Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emang laku?
Namun, sesampainya disana Maya baru tahu kalau mereka membutuhkan orang-orang yang bersekolah. Minimal gelar D3. Apalah daya, Maya bahkan tidak lulus SMA. Ia keburu nikah sama Gilang dan putus sekolah. Mengutamakan cinta buta ketimbang dengan pendidikan.
Maya berjalan lunglai, tujuan keduanya yaitu rumah juragan. Bau kotoran kambing dan sapi menguar ketika ia mulai memasuki pekarangannya.
"Saya bukan tidak mau mempekerjakan kamu Maya. Tetapi kamu sendiri tahu kan? Pekerjaan disini berat, mengurusi kotoran hewan, bau, dan capek."
"Aku tidak keberatan Pak."
Laki-laki berumur 50an itu menggeleng. Jelas sekali ia keberatan untuk mempekerjakan Maya. Bukan karena ragu kalau Mirna bisa kerja. Tapi apa kata orang-orang nantinya jika seorang ibu muda, cantik, bekerja di peternakannnya? Apalagi ia kenal dengan Gilang, tidak masuk akal jika seorang istri PNS kerja memunguti kotoran hewan.
"Baiklah jika bapak nggak mau." Kata Maya akhirnya meninggalkan tempat itu.
Pak kades membiarkan Maya pergi. Tidak mungkin ia mempekerjakan ibu muda cantik seperti Maya. Itu akan menjadi gunjingan warga dan penduduk dunia.
Kalimat Gilang pun terngiang di kepala Maya.
'Bisa apa kamu tanpa aku?'
'Kamu pikir cari uang gampang?'
Kalimat-kalimat itu mulai menyurutkan semangatnya.
Tapi seandainya Gilang lebih peduli kepada mereka mungkin Maya tidak akan nekat mencari kerja.
Di desa ini tidak banyak yang bisa dilakukannya. Maya masih mencari kesana kemari. Bertanya kerja, menawarkan diri membantu-bantu di kebun, mencuci pakaian atau apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi hasilnya tetap nihil, tidak ada yang bisa ia kerjakan. Semua warga desa selain kepala desa dan juragan tergolong masih orang-orang menengah kebawah. Bahkan, Maya sempat mendengar bisik-bisik buruk yang mengatakan bahwa Maya itu pelit, terlalu serakah mengumpulkan duit sehingga memutuskan mencari kerja.
Tetapi apa yang mereka katakan ada benarnya. Keadaan Maya seharusnya lebih baik dari mereka karena Gilang punya pekerjaan bagus sebagai PNS.
"Daripada kamu nyari kerja, kenapa gak buka usaha aja? Atau berkebun kek." Ucap Laras, satu-satunya teman Maya di desa itu.
"Atau kamu jual diri aja, kamu kan masih cantik." Sambungnya lagi.
"Apaan sih! Najis!" Maya cemberut, ia tidak mungkin jual diri.
Mereka menyesap es teh yang dibeli oleh Laras di warung.
"Atau jual Ginjal? Atau jual Gilang aja sekalian, laki-laki itu emang nggak ada gunanya!" Laras terus memberikan ide-ide absuednya.
Maya mendengus, memukul pelan bahu temannya itu. Es teh yang dibungkus plastik miliknya sudah habis akibat dahaga.
Maya melamun sebentar membayangkan kalimat dari Laras barusan, lalu bergumam pelan, "Kalau Gilang dijual, emang laku?"
"Laku, dijual ama tante-tante girang." Jawab Laras sambil tertawa. Maya juga ikut tertawa. Bertemu Laras memang ampuh untuk menghibur diri sejenak.
Siang hari, Maya akhirnya pulang. Ia menjemput Sari di rumah mertua.
"Kak Maya, mas Gilang udah gajian kan?" Mirna yang sedang duduk santai bertanya ketika melihatnya tiba di halaman. Bertanya seolah pertanyaan itu hanya biasa saja.
Langkah Maya langsung terhenti.
"Emang kenapa?"
"Mas Gilang sudah janji transfer uang. Tapi kok belum dikirim-kirim?"
Hati Maya sesak. Ia ingin memukul wajah Mirna dengan sendal. Tapi Maya tetap berusaha tenang agar tidak terjadi adu mulut seperti sebelum-sebelumnya.
"Aku bahkan nggak tahu kapan bang Gilang gajian."