NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Dua tahun lebih berlalu bagai hembusan angin dingin di London dan Jakarta. Waktu merangkak lamban bagi hati yang merindu, namun berlari kencang bagi tangan yang bekerja keras.

Di London, Rian memulai babak baru sebagai mahasiswa arsitektur. Uang tabungannya dari kafe menjadi modal awal. Jadwalnya brutal: kuliah dari pagi hingga sore, lalu bekerja di kafe dari malam hingga dini hari, diselingi begadang untuk tugas kuliah atau mendesain proyek kompetisi.

Karena jadwal yang padat itu, Rian dan Dian jarang bertemu. Jadwal shift mereka di kafe sering bersilangan. Hanya sesekali mereka berpapasan, bertukar sapa singkat, dan Dian akan menanyakan kabar Rian yang selalu dijawab baik-baik saja. Rian menjaga jarak, fokus pada tujuannya. Rian tumbuh menjadi pria yang lebih pendiam, matang, dan memiliki fokus setajam elang. Di hatinya, hanya ada satu nama: Naya.

Di Jakarta, Naya juga sama sibuknya. Ia menjadi tangan kanan Ayahnya Hardi yang paling diandalkan. Proyek raksasa perusahaan menjadi fokus utamanya. Setiap kali Ayahnya Hardi atau Andika mencoba mendekatinya dengan pembicaraan perjodohan, Naya akan dengan sigap mengalihkan pembicaraan, beralasan "terlalu sibuk dengan proyek baru".

Naya tumbuh menjadi wanita yang sangat berwibawa, dingin, dan efisien. Banyak yang mengagumi profesionalismenya, tapi tidak ada yang tahu topeng dingin itu adalah benteng untuk melindungi hatinya yang masih menyimpan bara rindu pada Rian.

Meskipun terpisah, momen video call yang tidak disengaja itu menjadi bahan bakar rahasia mereka. Naya tahu Rian hidup, Rian tahu Naya kuat. Mereka berjuang dalam diam, dalam keyakinan bahwa suatu hari nanti, benang merah takdir itu akan kembali menyatukan mereka.

Dua tahun. Waktu yang mengubah banyak hal, tapi tidak mengubah kesetiaan hati mereka.

Sore itu, London sedang diguyur hujan salju pertama di akhir tahun ke-dua lebih mereka. Kafe sudah tutup, namun Aris dan Dian masih duduk di pojok ruangan sambil menikmati teh hangat. Rian sudah lebih dulu pulang karena harus menyelesaikan revisi tesis akhirnya.

Dian menatap kursi kosong yang biasa ditempati Rian dengan tatapan kosong. "Ris," panggil Dian pelan. "Dua tahun lebih kita kerja bareng, tapi aku merasa Rian itu seperti teka-teki. Dia bekerja seperti orang gila, kuliah seperti tidak butuh tidur, dan dia selalu dingin pada siapa pun yang mencoba mendekat. Sebenarnya... apa yang dia cari di London ini?"

Aris terdiam cukup lama, memandangi uap tehnya. Ia menimbang-nimbang, apakah ini saat yang tepat untuk membagikan beban sahabatnya. "Kamu benar-benar ingin tahu, Dian?"

Dian mengangguk pasti. "Aku merasa ada kesedihan yang dalam di matanya, Ris. Setiap kali dia lihat sketsa di bukunya, tatapannya itu... sakit sekali."

Aris menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan suara yang berat. "Dia di sini untuk menjemput nyawanya yang tertinggal di Jakarta, Dian. Namanya Naya."

Dian tertegun. "Naya? Maksudmu... Naya Hardi?"

"Iya," Aris menatap Dian lekat-lekat. "Dua tahun lalu, mereka mencoba lari bersama. Mereka hanya ingin hidup sederhana, keluar dari tekanan ayahnya. Tapi mereka tertangkap. Rian disiksa, dibuang ke kota kecil tanpa apa pun, sementara Naya dibawa paksa ke London agar mereka tidak bisa bertemu lagi."

Mata Dian mulai berkaca-kaca. Aris melanjutkan dengan nada yang semakin lirih.

"Kamu tahu kenapa dia nekat ke London tanpa uang dan tanpa alamat sampai kecopetan dan terlunta-lunta di jalan? Itu karena dia dengar Naya ada di sini. Dia rela jadi gelandangan, kelaparan, dan kedinginan di taman hanya untuk satu kemungkinan kecil bisa melihat Naya lagi. Dia tidak tahu kalau saat dia tiba di London, Naya justru sudah balik ke Jakarta."

Dian menutup mulutnya dengan tangan, air mata mulai jatuh di pipinya. "Jadi... selama ini dia bekerja siang malam sampai sakit-sakitan itu untuk..."

"Untuk memantaskan diri," potong Aris dengan suara parau. "Dia bilang, dia tidak mau lagi dihina sebagai pria miskin. Dia mau pulang ke Jakarta sebagai pria sukses agar tidak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Dia menyimpan rindu itu sendirian selama dua tahun ini, Dian. Setiap tetes keringatnya adalah untuk tiket pulang. Setiap buku yang dia pelajari di kampus adalah senjatanya untuk merebut kembali kebahagiaannya."

Tangis Dian pecah. Ia tersedu-sedu, membayangkan pria pendiam yang selama ini ia lihat di kafe ternyata menyimpan luka dan perjuangan sehebat itu. "Aku tidak tahu, Ris... aku tidak tahu kalau suaranya di video call waktu itu adalah satu-satunya jembatan yang dia punya untuk mendengar suara wanita yang dia cintai."

Dian menangis semakin kencang, hatinya hancur membayangkan kesetiaan Rian yang begitu murni di tengah kerasnya kota London. "Itu sangat tidak adil, Ris. Kenapa orang setulus itu harus menderita sesakit ini?"

Aris hanya bisa tertunduk, membiarkan Dian meluapkan emosinya. Di balik jendela kafe, salju semakin tebal, seputih dan sedingin penantian Rian yang kini sudah berada di ambang garis akhir.

...----------------...

Aula besar universitas di London itu dipenuhi oleh wisudawan dari berbagai belahan dunia. Namun, di antara kerumunan jubah hitam, Rian berdiri dengan kepala paling tegak. Saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik dengan predikat Summa Cum Laude di bidang Arsitektur, Aris dan Dian yang duduk di kursi penonton bersorak paling keras.

Dian menghapus air matanya berkali-kali. Mengingat cerita Aris malam itu, ia melihat sosok Rian bukan lagi sekadar mahasiswa berprestasi, melainkan seorang pria yang baru saja berhasil mengasah pedangnya untuk menjemput takdir.

"Kamu berhasil, Yan! Kamu benar-benar melakukannya!" seru Aris sambil memeluk Rian erat setelah prosesi selesai.

Rian tersenyum lebar, senyuman paling tulus yang pernah ia tunjukkan selama di London. "Ini baru awal, Ris. Ini baru tiket masuknya."

Sesuai janjinya, Dian mengundang Rian dan Aris ke apartemennya sore itu. Aroma harum nasi kuning, ayam goreng lengkuas, dan sambal terasi memenuhi ruangan. Dian memasak semuanya sendiri sejak pagi sebagai hadiah atas keberhasilan Rian.

"Silakan dinikmati, Sang Arsitek Kebanggaan!" ujar Dian ceria, meski matanya masih sedikit sembap.

Mereka makan dengan lahap, tertawa, dan membicarakan rencana masa depan. Di tengah suasana hangat itu, Dian teringat janjinya pada dirinya sendiri untuk menjadi perantara bagi Rian.

"Oh iya, aku sudah bilang ke Mas Rio kalau hari ini kamu lulus, Rian. Dia titip salam dan katanya ingin bicara sebentar," Dian meraih ponselnya. "Aku video call sekarang ya?"

Jantung Rian berdegup kencang, tapi kali ini ia merasa lebih siap. Dian menekan tombol hijau.

"Halo, Mas Rio! Lihat nih, pahlawan kita sudah pakai selempang lulusan terbaik!" Dian mengarahkan kamera ke arah Rian yang mengenakan kemeja rapi.

"Wah, selamat ya, Rian! Luar biasa!" suara Rio terdengar antusias dari Jakarta. "Saya sudah lihat beberapa portofoliomu yang dikirim Dian. Jujur, saya sudah tunjukkan ke beberapa kolega di sini, dan mereka sangat tertarik."

"Terima kasih banyak, Mas Rio. Itu sangat berarti buat saya," jawab Rian mantap.

Tiba-tiba, suasana di layar Rio berubah. Rio tampak menoleh ke arah pintu kantornya. "Eh, sebentar Dian, Mbak Naya masuk. Mbak, ini lho, teman Dian yang lulusan terbaik arsitektur di London itu.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!