Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Jangan gila kamu, Gara!”
Suara Mami Kartika menggema di halaman belakang seperti cambuk yang mencabik udara. Wajahnya memerah, sorot matanya menajam seperti kilat yang siap menyambar. Getar suaranya membawa amarah sekaligus kekecewaan yang tak bisa disembunyikan.
“Apa kamu sadar dengan apa yang sudah kamu lakukan ini?” tanya Papi Leon, nadanya rendah tapi tegas, seperti dentuman palu di ruang sidang.
Di mata pria paruh baya itu tergambar rasa kecewa yang lebih dalam dari sekadar marah. Ada rasa dikhianati oleh keputusan anak yang selama ini ia banggakan.
Suasana yang tadi hangat berubah menjadi badai dalam sekejap.
Papi Leon terdiam dan matanya tajam menatap putranya, seolah ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi.
Shanum menunduk, napasnya tercekat di tenggorokan. Ia tahu Sagara sudah mempersiapkan keberanian ini sejak lama, tetapi tidak pernah menyangka saat-saat mengucapkannya akan seberat ini.
Mami Kartika menatapnya penuh campuran amarah dan kecewa. “Kamu sadar nggak, Gara, apa yang kamu lakukan ini bisa bikin malu keluarga kita? Kamu menikah diam-diam tanpa restu? Tanpa pemberitahuan?”
Sagara menatap ibunya dengan mata jernih tapi kukuh. “Aku sadar, Mi. Tapi aku juga tahu apa yang aku lakukan. Aku nggak mau Shanum terus disalahpahami.”
Suara Sagara terdengar tenang, tapi setiap katanya seperti menembus jantung Shanum. Ia ingin memeluk suaminya, ingin berkata bahwa dia sanggup menanggung semuanya bersama, tapi mulutnya tak mampu mengeluarkan satu kata pun.
Mami Kartika menatap ke arah Shanum, tatapannya tajam seperti ujung pisau. “Dan kamu, Shanum. Apa kamu menyetujui pernikahan seperti ini? Kamu nggak merasa bersalah sudah menyeret anak saya ke keputusan sepihak begini?”
Air mata mulai menggenang di mata Shanum. Tapi ia mengangkat wajahnya perlahan, suaranya bergetar namun tegas.
“Saya tahu keputusan ini salah di mata Nyonya. Tapi saya dan Sagara hanya ingin menjalani apa yang sudah menjadi tanggung jawab kami. Kami bukan mau menentang, Tuan dan Nyonya. Kami cuma ingin hidup tenang bersama anak-anak.”
Papi Leon akhirnya berdiri, menatap keduanya dengan wajah sulit dibaca.
“Kalian berdua tahu konsekuensinya?” kata pria paruh baya itu pelan. “Kalau keputusan ini kalian ambil tanpa izin kami, berarti kalian harus siap menanggung akibatnya.”
Shanum menunduk lagi. Air matanya jatuh ke pangkuan, membasahi kain gamis yang ia kenakan. Di tengah ketakutan itu, ia merasakan sesuatu genggaman tangan Sagara yang tak pernah melemah.
Sagara berdiri tegak, meski dadanya bergemuruh. Angin pagi yang sejuk tak mampu menenangkan bara dalam hatinya. Ia tahu akan tiba saat di mana kebenaran yang ingin ia jaga malah menjadi pisau yang menggores keluarganya sendiri.
“Mi ... Pi,” ucap Sagara, menatap keduanya bergantian. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku melakukannya dalam kesadaran penuh. Aku ... menyukai Shanum.”
Suara tangis tiba-tiba memecah suasana, Arsyla dan Abyasa yang sejak tadi anteng bermain, kini menangis keras karena terkejut oleh suara tinggi yang mengguncang udara.
“Mas, aku bawa mereka dulu,” bisik Shanum pelan, suaranya nyaris patah, tapi cukup untuk terdengar. Ia segera menggendong si kembar, menjauh dari ketegangan yang melilit seperti tali yang semakin menjerat leher.
Sagara hanya menatap punggung Shanum yang menjauh. Setiap langkah wanita itu bagai pisau yang menyayat nuraninya. Ia tahu Shanum pasti merasa bersalah, meski sebenarnya bukan salahnya.
“Gara,” suara Papi Leon kembali memotong keheningan. “Apa yang membuat kamu ambil keputusan menikahi Shanum?”
Sagara menatap tanah sejenak, lalu menegakkan bahu. “Pi, aku pria normal. Aku butuh istri yang bisa menemani, memahami, dan melayaniku. Anak-anakku juga butuh sosok ibu yang mengasuh, mengurus, dan mendidik. Dan Shanum bisa melakukan itu.”
Jawaban itu mengalir lirih tapi yakin. Sagara tahu kedengarannya sederhana, tapi dalam hatinya, alasan itu jauh lebih jujur karena dari Shanum, ia menemukan kedamaian yang bahkan tidak pernah ia rasakan sejak Sonia pergi.
Tatapan tajam Papi Leon menembus hatinya. “Apa Shanum selalu menggoda kamu?”
Pertanyaan itu seperti tamparan keras. Sagara mengangkat wajahnya dengan tegas.
“Tidak, Pi. Lihat saja, pakaiannya tertutup begitu. Dia selalu menjaga diri.”
Sagara berhenti sejenak, napasnya tersendat. “Dia nggak pernah melanggar batas. Justru aku yang sering kehilangan kendali.”
Ada kejujuran getir dalam kalimat terakhir itu. Sagara tahu betul bahwa kehadiran Shanum membawa rasa damai sekaligus godaan yang membuatnya manusiawi, lemah dan penuh dosa. Hanya saja, cintanya tumbuh dari rasa hormat, bukan sekadar keinginan tubuh.
Tak bisa dipungkiri oleh Sagara, memang Shanum punya tubuh yang sangat menggoda dibalik pakaiannya yang tertutup. Melihat dada bagian atasnya saja ketika menyusui si kembar, sudah membuat pria itu terangsang gairah.
Mami Kartika menatapnya tajam. “Mami tahu Shanum itu wanita baik. Tapi kalau dijadikan istri, Mami tidak setuju!” katanya, kali ini nadanya lebih bergetar karena emosi. “Mami cuma takut kamu tersesat karena pelampiasan, bukan cinta.”
“Bukannya status kamu masih suami Sonia?” tambah Papi Leon tajam. “Kalau begini, kamu melakukan poligami, Gara.”
“Pi, kita semua nggak tahu di mana Sonia sekarang!” Suara Sagara meninggi, lalu merendah di akhir kalimatnya, bergetar antara marah dan sedih. “Aku sudah mencarinya selama enam bulan kemarin. Aku sewa detektif, aku lapor polisi, aku pasang iklan di koran... aku bahkan buat sayembara untuk siapa pun yang bisa menemukan dia. Tapi sampai sekarang sudah mau sepuluh bulan nggak ada hasil, Pi. Nggak ada satu pun.”
Mami Kartika memejamkan mata. “Tapi bukannya kamu sendiri yang bilang, selama jasadnya belum ditemukan, Sonia masih hidup?”
Sagara menarik napas berat. “Ya, dulu aku berpikir begitu. Tapi waktu terus berjalan, Mi. Aku dan anak-anak butuh Shanum. Aku ingin memberi dia status yang jelas dan aman.”
Suaranya menurun, nyaris berbisik. “Aku cuma ingin hidup bahagia bersama orang-orang yang aku cintai.”
Ucapan itu membuat udara di sekitar seolah menahan napas. Ada luka di balik ketegasan itu, luka seorang pria yang hanya ingin memulihkan hidup yang porak-poranda.
Namun, Mami Kartika tak luluh. Ia menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Gara, kamu pikir kebahagiaan bisa dibangun di atas luka orang lain? Kamu pikir Sonia pantas digantikan secepat itu?”
“Kalau Sonia kembali,” Papi Leon menimpali dingin, “apa yang akan kamu lakukan?”
ada kemungkinan bekerja sama dengan perawat makanya tidak ada jejak sebelum Sonia menyadari tidak ada tanda lahir di bayi yang di rawat Sagara...
tapi siapa yg menukar ?? apakah David + Soraya berkomplot ?
apakah Sonia & Shanum saudara kembar yg terpisahkan ? bgmn terjadi nya ?
Sudah jelas dia tidak alergi susu, tinggal menunggu anak siapa dia sebenarnya.
kenapa sampai bisa tertukar dan apakah ini merupakan kesengajaan ?
jgn² anak yg dimakamin sm shanum itu ansl sagara sm sonia 🤔