Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKAN SIANG DARI TUAN VANCE
Beberapa pasang mata mulai melirik. Bisik-bisik kecil terdengar, cepat dipatahkan oleh Shima yang tetap tenang. Ia menerima tas itu, mengangguk singkat, lalu masuk ke ruangannya.
Begitu pintu tertutup, Shima meletakkan tas itu di meja. Untuk sesaat, ia hanya menatapnya ada rasa asing sekaligus familiar. Perutnya memang lapar, tapi rasa curiga muncul lebih dulu.
Ia membuka perlahan.
Di dalamnya, tersusun rapi makanan yang jelas bukan katering rumah sakit. Sup bening hangat dengan aroma rempah lembut. Salad segar dengan potongan buah yang dipilih teliti. Dan seporsi makanan utama yang terlihat sederhana, tapi mahal seolah seseorang benar-benar memperhatikan apa yang layak ia makan setelah operasi panjang.
Shima tercekat pelan.
Ini bukan kiriman sembarangan.
Ponselnya bergetar tepat saat itu.
Satu pesan masuk. Nama pengirimnya membuat langkah napasnya tertahan sesaat.
Arru Vance
Jangan lewatkan makan siang.
Tubuhmu masih milikku untuk dijaga.
Arru
Jari Shima menggenggam ponsel sedikit lebih erat.
Tidak ada kata romantis. Tidak ada basa-basi. Namun kalimat itu… terasa seperti perintah yang dibungkus perhatian.
Ia menelan ludah, lalu duduk perlahan. Sendok pertama menyentuh bibirnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, Shima makan tanpa tergesa. Tanpa rasa kosong. Seolah seseorang di tempat lain sedang memastikan ia baik-baik saja.
Di luar ruangan, Laura lewat tanpa sengaja. Pandangannya tertumbuk pada tas makan mewah di meja Shima melalui kaca bening pintu. Senyum tipis Shima yang jarang muncul itu membuat dada Laura mengeras.
“Apa itu?” tanyanya kemudian, berpura-pura santai.
Shima mengangkat pandangannya perlahan. “Makan siang.”
“Hanya itu?” Laura menyipitkan mata.
Shima tersenyum kecil tenang, penuh kendali.
“Ya. Dari suamiku.”
Laura terdiam.
Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk rumah sakit, Arru berdiri di balik jendela kaca kantornya. Tablet di tangannya menampilkan gambar CCTV Shima duduk di ruangannya, sedang makan dengan tenang.
Arru menutup layar itu perlahan.
Sudut bibirnya terangkat tipis.
“Bagus,” gumamnya pelan. “Dia makan.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pagi, fokus Arru kembali ke pekerjaannya dengan satu kepastian dingin namun jelas:
Shima berada dalam jangkauannya.
Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh wilayah itu.
***
Kantin rumah sakit siang itu ramai seperti biasa. Denting sendok, suara obrolan rendah, dan aroma makanan bercampur jadi satu. Laura duduk berhadapan dengan Arya, menyendok makanannya tanpa selera. Tatapannya berulang kali melirik ke arah pintu masuk, seolah menunggu sesuatu atau seseorang.
“Aku lihat sesuatu yang menarik barusan,” ucap Laura akhirnya, suaranya dibuat santai tapi matanya menyala aneh.
Arya tidak langsung menoleh. “Apa lagi?”
Laura menyeringai tipis. “Shima.”
Sendok Arya berhenti di udara.
“Dia dapat kiriman makan siang,” lanjut Laura, pura-pura acuh. “Bukan katering rumah sakit. Mewah. Rapi. Dan… aku yakin itu dari Arru Vance.”
Arya mengangkat kepala, tatapannya menajam. “Kau yakin?”
Laura mengangguk pelan. “Kurir khusus. Tas hitam. Pita perak. Gaya orang kaya yang tidak mau setengah-setengah.” Ia mencondongkan badan sedikit. “Kau tidak heran? Seorang dokter biasa tiba-tiba diperlakukan seperti itu.”
Rahang Arya mengeras. Ada sesuatu yang naik ke dadanya panas, tak terkontrol.
“Dia hanya pamer,” katanya dingin, tapi nada suaranya bergetar. “Shima selalu suka cari perhatian.”
Laura hendak menimpali ketika langkah kaki terdengar dari belakang mereka.
Keduanya menoleh hampir bersamaan.
Shima lewat di sisi meja mereka, jas dokternya rapi, langkahnya tenang. Di tangannya tas makan siang hitam doff dengan pita perak yang masih terikat sempurna. Wajahnya tidak menoleh. Tidak mencari siapa pun. Seolah dunia di sekitarnya tidak cukup penting untuk mengganggu ritmenya.
Namun bagi Arya… pemandangan itu seperti tamparan.
Tangannya mengepal di atas meja.
Laura menahan napas, matanya tak lepas dari tas itu. “Itu dia,” bisiknya. “Lihat? Bahkan cara dia membawanya seperti… Pemilik.”
Shima berhenti sesaat, bukan karena mereka melainkan karena seorang perawat menyapanya. Ia mengangguk, tersenyum singkat, lalu melanjutkan langkahnya. Tas itu bergoyang ringan di sisi tangannya.
Sesuatu di dalam diri Arya runtuh.
“Dia sengaja,” gumamnya. “Dia sengaja lewat sini.”
Laura menatapnya cepat. “Arya...”
“Sejak kapan Arru Vance peduli urusan makan siang?” potong Arya, suaranya turun tapi tajam. “Sejak kapan Shima… jadi perempuan seperti itu?”
Laura menggigit bibirnya, pura-pura ragu. “Mungkin… dia memang sudah pindah sepenuhnya. Kau lihat sendiri. Mobil, pakaian, sekarang makan siang. Dia tidak butuh siapa pun lagi.”
Kalimat itu menusuk tepat sasaran.
Arya berdiri tiba-tiba, kursinya berderit keras. Beberapa orang menoleh.
“Dia pikir ini permainan,” katanya, matanya mengikuti punggung Shima yang menjauh. “Dia pikir aku tidak peduli.”
Laura ikut berdiri, buru-buru memegang lengannya. “Arya, jangan sekarang. Kita di rumah sakit.”
Arya menepis pelan. “Lepaskan.”
Laura terdiam. Ia melihat sesuatu yang tidak ia harapkan bukan kebencian pada Shima, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya: kehilangan kendali.
“Dia lupa,” lanjut Arya pelan, hampir seperti sumpah, “siapa yang dulu membuatnya seperti sekarang.”
Sementara itu, di ujung koridor, Shima berhenti sejenak. Ia tidak menoleh, tapi langkah Arya barusan suara kursi, nada marah tak luput dari pendengarannya. Ia menarik napas dalam-dalam. Tangannya mencengkeram tas makan itu sedikit lebih erat.
Bukan karena takut.
Melainkan karena… ia tahu, permainan ini baru saja berubah.
***
Siang itu ruang kerja Shima terasa tenang. Tirai setengah terbuka, cahaya matahari jatuh lembut di meja kerjanya. Kotak makan siang eksklusif berlogo restoran ternama terletak rapi di samping berkas pasien. Shima duduk tegak, menyuapkan makanannya perlahan gerakannya anggun, tak terburu-buru, seolah dunia di luar ruangan itu tak berhak mengusiknya.
Ketukan pintu terdengar. Tidak menunggu izin, pintu itu terbuka.
Arya masuk.
Langkahnya cepat, napasnya sedikit berat. Matanya langsung tertuju pada kotak makan siang di meja Shima.
“Kau masih sempat makan dengan tenang,” ucapnya, nada suaranya tertahan tapi bergetar. “Di saat hidupmu dulu… hancur.”
Shima mengangkat wajahnya perlahan. Tidak kaget. Tidak terganggu. Ia tetap mengunyah dengan tenang, menelan suapannya sebelum bicara.
“Ini jam istirahatku,” katanya datar. “Dan kau masuk tanpa izin.”
Arya tertawa kecil, pahit. “Luar biasa. Kau benar-benar berubah, Shima.” Ia melangkah mendekat, menatapnya tajam. “Aku cuma ingin tahu satu hal. Selama kita menikah… apa kau benar-benar mencintaiku?”
Shima meletakkan sendoknya perlahan. Bukan karena tersinggung melainkan karena pertanyaannya sudah selesai ia dengar.
“Kau bertanya itu sekarang?” tanyanya pelan.
Arya mengepalkan tangan. “Kau bisa sekolah. Kau bisa jadi dokter. Kau bisa berdiri sejajar denganku. Semua itu terjadi saat aku masih suamimu.” Nada suaranya meninggi. “Apa selama ini kau cuma berpura-pura? Menggunakan aku?”
Shima menatapnya lurus. Tatapannya jernih, tanpa emosi berlebih.
“Arya,” ucapnya lembut, nyaris seperti mengasihani, “aku sekolah dengan otakku. Aku lulus dengan nilainya. Aku bekerja dengan tanganku.”
Ia berdiri, merapikan jas putihnya. “Kalau kau merasa aku ‘naik’ karena menjadi istrimu… itu hanya karena kau tidak pernah benar-benar melihatku.”
Arya terdiam.
Shima mengambil kembali sendoknya, duduk, lalu melanjutkan makan seolah percakapan itu hanyalah angin lewat.
“Dan soal cinta,” lanjutnya tanpa menatap Arya. “Aku tidak berpura-pura.”
Arya menegang, berharap.
“Aku memang mencintaimu dulu,” kata Shima pelan. “Tapi cinta itu mati saat kau tidur dengan sahabatku… lalu pulang dan masih menuntut aku setia.”
Arya menelan ludah.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.