Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
“Apa? Besok pindah?”
Suara Aira langsung naik satu oktaf. Ia berdiri di depan lemari yang kini sudah setengah kosong, sementara kedua orang tuanya sibuk memilah barang di ruang tengah.
Mamanya melipat taplak meja sambil berkata tenang, “Iya, Ra. Papa kamu bilang rumah di kampung udah selesai direnovasi. Lagian kamu juga udah diwisuda, kan? Nggak ada alasan untuk tetap di sini.”
Aira memutar bola mata. “Baru juga seminggu lalu aku diwisuda, Ma. Aku masih mau mencari kerja di kota. Udah melamar di beberapa tempat juga.”
Papanya muncul dari dapur sambil menenteng kardus buku. “Kerja bisa dicari di mana aja, Nak. Di kampung juga banyak peluang kalau mau usaha. Di kota, kamu sendirian. Papa nggak tenang.”
Aira menghela napas keras. “Papa, aku tuh udah umur dua puluh dua tahun, bukan anak SMA. Bisa kok jaga diri.”
Papanya menatap Aira sambil tersenyum kecil.
“Justru karena kamu udah umur dua puluh dua, Papa semakin khawatir. Anak gadis sendirian di kota itu banyak godaannya. Lagi pula, kamu itu... terlalu berani.”
Aira menatap tak percaya. “Berani kok salah sih, Pa? Aku cuma nggak bisa diam kalau melihat yang tidak benar.”
Mamanya menimpali dengan lembut, “Itu bagus, tapi kalau di kampung kamu harus bisa menyesuaikan. Tidak semua orang suka gaya bicaramu yang... meledak-ledak itu.”
Aira memelototkan mata kecil. “Lho, orang jujur malah disuruh pelan-pelan? Mama, itu kampung atau dunia diplomasi?”
Papanya terkekeh kecil. “Kamu nanti juga terbiasa. Udara di sana sejuk, orang-orangnya ramah, dan... siapa tahu kamu betah.”
“Betah? Di tempat yang sinyalnya aja mungkin dua batang?” gumam Aira sambil melipat baju dengan kesal. “Udah gitu, pasti tiap sore disuruh nyapu halaman, disuruh ikut pengajian, disuruh pake baju panjang. Mama tahu kan aku gerah kalau kepanasan!”
Ibunya tertawa pelan. “Ya bagus, biar kamu belajar hidup sederhana. Lagian, kamu nanti juga banyak teman baru.”
Aira langsung mengerucutkan bibir.
“Teman? Atau malah dijodohin sama anak Pak RT?”
Papanya menatap dengan ekspresi setengah serius.
“Kalau yang datang Ustadz muda tampan, Papa nggak nolak, sih.”
“Papa!” jerit Aira refleks, membuat ibunya tertawa makin keras.
Suasana rumah itu jadi riuh antara suara koper yang ditutup setengah paksa dan ocehan Aira yang tak ada habisnya. Tapi meski ia terus protes, Aira tahu—keputusan itu tidak bisa diganggu gugat.
Dalam hati, ia masih yakin:
“Kampung itu pasti membosankan. Tidak akan ada apa-apa di sana.”
***
Malamnya, setelah seharian penuh rumah dipenuhi kardus dan koper, Aira mengetuk pintu kamar orang tuanya.
“Ma, Pa, aku keluar bentar, ya. Mau pamitan sama temen-temen.”
Mamanya yang sedang menata berkas penting langsung menatap jam dinding. “Sekarang? Udah jam setengah delapan, Ra.”
“Cuma sebentar, Ma. Besok udah pindah, masa nggak pamitan? Nanti dibilang sombong.”
Papanya yang duduk di tepi ranjang menatap curiga.
“Bentar itu bentar yang beneran bentar, atau bentar versi kamu yang bisa tiga jam?”
Aira menyengir. “Versi tengah-tengah, deh.”
“Rara…”
“Iya, iya! Paling jam sepuluh juga udah pulang.”
Papanya mendengus. “Oke. Tapi HP jangan dimatiin.”
Aira mengacungkan ponselnya. “Siap, Komandan.”
Lalu ia bergegas keluar, masih dengan gaya khas anak kota—jaket denim, sepatu kets putih, dan rambut dikuncir tinggi.
***
Awalnya, jam sembilan lewat lima belas masih ada pesan masuk dari Aira:
[Mah, aku bentar lagi balik.]
Tapi setelah itu... sunyi.
Jam sepuluh lewat. Tidak ada kabar.
Jam sebelas lewat tiga puluh... nomornya sudah tidak bisa dihubungi.
Mamanya mondar-mandir di ruang tamu sambil menggenggam ponsel. “Pa, ini Aira ke mana sih? Biasanya dia nggak sampai jam segini.”
Papanya yang sedang mengenakan jaket segera berdiri. “Kamu tunggu di rumah. Papa cari ke tempat biasa dia nongkrong.”
Setengah jam kemudian, Papa Aira kembali dengan wajah yang semakin tegang.
“Cafe depan kampus sudah tutup, tempat nongkrong di alun-alun juga kosong. Anak-anak yang biasanya sama dia juga nggak bisa dihubungi.”
“Mungkin HP-nya mati, Pa?” suara mamanya mulai bergetar.
“Kalau mati dari tadi, masih bisa ngasih kabar dulu sebelum habis baterai,” jawab papanya lirih, menatap ponsel yang terus berdering tanpa jawaban.
***
Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menambah suasana rumah yang hening dan tegang.
Mamanya Aira duduk di sofa, menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala nama “Aira” di sana.
“Ya Allah, jangan sampai kenapa-kenapa anakku…”
Sementara papanya, meski berusaha tegar, genggaman tangannya di setir mobil yang masih menyala menunjukkan kecemasan yang sama.
Dan di tengah malam yang sunyi itu, tanpa mereka tahu—Aira masih di luar sana. Tidak diketahui keberadaannya.
***
Pukul tiga lewat lima belas dini hari.
Suara motor berhenti di depan pagar rumah. Aira turun perlahan, menunduk, berusaha tidak menimbulkan suara. Tapi baru saja ia membuka gerbang...
“Krekk!”
Lampu teras menyala, dan sosok papanya berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang.
“Masuk.”
Suara itu dalam dan berat.
Aira menelan ludah, menurunkan tas kecilnya, lalu melangkah masuk.
mamanya yang duduk di sofa, masih memakai mukena. Wajahnya letih, tapi jelas lega sekaligus kecewa.
“Maaf, Ma…”
“Duduk,” kata papanya, tanpa menatap.
Aira menurut, duduk di ujung sofa dengan tangan di pangkuan.
“Ini nih, Ra,” suara papanya akhirnya pecah, “Makanya Papa nggak akan membiarkan kamu tinggal di kota sendirian. Baru seminggu lulus kuliah, udah berani pulang jam segini!”
“Papa, aku...”
“Udah. Papa tidak mau dengar alasan. Kalau kamu bisa seenaknya gini, berarti keputusan pindah ke kampung sudah paling benar.”
Aira menunduk dalam. Suasana rumah hening.
Ibunya hanya menarik napas pelan, menahan diri untuk tidak menambah amarah suaminya.
---
Beberapa jam sebelumnya...
Jam delapan malam, Aira duduk di kursi kafe favoritnya bareng teman-temannya. Di antara mereka ada satu laki-laki bernama Rino, teman kuliahnya yang diam-diam menyukainya sejak semester lima.
“Rara, mumpung besok lo udah nggak di kota, nginep aja di apartemenku. Santai, rame-rame kok. Ada cewek-cewek juga,” kata Rino sambil tersenyum.
Aira tertawa kecil. “Nginep? No, thank you. Papa bisa ngamuk kalau tahu gur nginep di tempat cowok.”
Rino menatapnya datar. “Ya udah, main aja bentar ke sana, kan apartemenku deket. Ada anak-anak juga. Sekalian perpisahan kecil lah.”
Setelah diskusi singkat, Aira akhirnya setuju—tapi dengan satu syarat: ia pergi bersama sahabat perempuannya, Nisa.
Dan memang, suasananya benar-benar santai.
Ada tiga teman perempuan lain, dua teman laki-laki selain Rino. Mereka menyalakan musik pelan, main kartu, ngobrol, tertawa, dan bahkan sempat karaoke bareng.
Tidak ada yang aneh, tidak ada yang melanggar batas. Hanya malam biasa yang terasa panjang, karena setiap tawa diiringi rasa enggan untuk berpisah.
Namun waktu berlalu cepat. Jam menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima ketika mereka sadar malam sudah hampir berganti pagi.
“Udah jam segini?! Ya ampun, Papa gue bisa ngamuk nih!” Aira panik, langsung meraih tas dan jaketnya.
“Gue anter, Ra,” kata Rino cepat.
Aira sempat menolak, tapi akhirnya membiarkan Rino mengantarnya pulang naik motor.
Sepanjang jalan, ia hanya menatap kosong lampu-lampu kota yang mulai padam satu per satu. Ada sesak kecil di dada—antara sedih meninggalkan tempat yang sudah ia kenal, dan takut menghadapi amarah orang tuanya.
---
Kini, di ruang tamu yang dingin itu, Aira hanya bisa menunduk.
Papanya menghela napas panjang, lalu berkata lebih lembut, “Papa cuma nggak mau hal buruk terjadi, Ra. Dunia luar tidak seindah yang kamu kira. Papa tahu kamu nggak ngapa-ngapain, tapi tetap aja... perempuan pulang jam tiga pagi itu nggak bisa dibenarkan.”
Air mata Aira menetes pelan.
“Maaf, Pa. Aku cuma nggak sadar kalau udah larut.”
Bersambung