Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan Nata
Nata dan Bening tiba di rumah sebelum pukul dua belas malam. Tak bisa dimungkiri, Bening melihat Nata sejak tadi fokus pada layar ponsel dan memandangi fotonya bersama Bima. Melihat Nata tampak begitu riang, Bening ikut merasa senang. Semoga saja tidak ada masalah serius ke depannya.
“Loh, Papa belum berangkat? Udah jam segini, loh,” kata Nata begitu mereka masuk langsung disambut oleh Garda.
Sepasang mata tegas Garda membagi tatapan antara Bening dan Nata. “Sengaja nunggu kalian pulang. Kalau berangkat lebih awal, Papa takut kamu masih di sana, Nata. Kamu ini kan suka bikin ulah.”
“Ih! Enak aja. Nih, buktinya aku pulang. Bening yang ingetin, kok. Padahal aku masih pengen lihat Bima.” Nata mencebikkan bibir.
“Bima?” Alis kanan Garda terangkat sesaat. Ia juga menatap Bening sebentar. “Ah, pacar kamu?”
“Eh, em ….” Nata tampak salah tingkah. “Bukan pacar, Papa. Belum … belum jadi pacar. Udah, ah. Papa jangan rese nanya-nanya gitu. Aku sama Bening mau istirahat dulu. Papa hati-hati di jalan, ya.”
“Ingat, besok kamu harus ketemu oma. Jadi, bangun lebih cepat, Nata. Jangan bikin oma kamu menunggu.” Garda memperingatkan.
Nata langsung membuat gerakan seperti hormat bendera. “Siap, Papa!” Tanpa ragu ia mendekati Garda dan memeluknya sebentar.
Sementara di tempatnya, Bening hanya bisa mengamati mereka. Betapa melegakan jika memiliki orang tua seperti Garda. Pengertian, penuh kasih sayang, hangat, dan tentu saja protektif terhadap putrinya sendiri. Hal itulah yang kerap membuat Bening merasa iri dengan kehidupan Nata. Bukan kekayaan, tetapi keberadaan Garda.
Namun, sekarang bukankah Garda sudah menjadi miliknya? Bukan menjadi seorang ayah, tetapi yang lebih spesial dari itu.
Jika saja tidak ada Nata, mungkinkah Garda juga akan memeluknya? Alhasil karena ada Nata di sana, Bening dan Garda hanya bisa bertukar pandang dan berbagi senyum. Lantas Garda berpamitan, meninggalkan rumah dan kedua gadis itu.
Saat Masuk ke kamar Nata, Bening berdiri di balkon sembari menatap halaman depan. Untung Nata sedang ke kamar mandi. Dari tempatnya, Bening bisa melihat Garda hendak masuk ke Mercedes-Benz bersama sang sopir. Ia tidak sempat mendengar Garda berpamitan pada dirinya secara langsung.
“Hati-hati, Om,” gumam Bening.
Seakan-akan itu adalah bisikan ajaib, Bening melihat Garda berhenti sebelum membuka pintu mobil. Pria itu mendongak, tepat ke arah balkon kamar Nata. Spontan membuat Bening terkesiap. Kendati demikian, senyum Bening terlukis setelah itu karena Garda tersenyum lembut padanya.
Mobil yang ditumpangi Garda pun menjauh. Pada detik berikutnya, Bening merasakan ponsel di genggaman bergetar. Pesan masuk dari Garda.
Om Garda: saya akan kirim password unit apartemen. Datanglah ke sana. Saya ingin bertemu kamu besok. Jangan khawatirkan Nata, dia akan menemani oma-nya seharian. Saya akan kembali lebih pagi. Istirahatlah dan tidur yang nyenyak.
Senyum Bening merekah. Diperhatikan seperti itu membuat degup jantung dan perasaannya menghangat.
“Kenapa lo senyum-senyum sendiri begitu?” Tiba-tiba Nata datang dari arah kamar mandi.
Refleks Bening mengunci layar ponsel. Detak jantungnya menggila bukan karena pesa Garda lagi, tetapi baru saja Nata memergoki dirinya tersenyum sendiri. Gawat! Bening tahu Nata orang yang super kekeh.
“Lo ….” Nata menunjuk wajah Bening seiring tatapan curiganya. “Jangan bilang lo punya pacar?”
“A-apa? Nggak, Nat.”
“Jujur aja. Coba sini gue lihat.” Tangan Nata terjulur hendak meminta ponsel Bening.
Sial! Bening tidak sempat menghapus pesan Garda di ponselnya. Kini Nata bergerak maju karena Bening tidak memberikan ponsel. Rasanya Bening ingin berlari saja agar tidak ketahuan. Namun, ia tahu sikapnya layak dicurigai dan Nata bisa berasumsi sendiri.
Ponsel Bening menyala. Ia yakin itu pesan baru dan ia berharap bukan dari Garda. Sebelum Nata sempat meraih ponselnya, Bening membuka pesan itu. Sebuah pesan yang menyelamatkannya.
“Tuh kan, kayaknya lo beneran punya pacar,” ucap Nata berasumsi sendiri. “Masa lo nggak cerita ke gue, sih?”
“Bukan, Nat.” Bening berujar santai sembari menghapus pesan dari Garda. Ia membuka pesan lain yang beberapa detik lalu mampir ke ponselnya. “Pesan dari manajer minimarket.”
“Ha? Lo pacaran sama manajer minimarket?”
Pertanyaan Nata membuat Bening terkekeh. “Bukan, dong. Aku sempat masukin lamaran ke minimarket yang lagi butuh pekerjaan part time. Lumayan buat nambah uang jajan sambil nunggu wisuda. Mereka baru aja ngasih kabar kalau aku bisa datang besok pagi.”
“Ya ampun, Bening. Gue kira apaan sampe lo senyum-senyum begitu. Kenapa harus di minimarket, sih? Lo kan pernah magang di kantor papa gue. Cari kerjaan lain kan bisa.”
“Siapa yang mau terima mahasiswa tanggung begini? Nanti kalau udah wisuda aku bisa magang di tempat lain. Sekarang ini buat ngisi dompet aja. Kamu ingat? Aku udah nggak tinggal bareng ibu dan ayah lagi. Rencananya aku mau nyari kamar kos kecil deket-deket kampus.”
“Ngapain? Lo tinggal aja di sini bareng gue. Papa juga pasti nggak bakal keberatan. Justru dia senang karena gue ada temen, mengingat dia jarang di rumah.”
Spontan kedua mata Bening membelalak. Aduh! Yang benar saja. Sebenarnya ia bisa melihat Garda lebih sering jika tinggal di rumah itu, tetapi Bening cukup punya malu. Ia tak mau merepotkan orang lain, walaupun Nata adalah sahabatnya. Ia tak mau bergantung pada keluarga Nata karena ia masih mampu berdiri di kaki sendiri.
“Nggak usah, lah. Aku masih bisa cari uang,” kata Bening.
“Yah, ya udahlah. Lo kan emang super mandiri. Kalau ada apa-apa lo bilang, ya? Gue juga bisa bantuin lo.”
Bening mengangkat jempol sembari tersenyum lebar.