Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang Tak Menerima
"Hufftt ... hari ini melelahkan sekali", Raya baru bisa mendudukkan dirinya di sofa ruang kerja setelah hampir seharian ini dia sibuk melayani pembeli dan pelanggan di toko pastry miliknya.
Raya melihat gawai dan muncul sebuah notifikasi pesan dan beberapa panggilan tak terjawab.
"Ah, ada pesan dan telepon dari Mas Ezra", wajah Raya sumringah. Dia segera membuka pesan itu dan membacanya.
*Syukurlah kalau Mas sudah sampai. Maaf ya aku baru membalas pesan karena seharian ini banyak sekali pembeli dan pelanggan yang datang ke toko. M*aaf juga, aku tadi tidak bisa menerima telepon Mas Ezra karena gawai aku simpan di ruang kerjaku
Raya mengirimkan pesan itu sebagai balasan dengan diiringi senyum manis.
Ezra yang sekarang sedang beristirahat di kamarnya segera bangkit begitu mendengar notifikasi dari gawai miliknya.
Aku hampir mati menunggu jawabanmu, sayang. Jangan terlalu lelah, ya. Aku mencintaimu ❤️
Ezra kembali membalas pesan Raya dengan hati bahagia.
Raya yang juga tengah menunggu balasan pesan dari suaminya kembali bersemangat.
Iya, Mas. Mas juga ya, ingat jaga kesehatan, makan, dan istirahatnya. I love you too ❤️
Pesan itu terkirim lagi. Raya melirik jam di layar gawai, waktunya dia untuk sholat dzuhur.
Mas, aku mau sholat dulu ya.
Lagi, Raya mengirimkan pesan. Ia khawatir suaminya menunggu-nunggu respon darinya.
Iya, sayang. Jangan lupa do'akan aku.
Raya kembali tersenyum membaca pesan itu dan memberikan emoji hati pada pesan suaminya.
.
.
Tok ... tok ... tok
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar Ezra.
"Siapa?".
"Ini Mama, Zra".
"Oh ya, Ma. Masuk saja".
Tak lama, Mama Laura membuka pintu dan menghampiri putranya yang masih asyik melihat gawai serta menyandarkan diri di kepala tempat tidur.
"Ezra, Mama mau bicara sebentar", Mama Laura membuka suara.
"Iya, Ma. Silahkan", jawab Ezra sambil menyimpang gawainya di atas nakas.
Mama Laura menarik nafas sesaat, lalu menatap putranya dengan tatapan yang tidak bisa Ezra artikan.
"Nak, apa kamu yakin mau menikahi Sindy?", tanya Mama Laura tanpa basa-basi.
"Apa Raya sudah tahu soal ini?", lanjutnya lagi.
Ezra terdiam sejenak, "Aku sudah memutuskan, Ma. Raya tidak tahu soal ini dan aku pun tidak ingin Raya tahu".
"Zra, Mama tahu kamu sangat mencintai Raya. Kalau memang keputusan ini berat, jangan paksakan diri kamu untuk melanjutkannya. Mama pun sebetulnya tidak setuju dengan keputusan Papa", Mama Laura menatap ke ruang kosong di sampingnya.
Ezra menghela nafas, sejujurnya dirinya pun tidak ingin melakukan apa yang Sang Papa minta. Tapi belenggu rasa bersalah dan masalah utang budi terus menghantuinya.
"Sudahlah, Ma. Aku menerima permintaan Om Ardi dan Papa juga tidak gratis", jawab Ezra.
Mama Laura mengernyitkan dahi, "Maksud kamu?".
"Ezra minta sama Om Ardi dan Papa kalau Ezra hanya akan berstatus suami Sindy selama satu tahun saja tanpa menunaikan kewajiban apapun dan Papa harus menjamin Raya tidak tahu soal ini sampai kapan pun", terang Ezra.
"Kamu serius?", tanya Mama Laura seolah meminta kepastian dari putra kesayangannya itu.
Ezra menganggukkan kepala, "Ezra tidak punya pilihan lain, Ma. Ezra tahu keputusan ini salah, Raya pasti akan sangat sakit kalau mengetahuinya. Tapi Ezra juga merasa bersalah sama Papa jika tidak memenuhi keinginannya. Terlebih apa yang Papa bilang benar, keluarga kita bahkan Ezra sendiri punya utang budi sama Om Ardi", Ezra meluahkan semua keresahannya.
"Maafkan Mama ya sayang, Mama tidak bisa berbuat banyak untuk kamu dan Raya", Mama Laura memeluk Ezra dengan erat.
Dirinya pun merasa ikut bersalah karena tidak bisa meminta suaminya untuk lebih memikirkan perasaan anak dan menantunya daripada memenuhi permintaan sahabat karibnya, Om Ardi.
Dalam pelukan sang Mama, Ezra merasakan ada ketenangan. Ezra tahu betul di balik semua ini Mama Laura pasti sudah berusaha keras untuk membujuk Papa agar tidak memaksa putranya untuk menikahi Sindy. Tapi Ezra juga tahu seberapa keras sikap Sang Papa jika sudah menentukan sesuatu.
"Ayo turun, kita makan bersama. Papa dan Om Ardi ingin bicara sama kamu soal pernikahan besok", ucap Mama Laura setelah ia melepas pelukannya.
"Besok, Ma?", Ezra terkejut. Ia tak menyangka pernikahan dirinya dan Sindy akan dilakukan secepat itu.
"Iya. Kamu tidak perlu sekaget itu. Melihat kondisi Sindy saat ini, sudah pasti Om Ardi dan Papamu akan mempercepat semuanya", terang Mama Laura.
Ezra tak bisa berkata-kata lagi. Pada akhirnya dirinya seolah kehilangan harga diri karena hanya bisa mengikuti apa yang ditentukan Sang Papa.
Makan bersama berjalan dengan baik. Semua orang bisa menikmati makanan yang tersaji di meja dan benar saja, selepas makan malam usai, Om Ardi dan Papa mengajak Ezra untuk membahas soal pernikahan.
"Om ucapkan terima kasih karena kamu bersedia menikahi Sindy", Om Ardi memulai pembicaraan.
"Tapi Om tahu kan status dan kondisiku saat ini?", tanya Ezra.
Om Ardi menganggukkan kepalanya, "Ya, Papamu sudah menceritakan semuanya, termasuk persyaratan yang kamu ajukan dan Om menyetujui itu".
Ezra terdiam.
"Jadi, besok jam berapa pernikahan mereka akan dilangsungkan, Ardi?", tanya Papa.
"Jam delapan pagi. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Pernikahan akan dilangsungkan di rumahku, hanya Keluarga terdekat saja yang hadir", terang Om Ardi.
Papa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berganti menatap Ezra.
"Bagaimana?".
Ezra melirik Sang Papa, "Tidak perlu bertanya padaku. Siapkan saja semuanya dan besok aku akan datang", Ezra memberikan penekanan pada ucapannya seolah dirinya tak terima dengan ini semua.
Papa dan Om Ardi tahu hati Ezra tidak menginginkan pernikahan ini, bahkan Om Ardi juga tahu jika Ezra tidak akan bisa mencintai putrinya. Jika saja dia bisa memilih, dia lebih menginginkan Sindy menikah dengan laki-laki lain yang benar mencintainya daripada harus menikah dengan Ezra yang memang tidak menginginkannya.
Tapi karena rasa sayang yang teramat sangat, Om Ardi mau tidak mau menyetujui permintaan putrinya itu meski ia tahu, peluang Sindy untuk bahagia dengan Ezra sangat lah kecil karena pernikahan yang serba dipaksakan ini.
"Ezra, maafkan Om dan Sindy, ya. Om tahu ini salah, tapi Om hanya berusaha memenuhi apa yang menjadi keinginan Sindy. Dia putri Om satu-satunya dan kapanpun Tuhan mau, dia bisa saja pergi dengan cepat", tatapan Om Ardi tampak sendu.
Ezra masih membisu. Dia tidak tahu harus merespon apa karena hatinya saat ini benar-benar memberontak.
"Kondisi Sindy sendiri apa sudah membaik?", Papa Hadi berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kondisinya stabil. Tapi ya, kamu tahu sendiri kan Hadi, kapanpun Sindy bisa anfal", jawab Om Ardi.
"Semoga setelah mereka menikah, kondisi Sindy bisa lebih baik", harap Papa Hadinata tulus.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban