Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam penuh amarah
Makan Malam di Tengah Gemuruh Kebencian
Prabu tersenyum tipis melihat tekad di mata Lasmini, meskipun ia khawatir dengan intensitas emosi wanita itu. Ia memutuskan untuk mencoba metode yang lebih konvensional untuk mengalihkan pikiran Lasmini.
“Baiklah, Suci. Sebelum kita membahas kegelapan, bagaimana kalau kita isi energi dulu?” Prabu menyalakan mesin mobilnya.
“Ada restoran Italia yang sangat bagus, pemandangannya langsung ke Bundaran HI. Makanannya bisa membuat mood siapa pun jadi lebih baik. Setuju?”
Lasmini mengangguk, namun tatapannya masih menyimpan api. “Terserah, Mas Prabu.”
Tak lama kemudian, mereka tiba di La Fortunata, sebuah restoran mewah yang didominasi warna krem dan emas, dengan jendela kaca besar yang memamerkan kehidupan malam Jakarta yang berdenyut.
Prabu memilih meja yang agak privat, dekat pilar besar, namun masih bisa menikmati pemandangan kota.
Setelah memesan hidangan andalan yakni Osso Buco untuk Prabu dan Risotto Nero untuk Lasmini, kemudian Lasmini permisi untuk ke toilet wanita.
Toilet wanita di La Fortunata didesain elegan dengan marmer putih dan cermin berbingkai perak. Saat Lasmini baru saja akan membasuh tangan di wastafel, ia mendengar suara terkejut dan gemeretak sepatu hak tinggi dari salah satu bilik.
Ia bergegas menghampiri. Pintu bilik terbuka sedikit, dan Lasmini melihat seorang wanita cantik berambut panjang, dengan kulit putih bersih, sedang berpegangan pada dinding. Wanita itu mengenakan gaun malam yang indah, dan perutnya yang membesar terlihat jelas kehamilan yang diperkirakan sudah beranjak tujuh bulan. Lantai di dekat kakinya sedikit basah.
Lasmini sigap memegangi lengan wanita itu agar tidak kehilangan keseimbangan.
“Anda tidak apa-apa, Mba?” tanya Lasmini, suaranya terdengar lembut namun tegas, penuh perhatian yang tulus.
Wanita itu mengatur napas, sepasang mata cokelatnya menatap Lasmini dengan rasa terima kasih.
“Saya tidak apa-apa, Mba. Terima kasih karena barusan sudah menolong saya. Kalau Mba tidak menolong, mungkin saya sudah jatuh terpeleset!” ucap wanita itu. Ia terlihat seperti wanita dari kalangan elit yang sangat terawat, dengan aura tenang dan elegan.
“Hati-hati, Mba. Lantainya sedikit basah di sini,” ujar Lasmini, memastikan wanita itu sudah berdiri tegak dan tidak pusing.
“Ya, saya akan lebih berhati-hati,” balasnya sambil tersenyum. “Perkenalkan, saya Kinanti.”
“Suci,” jawab Lasmini singkat, tidak ingin berlama-lama menyebut nama palsunya.
Kinanti mengangguk sekali lagi, menyentuh perutnya yang buncit dengan tatapan penuh kasih. “Terima kasih sekali lagi, Suci. Saya permisi dulu.”
Setelah berpisah, dan Kinanti bergegas kembali ke mejanya, Lasmini merapikan diri di depan cermin, sejenak melupakan Kinanti dan kembali memfokuskan pikirannya pada Hartawan. Ia harus tetap tenang. Ia harus mendapatkan jawaban.
Lasmini alias Suci bergegas kembali ke meja di mana Prabu sudah menunggunya dengan hidangan lezat yang sudah tertata rapi di atas meja.
“Lama sekali, Suci. Aku hampir menghabiskan semua Osso Buco-ku sendiri,” canda Prabu.
“Maaf, ada sedikit insiden di toilet,” jawab Lasmini, duduk kembali.
Mereka mulai menikmati hidangan, mendiskusikan rasa masakan dan sedikit tentang Mesir. Lasmini berusaha keras untuk tersenyum, berinteraksi layaknya pasangan biasa. Namun, naluri Lasmini, yang kini terasah oleh kekuatan gaib dan kebencian yang menumpuk, mulai bekerja.
Saat ia sedang mengangkat garpu, matanya mengedarkan pandangannya sekilas ke arah sudut restoran yang agak terhalang oleh pilar tembok besar di dekat meja mereka.
Dan di sanalah, di balik bayangan pilar yang besar, Lasmini melihatnya.
Sosok yang selama ini ia cari. Pria yang telah meninggalkan dirinya begitu saja tanpa tanggung jawab dan yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang ia kenal sebagai Hartawan.
Tenggorokan Lasmini terasa tercekat. Garpu di tangannya bergetar.
Ia menoleh lagi, sedikit memiringkan kepala agar pandangannya tidak terhalang. Matanya memicing, memastikan bahwa itu bukan sekadar ilusi. Rambut hitam tebal, postur tubuh tegap, dan cara duduknya yang angkuh itu adalah Hartawan.
Namun, keterkejutan Lasmini belum mencapai puncaknya.
Di seberang meja Hartawan duduklah seorang wanita cantik berambut panjang, dengan kulit putih yang bersinar di bawah cahaya remang-remang restoran. Wanita itu tersenyum lembut sambil menyendokkan sedikit makanan dan menyuapkannya ke mulut Hartawan.
Wanita itu adalah Kinanti.
Kinanti, wanita hamil yang baru saja ia tolong di toilet. Wanita hamil yang sekarang sedang disuapi makanan oleh Bara, dengan gestur keintiman yang tak terbantahkan.
Dunia Lasmini seolah runtuh, berganti dengan kilatan amarah yang memanaskan darahnya hingga mendidih. Wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi pucat pasi, kemudian memerah menahan ledakan emosi.
Di dalam dirinya, Lasmini tidak lagi merasakan kegelapan Hartawan atau ketakutan Bara. Yang ia rasakan hanyalah pengkhianatan yang nyata, sakit hati yang meledak, dan amarah yang meluap-luap.
Lasmini mengepalkan tangannya di bawah meja hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapan matanya kini berubah tajam, penuh dengan dendam yang murni dan mematikan, langsung tertuju pada Hartawan dan Kinanti yang sedang tertawa kecil.
“Aku sudah menemukannya,” bisik Lasmini, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Prabu, yang sedang sibuk menyendok nasi, menoleh mendengar bisikan itu. Ia melihat raut wajah Lasmini.
“Menemukan apa, Suci? Kau kenapa? Wajahmu... kau terlihat marah sekali,” tanya Prabu, meletakkan garpunya.
Lasmini tidak menjawab. Ia hanya menatap. Matanya, di balik selaput emosi, mulai memancarkan kilau kehijauan tipis, pertanda bahwa kekuatan gaibnya, yang ia pendam, kini siap untuk dilepaskan. Ia sudah melupakan Osso Buco dan Prabu sangat terkejut dan segera merasakan ada bahaya besar yang akan datang.
Pandangan Lasmini terpaku pada Hartawan dan Kinanti. Pria yang ia cintai, yang seharusnya menjadi ayah dari janinnya, kini menyuapi wanita lain, wanita yang baru saja ia tolong di toilet. Jantung Lasmini berdenyut nyeri, sebuah pengkhianatan yang jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit dari kematiannya sendiri.
"Aku... aku telah dibohongi," bisik Lasmini, suaranya tercekat. Ia melihat cara Hartawan menatap Kinanti: tatapan lembut, penuh kekaguman, sebuah tatapan yang tidak pernah ia dapatkan saat mereka bersama.
Selama ini, Lasmini berpikir ia adalah satu-satunya. Ia adalah wanita yang sah. Kini, di tengah gemuruh kebencian, ia merasa seperti wanita paling bodoh di dunia, seorang korban yang dipermainkan dan dibuang.
Tiba-tiba, pintu restoran terbuka sedikit lebih keras, diiringi oleh langkah-langkah tegap yang menarik perhatian.
Enam sosok memasuki ruangan.
Lasmini tidak perlu menoleh untuk tahu siapa mereka. Aroma ketakutan dan dosa yang memuakkan langsung menusuk penciuman gaibnya. Salah satu dari enam sosok itu memiliki aura gelap yang familiar, dingin, dan kejam: Bara. Dan di belakangnya, kelima anak buahnya. Mereka masuk, tersenyum sinis, seolah sedang berburu di kandang ternak.
Darah Lasmini serasa mendidih hingga menguap. Pengkhianatan Hartawan, yang baru saja membakar hatinya, kini disiram bensin oleh kehadiran Bara, si Iblis yang merenggut segalanya.
Rasa sakit dari malam mengerikan itu menghantamnya, rasa perih saat raga dan janinnya dirobek paksa oleh nafsu buas, diikuti oleh sensasi dingin tanah yang lembap, menindih dada dan paru-parunya saat ia dikubur hidup-hidup. Lasmini tidak hanya ingat, ia merasakannya kembali. Ia merasakan perih di seluruh tubuhnya, seolah ia baru saja bangkit dari kuburan yang dingin dan gelap.
Dalam sepersekian detik, kilau kehijauan di matanya membesar, menjanjikan malapetaka. Ia ingin sekali melenyapkan semua yang ada di sana. Hartawan karena pengkhianatan, dan Bara beserta anak buahnya karena dosa-dosa mereka. Ia ingin membuat mereka merasakan setiap detik kengerian yang ia rasakan.
Namun, saat matanya beralih sekilas ke Prabu, yang kini memandangnya dengan campuran ketakutan dan kebingungan, Lasmini tersentak.
Tidak.
Ia tidak bisa. Prabu tidak boleh tahu. Prabu mengenalnya sebagai Suci, wanita desa yang naif dan tak berdaya yang menjadi korban kejahatan. Jika ia melepaskan amarahnya sekarang, menunjukkan kekuatan gaibnya dan dendam mematikan yang ia bawa, kedoknya akan terbongkar. Prabu akan tahu bahwa ia adalah Lasmini, arwah pendendam yang sudah mati mengenaskan.
Ia harus tetap menjadi 'Suci' di hadapan Prabu, demi keselamatan dan rahasianya.
Lasmini menarik napas panjang, menahan kekuatan yang meronta di dalam dadanya. Ia mengepalkan tangan yang gemetar di bawah meja hingga buku-buku jarinya kembali memutih.
"Aku sudah menemukannya," ulang Lasmini, kali ini dengan suara yang lebih terkontrol, meskipun nadanya dingin dan mematikan.
"Hartawan. Dia di sana, Mas Prabu. Bersama wanita itu... istrinya."
Prabu mengikuti arah pandang Lasmini. Ia melihat Hartawan, Kinanti, dan kemudian pandangannya terpaku pada Bara yang baru saja duduk di meja di dekat mereka, tersenyum dengan tatapan meremehkan.
"Suci, tenangkan dirimu. Kita tidak bisa..." Prabu berbisik, mencoba meraih tangan Lasmini di bawah meja.
Lasmini menepis tangannya, tatapan hijaunya meredup, kembali menjadi hitam, namun masih menyimpan bara yang siap meledak. Ia telah membuat keputusan. Malam ini adalah malam pembalasan.
"Bara. Dia juga ada di sana," lanjut Lasmini, mencondongkan tubuh ke depan, suaranya nyaris seperti desisan. "Mereka semua ada di sini. Enam orang itu. Pria-pria yang harus membayarnya."
Prabu menatapnya, lalu menatap kerumunan pria itu, dan akhirnya menatap Hartawan. Ia merasakan getaran aura yang sangat kuat dari Lasmini, getaran yang menolak untuk diredam.
"Apa rencanamu, Suci?" tanya Prabu, suaranya rendah dan tegang. Ia tahu, Lasmini yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Suci yang polos. Ini adalah Lasmini, si Pemburu.
Lasmini tersenyum dingin, senyuman yang tidak menjangkau matanya.
"Kita akan makan malam dulu, Mas Prabu," katanya, mengambil garpu dan memotong Osso Buco dengan gerakan mekanis. "Setelah mereka semua merasa aman, dan setelah Bara melihat bahwa Hartawan sudah bersama 'istrinya'... barulah kita mulai pertunjukan utamanya."
Ia menoleh ke Prabu, matanya kini telah sepenuhnya gelap, dan ancaman di dalamnya terasa begitu nyata.
'Malam ini, akan aku tunjukan siapa aku, dan seberapa hebatnya aku saat ini.' ucapnya dalam hati.
Bersambung...
aku GK berani bc tp. cuma intip sinopsis.. keliatan serem banget