Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 : BAGIAN TERPENTING DALAM HIDUPKU
Lampu jalanan temaram menyinari aspal basah, memantulkan bayangan diriku yang tampak asing. Malam panjang itu telah merenggut segalanya—tenaga, harga diri, dan sisa-sisa kewarasanku. Seratus lima puluh juta rupiah telah berpindah tangan ke meja Mahendra. Sebuah nominal yang terdengar fantastis bagi orang awam, namun terasa sangat murah untuk menebus nyawa dan kehormatan yang telah digadaikan.
Andra dan Doni masih setia di sisiku, langkah mereka berat, seolah bayangan lebam di wajah mereka belum cukup menggambarkan kehancuran yang kami alami.
Kepulanganku ke rumah bukanlah sebuah perayaan. Ayah hanya melirik sekilas dari sudut matanya yang merah karena pengaruh alkohol, lalu mendengus saat melihatku masuk tanpa membawa botol atau berita kemenangan judi. Baginya, aku hanyalah aset yang gagal.
Namun Ibu berbeda. Ia merengkuhku seolah aku baru saja kembali dari medan perang. "Shilla, katakan pada Ibu. Bagaimana kamu bisa membayar hutang ayahmu yang sebanyak itu?" suaranya gemetar, dipenuhi ketakutan yang mencekam.
"Andra dan Doni membantuku, Bu," bohongku, tenggorokanku terasa kering. "Aku sudah resign dari pabrik dan mendapat pesangon besar. Cukup untuk menutup semuanya."
Aku menyelipkan sejumlah uang ke tangan Ibu yang kasar karena terlalu sering mencuci pakaian orang lain. "Malam ini, aku akan berangkat ke kota. Ada panggilan kerja di sana dengan gaji yang jauh lebih besar."
"Kamu meninggalkan Ibu sendiri, Nak?" Kalimat itu menghantam jantungku lebih keras dari tamparan mana pun. Aku tahu, tanpa aku, Ibu akan menjadi sasaran empuk amarah Ayah.
"Aku harus, Bu. Hutang judi Ayah yang lain masih ada yang harus dicicil. Aku tidak mau mereka datang lagi dan mengacak-acak rumah ini," jelasku, menelan kepahitan. Ibu tidak menjawab. Ia hanya memelukku erat, tangisnya pecah membasahi punggungku. Ada luka yang tak terucap dalam isakannya, sebuah permohonan maaf karena tak mampu melindungiku dari kejamnya dunia.
"Ibu harus kuat. Kalau Ayah keterlaluan, minta tolong pada tetangga. Atau... hubungi Mas Reyhan," bisikku sambil mulai memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas usang. Sebenarnya, aku ketakutan. Aku takut saat aku pergi nanti, Ayah akan berubah menjadi monster yang tak terkendali.
Matahari mulai tenggelam, digantikan gelap yang seolah menertawakan takdirku. Tubuhku terasa remuk. Erlangga, pria yang membeliku dengan harga fantastis itu, memang bersikap lembut secara fisik. Namun, sentuhannya meninggalkan bekas yang tak terlihat—sebuah rasa jijik pada diri sendiri yang jauh lebih menyakitkan daripada lebam.
Sebelum menyerahkan diri sepenuhnya ke apartemen Erlangga, aku memutuskan mampir ke gudang tua, tempat kami biasa berkumpul.
Andra duduk di sana, menyendiri. Wajahnya yang biasa penuh tawa kini suram, dipenuhi memar biru keunguan akibat melindungiku semalam. Melihatnya seperti itu membuat dadaku sesak. Aku harus pergi, bukan hanya karena kontrak dengan Erlangga, tapi agar teman-temanku tidak lagi terseret ke dalam neraka yang diciptakan keluargaku.
"Andra..." panggilku pelan. Aku menyodorkan beberapa amplop berisi uang ratusan ribu. "Aku titip ini."
Andra tidak bergerak. Matanya hanya melirik sekilas, dingin dan tajam. "Jauhkan uang haram itu dariku, Shilla."
Kata-katanya seperti sembilu. Aku menarik napas panjang. "Aku harus pergi, Ndra. Ini bantuan terakhir yang aku minta darimu."
Dia masih memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
"Tolong berikan ini pada Mas Rifal untuk melunasi hutangku. Dan yang ini..." aku menaruh amplop lain di sampingnya, "berikan pada Mas Reyhan untuk biaya persalinan Kak Luna. Anggap ini pengganti biaya sekolah yang dia tanggung dulu."
Aku meletakkan amplop terakhir yang paling tebal. "Dan ini... carikan kios kecil untuk Ibu. Biar dia punya usaha sendiri dan tidak bergantung pada uang judi Ayah. Sisanya, untuk kalian semua."
Air mataku pecah. Aku melihat kepalan tangan Andra memutih, buku-buku jarinya bergetar menahan emosi.
"Aku tidak menyangka kau akan serendah ini, Shilla," sahut Doni yang baru muncul dari balik pintu, suaranya penuh kekecewaan.
"Jangan seperti itu," kataku dengan suara parau. "Aku hanya merantau ke kota. Aku akan kembali lagi nanti setelah semuanya stabil."
"Kalau hanya merantau, kenapa kami tidak boleh mengantarmu ke stasiun? Kenapa kau seolah sedang berpamitan untuk mati?" tanya Doni menuntut.
Aku menggeleng lemah. "Kalian sudah cukup terluka karena aku, Don. Aku tidak mau kalian terseret lebih jauh."
Hening sesaat, sebelum akhirnya Andra berdiri dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya—tatapan penuh kebencian sekaligus duka.
"Baiklah kalau itu maumu. Pergilah sejauh mungkin. Jangan pernah kembali lagi ke hadapanku. Aku tidak butuh teman seorang pelacur," ucapnya lantang.
Kata itu, pelacur, keluar dari mulut sahabat terbaikku. Rasanya lebih menyakitkan daripada kehilangan seluruh harta benda.
"Ndra! Jaga bicaramu!" bentak Doni kaget.
Aku hanya bisa tersenyum getir, menelan semua penghinaan itu. "Baiklah. Aku pergi."
Saat aku mencapai ambang pintu, suara Andra menghentikanku sekali lagi. "Tunggu!"
Dia mengambil amplop yang ditujukan untuk teman-teman dan melemparkannya ke arahku. Uang itu berhamburan di lantai. "Bawa uang ini bersamamu. Kami tidak butuh belas kasihan darimu."
Aku berjongkok, mengumpulkan lembaran uang itu satu per satu dengan tangan gemetar. "Gunakan ini untuk kalian memulai hidup baru, Ndra. Aku sudah punya pegangan yang lebih dari cukup. Selama ini kalian sudah banyak berbagi rokok dan makanan denganku saat aku tidak punya apa-apa. Anggap ini balas budiku."
Aku berdiri, menggendong tasku erat-erat. "Terima kasih sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku janji akan berkunjung lagi... suatu saat nanti."
Aku berbalik tanpa menoleh lagi. Di bawah langit malam yang pekat, aku melangkah menuju mobil mewah yang sudah menunggu di ujung jalan. Malam itu, aku tidak hanya menyerahkan raga dan jiwaku kepada Erlangga. Malam itu, aku secara resmi kehilangan identitas, sahabat, dan satu-satunya tempat yang kusebut rumah.
Aku memasuki mobil, dan saat pintu tertutup dengan dentum yang halus, aku tahu dunia lamaku telah mati. Di depanku hanya ada jalan panjang yang dingin, di mana aku bukan lagi Shilla, melainkan hanya sebuah barang milik yang telah dibayar lunas.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,