Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 ACICD - Menguasai Pikiran
Lampu gantung kristal di langit-langit ruang makan sebuah Gaming House memantulkan cahaya lembut ke marmer putih yang mengilap. Malam di luar jendela kaca besar sudah gelap total, menyisakan pantulan kolam dan taman di luar yang tampak berkilau oleh cahaya neon biru khas markas tim Aerox Esport divisi Warrior Legends.
Di tengah ruangan, Narell duduk di kursi tinggi, mengayunkan kakinya riang sambil menikmati es krim vanila dalam gelas kaca. Pipinya belepotan sedikit, tapi tawanya jernih dan hangat.
"Ayelll suka eskyimm, yeyyyyy!" sorak bocah itu.
Di sekelilingnya, beberapa player yang terdiri dari cowok-cowok muda tampan dengan hoodie tim menemaninya dengan santai. Mereka juga sedang menikmati makanan mereka masing-masing, traktiran Adriel sang CEO karena mereka berhasil masuk grand final turnamen nasional bergengsi. Jadi mereka bebas memesan apa saja sesuka hati mereka malam ini. Di meja lain, ada juga manager dan coaching staff.
Hougan ikut menyantap makanan bersama mereka dan sesekali mengelap mulut Narell dengan tisu.
Di sisi lain ruangan, Adriel, sang CEO, berdiri agak jauh di dekat dinding kaca yang menghadap ke taman. Jasnya sudah dilepas, lengan kemejanya digulung sampai siku dan satu tangan menempel di saku celana. Cahaya dari luar menyorot siluet gagahnya di kaca.
Adriel melakukan panggilan telepon dengan kakak sepupunya, Kayrell.
"Lagi di mana?" tanyanya memperjelas.
"Di jet, aku bareng Raisa ada urusan di Roma. Tiba-tiba banget," kata Kayrell di seberang sana. "Titip Narell ya, Riel."
"Adriel, Mas?" itu suara istri Kayrell, yang tak lain kakak ipar Adriel.
"Iya, sayang."
Kini Raisa yang mengambil alih telepon. "Adriel, jaga Narell dulu yah, tadinya aku sama Kay minta dia ikutan, tapi dia ngotot mau sama kamu aja. Katanya kangen."
Adriel memijat pelipisnya. Bukan karena tidak senang merawat keponakannya, tetapi saat ini dia sedang banyak urusan. Sementara, Narell perlu dimomong setiap saat. Apalagi kalau bersama Adriel, Narell begitu manja dan jarang mau bersama nanny-nya.
"Fine," ujar Adriel mau tidak mau menerima.
Pria itu menarik hape yang menempel di telinganya, kemudian mengusap layar karena Kayrell melakukan panggilan video. Lantas dia mendekat ke tengah ruangan dan menggendong Narell dengan satu tangannya.
Narell tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada kedua orang tuanya. "Papiy… Mamiy… Ayel mamam eskyim sama Daddy… sama kaka-kaka di GH."
"Wiihhhhh rame yah, sayang."
"Ayel jangan nakal yah. Jangan bikin Daddy Adriel repot yah, sayang," pesan Kayrell.
"Enggak papiiiiyy…"
Raisa menyahut. "Kalau Daddynya kerja Ayel jangan ganggu, yah."
"Nanti Ayel jangan kemalaman yah bobonya, besok sekolah, sayang," sambung Raisa.
"Iyaaaa mammiiy."
"Ayel nanti bobonya cepat."
Setelah telepon berakhir, Adriel menurunkan Narell kembali ke kursi, membiarkan keponakannya kembali menikmati es krim. Sementara itu, Adriel kembali ke sisi ruangan untuk menerima telepon. Kali ini dari pihak kepolisian. Detektif Handri.
"Selamat malam, Pak Adriel."
"Selamat malam," sahut Adriel datar. Matanya tajam ke arah pantulan dirinya di kaca tinggi. "Ada apa?"
"Maaf jika saya lancang menghubungi Bapak, tapi saya merasa tidak tenang jika tidak menyampaikan hal ini pada Pak Adriel."
"Tentang?"
"Penutupan kasus penembakan mendiang Nona Drasha."
"Katakan."
"Saya tidak bisa menyampaikan via telepon, Pak."
Hening sejenak.
Adriel mengingat kalau detektif ini memang selalu ingin mengatakan sesuatu padanya saat pertemuan pagi tadi, tapi selalu ragu.
"Baiklah, saya mengerti, temui saya malam ini."
"Baik, Pak."
Begitu telepon berakhir, Adriel menoleh ke tengah ruangan dan memanggil asistennya. "Hougan."
Lantas, laki-laki muda itu segera berlari semut menghampiri Adriel. Berdiri tegak di belakang sang CEO.
"Iya, Pak."
"Bagaimana dengan si pengkhianat yang menjual data perusahaan itu, apa sudah ditangkap?"
"Belum, Pak, tapi tim sudah menemukan lokasinya dan segera akan melakukan penangkapan," lapor Hougan.
Adriel menoleh ke belakang sedikit. "Oke, kamu urus dulu, setelah saya mengantar Narell pulang, saya menyusul."
"Baik, Pak." Hougan menatap atasannya penasaran dan ragu-ragu. Adriel belum ada intruksi untuk menangani Ruby Rose. Apa dia lupa? Atau Adriel tidak mampu memberi pelajaran pada wanita yang sangat mirip A-Z dengan mendiang istrinya?
"Ada apa, Hougan?" sahut Adriel datar, dengan lirikan dingin yang membuat Hougan menelan ludah.
"Ohh i-tu, Pak… Apa saya perlu mempersiapkan jebakan seperti biasa untuk Nona Ruby, Pak?" Hougan berpikir Adriel akan memberi pelajaran pada Ruby Rose seperti yang dilakukan Adriel pada wanita lain yang mendekatinya.
"Tidak sekarang," jawab Adriel. Dia membalikkan badannya pelan, menatap Hougan tajam. "Saya masih mau mengikuti permainannya."
"Karena dia semirip itu dengan Nona Drasha yah, Pak," sahut Hougan santai, seperti orang yang bergosip. "Jujur waktu pertama ketemu dia tadi sore saya juga kaget karena dia benar-benar seperti No –," ucapan Hougan terpotong begitu menyadari lirikan menusuk Adriel. Lantas Hougan berdeham dan membungkuk sekilas. "Saya permisi, Pak."
Adriel kemudian berbalik, kembali menatap pantulan dirinya di kaca besar. Jujur, bayangan Ruby Rose menguasai pikirannya meski rentetan urusan berputar di kepala Adriel. Apalagi saat menatap wajah wanita itu dari jarak beberapa inci saja. Dia melihat Drasha.
Tak bisa Adriel tepis kalau tadi sore itu… dia hampir saja mencium Ruby Rose.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain, dalam kontrakannya, Ruby dengan rambut tergerai lembut duduk sambil memangku laptop. Jemarinya menari lihai di atas keyboard. Yap, dia sedang menyusun naskah hasil wawancaranya bersama Adriel.
Cahaya biru lembut memantul di kacamata wanita cantik itu. Fokus pada rangkaian kata demi kata yang terbentuk di halaman kerjanya.
Dia kemudian teringat Adriel yang mengatakan kalau Ruby menggodanya. Sehingga dia menekan-nekan kasar pada keyboard dan bibirnya mengulum kesal.
Detik berikutnya, bayangan wajah Adriel yang sangat dekat dengan wajah Ruby, bibir dan hangat napas pria itu berputar di pikiran Ruby.
Wanita itu mendesis halus setelah menekan tombol ENTER penuh tenaga. "Huh! Dasar CEO dingin! Narsis! Nyebelin!"
Ruby kemudian menyederkan punggungnya ke sandaran sofa dan menata helaan napasnya.
"Justru dia yang keliatan ngegodain aku, dia juga yang nyebut aku mirip mendiang istrinya. Ngatur wawancara pula. Dasar manipulatif, dia yang menggoda tapi tapi nyebut orang lain penggoda," racaunya penuh kesal.
Ruby menutup rapat laptopnya dengan kasar dan melemparkannya ke samping. Untung permukaan sofa lembut sehingga laptop itu mendarat mulus. Memantul sedikit lalu diam.
Selanjutnya, Ruby beranjak lalu memasuki kamarnya tidurnya yang rapi dan minimalis, aroma lilin lavender memenuhi udara.
Di depan lemari kayu gelap, Ruby berhenti. Satu tarikan napas. Dia lalu menggeser panel samping lemari yang terlihat seperti dekorasi biasa. Di dalam sana memperlihatkan pintu tersembunyi dengan keypad digital kecil.
Tanpa pikir panjang, Ruby menekan kombinasi angka yang hanya dia hafal.
Beep.
Pintu terbuka.
Ruby melangkah masuk ke dalam ruangan dingin yang kontras dengan suasana kontrakannya. Cahaya monitor biru menyala dari dinding penuh layar menyambutnya, deretan CPU custom dengan lampu RGB menyala dramatis. Kabel-kabel tersusun rapi seperti urat mesin.
Begitu pintu menutup di belakangnya, Ruby menurunkan diri untuk duduk di kursi gaming hitam merah yang berdiri gagah di tengah ruangan.
Selanjutnya, dia meraih headphone dan mengenakannya, melingkar di atas kepala. Lantas dia mulai menggenggam mouse dengan tangan kanan dan tangan lainnya bergerak lihai di atas keyboard.
"Drasha itu memangnya seperti apa? Kenapa CEO narsis itu bilang aku kayak berusaha jadi wanita bernama Drasha itu?" gumam Ruby kesal.