untuk menggenggam tombak. Bahkan sudah tak sanggup untuk mengangkatnya senjata. Keringat bercucuran, tubuh kotor, bercampur darah. Mereka sudah hampir tumbang. Tidak ada kemungkinan lagi untuk memenangkan pertarungan kali ini.

Mata Finley sudah sayu. Penglihatannya buram.

Kini mereka tak dapat menyerang lagi Cara satu-satunya hanya menghindari serangan. Walaupun tetap saja terkena.

"Tetaplah di dekatku, Finley!"

Gadis itu hampir terjatuh. Cashel meraih tubuhnya dan menggendongnya. Lantas lanjut berlari sambil melihat arah serangan burung raksasa.

"FINLEY!"

"Iya," jawab Finley dengan mata tertutup.

"Tetap pertahankan kesadaranmu. Buka matamu! Jangan biarkan tertutup. Aku mohon, bertahanlah!"

"Wajah ibu dan ketiga adikku terus terbayang. Mungkin ini saatnya aku menyusul mereka."

"DIAM! Tidakkah kau tahu betapa sakitnya tubuhku dengan luka-luka ini sambil menggendongmu! ARGHHH!"

Kepakan sayap mengenai punggung Cashel. Membuat mereka tersungkur. Tak ada waktu meringis. Tapak kaki Cashel langsung melangkah cepat lagi setelah bangkit berdiri.

Sesaat, Cashel fokus hanya dengan menghindari serangan tanpa berbicara dengan Finley lagi. Walaupun, ia sebenarnya ingin sekali melihat keadaan temannya itu.

GUBRAKK.

Cashel jatuh tersungkur lebih parah. Gendongannya terlepas. Finley terguling beberapa meter. Namun, kali ini kaki Cashel tak dapat bangkit dengan cepat. Sudah terlampau sakit. Tenaganya habis. Mata satunya, menatap lekat tubuh Finley yang wajahnya tertutup rambut itu. Keduanya sama-sama tak berdaya. Hanya menunggu serangan burung raksasa itu menghabisi.

"Finley," lirih Cashel.

Gadis itu nyaris tak bergerak. Begitu pun Cashel. Kesadaran keduanya memudar.

Pada saat itulah, gelap malam kedatangan sesuatu. Langit menyala. Berwarna-warni seperti kaca raksasa. Terang sekali hingga mengalahkan nyala api dan membuat burung-burung raksasa itu silau dan menjerit heboh.

Dalam sekejap, kaca raksasa warna-warni itu pecah. Menghujam seperti ribuan peluru kristal. Bak hujan deras. Menusuk semua burung raksasa hingga terjatuh dan tewas seketika.

Fenomena lima tahun lalu itu kembali! Cashel dan Finley menyaksikannya dengan penglihatan buram.

Fenomena dulu yang menghancurkan segalanya, kini menyelamatkan mereka.

"ARGHHHH!"

Cashel tak peduli rasa sakitnya. Sebab ia harus pergi ke tempat Finley. Burung-burung raksasa telah mati. Bukan saat yang tepat untuk bingung dengan kedatangan hujan kristal itu lagi. Mereka juga tidak terbunuh untuk kedua kalinya karena hujan kristal tersebut. Bahkan, hujan kedua ini lebih aneh lagi. Jika dulu mereka merasakan tubuh hancur karena terkena kristal, maka sekarang kristal itu sama sekali tidak mengenai mereka.

"Finley!"

Cashel menggoyang-goyangkan tubuh Finley. Gadis itu sudah tak sadarkan diri. Namun, sempat melihat kejadian yang menyelamatkannya dan Cashel.

Namun tak lama, Cashel juga pingsan sebelum sempat menggendong Finley.

...****************...

"Lama sekali kau bangun," ujar Finley yang duduk di dekat Cashel.

Lelaki itu baru saja siuman.

"Finley, kau masih hidup?"

"Tidak, ini arwahku."

Cashel tersenyum. Masih dalam posisi terbaring. Ditatapnya langit biru. Tak ada lagi kaca raksasa. Sudah tengah hari. Pertarungan hidup dan mati itu sangat menguras tenaga hingga membuat lelap lebih panjang.

Gadis itu terlihat sedang memakan ikan bakar. Di sebelahnya, ada dua ekor lagi untuk Cashel.

"Kau masih tak sanggup berdiri?" Finley bertanya.

"Sebenarnya, kita punya berapa nyawa?"

"Tepatnya, kita punya berapa keberuntungan. Kejadian semalam benar-benar mustahil untuk kita menangkan. Oleh karena itu, bantuan datang."

Cashel tertawa kecil. Tak dapat terbendung rasa bahagianya melihat Finley baik-baik saja.

Tak lama, Finley kembali terbaring. Menyembuhkan sisa-sisa lelah. Lantas mengikuti Cashel yang fokus menatap langit.

"Kita masih hidup," ucap Finley.

"Iya," jawab Cashel.

Namun, tiba-tiba Finley menjerit kencang sekali. Lalu menangis sekeras-kerasnya. Padahal, mulutnya terluka. Air mata yang membasahi pipi juga terasa perih.

"Iya. Tapi sampai kapan? Aku lelah sekali dengan semua ini. Kenapa tidak sekalian kita mati saja semalam. Kenapa hujan kristal itu malah kembali. Jika dia berniat menyelematkan kita, mengapa dia tidak menghidupkan kembali semua penduduk dan desa Hyacinth."

"Wajahmu jelek sekali dengan tangisan itu."

"Dan kau masih berani menyebutku seperti itu."

"Karena itu memang kenyataan."

"Tidaklah kau tahu aku perempuan."

"Ya, aku tahu dan segala kelemahannya."

"Lantas, bisakah kau diam sejenak. Tidak perlu menambah parah rasa sakit yang aku rasakan."

"Untuk apa? Aku punya rasa sakit yang sama denganmu."

"Kau tahu itu. Tapi kau tidak akan memahami perasaan wanita. Jangan menambah berat pikiran yang ia hadapi."

"Tangisan tidak akan membuat semuanya selesai. Hanya membuatku cepat tua."

"Sudahi saja, sialan! Aku tak pernah ingin bersamamu. Bahkan sampai sekarang kau tetap saja memperparah luka. Luka yang lebih sakit dari serangan hewan buas mana pun."

"Ucapan macam apa itu. Kau kita rangkaian kata yang kau ucapkan seindah lantunan seruling Dyvette? Membuat muak saja. Dasar cengeng, jelek, bodoh, keras kepala, menyebalkan. Kalau tidak mau, pergi saja sendiri!"

"DIAM!"

"Lihat, kau perempuan gila."

Bibir Finley bergetar menahan emosi yang membara. Naluri wanitanya bekerja. Perasaan sakit yang tidak dipahami laki-laki. Cashel memang selalu seperti itu. Untuk menguatkan. Namun, kali ini Finley benar-benar frustasi dengan segala bahaya yang menyerang.

"AAAAAA! Hujan kristal! Datanglah lagi dan bunuh saja aku!" Finley berteriak ke arah langit.

"Andai ada orang lain di sini, maka kau sudah ditertawakan."

Remuk sekali rasanya hati Finley. Tak ada bahu tempatnya bersandar. Apalagi untuk merebahkan penat hati. Lelaki yang bersamanya itu hanya memperparah. Serba salah. Menangis direndahkan, marah diejek. Tak ada jalan yang dapat diambil Finley selain diam. Namun ia terlanjur mengungkapkan isi hatinya yang teriris.

Akhirnya, Finley beranjak dari tempatnya berada. Lantas berjalan menjauh.

Cashel membiarkan. Ia berpikir bahwa Finley hanya butuh menenangkan diri sesaat. Padahal, gadis itu benar-benar ingin pergi sejauh-jauhnya dari Cashel.

Sampai mentari condong ke ufuk barat, Finley tak jua kembali. Cashel mulai cemas. Sebelum itu, ia mengumpulkan kayu bakar dengan harapan bisa melihat Finley. Ternyata tidak ada. Entah di mana gadis itu berada.

"FINLEY! DI MANA KAU, SUDAH HAMPIR MALAM."

Sejenak, Cashel tersadar bahwa ia sudah keterlaluan.

Kecemasannya bertambah ketika melihat tombak Finley. Artinya, gadis itu tidak membawa senjatanya.

Diraihnya dua tombak itu. Lalu Cashel berlari cepat menuju arah yang dituju Finley ketika pergi.

"FINLEY!"

1
mochamad ribut
lanjut
adie_izzati
Permulaan yang baik👍👍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 3 replies
Ucu Borneo.
nice...
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!