Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 4
Hujan sore itu turun deras, membasahi kaca besar ruang kerja Soni.
Di dalam ruangan megah itu, Soni duduk di kursi kulit hitam, membaca berkas sembari sesekali menyesap anggur merah.
Hingga ponselnya bergetar.
Ia mengangkatnya tanpa banyak minat.
“Ya?”
Suara di seberang—salah satu informannya—berbicara cepat, jelas, dan penuh ketakutan.
Soni terdiam.
Tatapannya berubah.
“Tadi James… apa?”
Sepuluh menit kemudian—
Pintu ruang kerja terbanting keras.
BRAKK.
Para pelayan yang berdiri di lorong melompat ketakutan.
Soni masuk dengan wajah merah padam, napasnya berat, matanya membara seperti binatang yang baru saja tersambar amarah.
“James… menikah?” gumamnya pelan, hampir seperti menggeram.
“Anak itu berani sekali…”
Tangannya meremas ponselnya sampai hampir pecah.
Jika James menikah, maka semua harta ibunya kembali pada James, dan otomatis James bisa memindahkan Hana keluar dari mansion kapan saja.
Itu membuat Soni kehilangan dua hal:
➤ Kekuasaan
➤ Hana
Dan Soni tidak pernah mengizinkan siapapun mengambil sesuatu darinya.
Tidak pernah.
“Hanasta!”
Panggilan itu menggema di seluruh mansion.
Hana yang sedang membersihkan ruang makan tersentak, hampir menjatuhkan gelas.
Tubuhnya langsung kaku.
Panggilan semacam itu… artinya Soni sedang sangat marah.
Sangat.
Pelayan lain langsung berpura-pura sibuk, tak berani mendekat.
Hana menelan ludah. “S—saya kemari…”
Ia berjalan ke arah ruang kerja dengan langkah kecil, jantung berdegup seperti hendak meledak.
Begitu pintu terbuka—
Soni sudah berdiri, punggung besar tegap, dan tangan mengepal.
Hana menunduk cepat. “Tuan… saya—”
“James akan menikah.”
Hana membeku.
Dan sebelum ia sempat bicara, Soni melempar berkas pernikahan James ke meja—suara kertas menghantam kayu membuat Hana tersentak.
“Bagus sekali,” Soni mendesis. “Karena itu berarti dia berencana membawa kau pergi dari sini.”
Hana menggeleng cepat. “Tidak—saya tidak—”
“Diam.”
Nadanya bukan teriakan.
Tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Soni melangkah mendekat. Perlahan.
Langkah yang menjadi mimpi buruk Hana selama dua tahun.
“Jadi begini… dia menikah demi kau?” mata Soni menyipit. “Karena ingin ‘menyelamatkan’ kau?”
Hana gemetar.
“Tidak, Tuan… James tidak bicara apa pun pada saya…”
“Kau bohong.”
Hana mundur satu langkah tanpa sadar.
Soni menyambar pergelangan tangannya cepat—erat—hingga Hana meringis, menahan napas.
“Karena tidak mungkin James bertindak sejauh ini… kalau bukan gara-gara kau.”
Hana menggeleng, air mata mengalir.
“Saya tidak tahu rencananya… saya tidak minta apa-apa…”
Soni menariknya lebih dekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Hana.
“Kau pikir kau bisa membuat anakku membangkang aku?”
Hana menangis pelan. “Tidak, Tuan… saya hanya—”
“Diam.”
Soni menatapnya seperti melihat musuh, bukan istri.
“Semua ini salahmu.”
Hana terpaku.
Wajahnya memucat.
Soni melanjutkan dengan suara rendah yang membuat udara terasa membeku:
“James tidak akan berani menentang aku… kalau bukan karena keberadaanmu.”
Hana menunduk dalam-dalam, air mata menetes ke lantai marmer.
“Saya minta maaf…” bisiknya kecil, hampir tak terdengar.
Soni mendekat, suaranya seperti racun yang menetes:
“Kau akan membayar… sampai James membatalkan pernikahannya.”
Tangan Soni menarik Hana lebih keras.
“Mulai malam ini… kau akan belajar apa artinya membuat aku kehilangan kesabaran.”
Hana menggigit bibir, menahan gemetar seluruh tubuh.
“Dan kau,” Soni menambahkan sambil menatapnya penuh ancaman,
“jangan pernah berharap James akan menyelamatkanmu.”
Saat Soni melepaskannya dengan kasar, Hana hampir tersungkur.
Soni menarik napas panjang, lalu berkata:
“Kemari. Sekarang.”
Nada itu…
bukan permintaan.
Bukan perintah.
Tapi hukuman.
Dan Hana tahu…
Malam itu, amarah Soni akan menimpa dirinya sepenuhnya.
Sementara itu, jauh dari mansion…
James sedang merencanakan pernikahannya dengan Nadira.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Hana.
Tapi sesuatu di dadanya terasa sangat tidak tenang.
Seolah hatinya merasakan—
Hana sedang dalam bahaya.
James mengepalkan tangan.
“Aku harus pulang,” bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya…
James merasa terlambat.
Malam itu mansion terasa lebih sunyi dari biasanya.
Setelah kejadian di ruang tamu, James mengantar Hana ke kamar tamu di lantai dua dan memintanya untuk beristirahat.
“Tetap di sini. Aku akan kembali,”
kata James sebelum pergi mencari dokter untuk memeriksa pipi Hana.
Begitu pintu menutup…
Hana duduk di tepi ranjang.
Dadanya sesak.
Kata-kata Soni bergema di kepalanya:
“Semua ini salahmu.”
“James akan membayar.”
“Mulai malam ini, kau akan belajar.”
Hana menggenggam ujung gaunnya erat.
Ia tidak ingin menjadi penyebab perang antara ayah dan anak.
Ia tidak ingin James terluka demi dirinya.
Dan satu-satunya jalan…
adalah pergi.
Kabur.
Hana turun diam-diam
Ia mengambil cardigan tipis, menyelipkan beberapa lembar uang yang ia simpan diam-diam, lalu membuka pintu dengan hati-hati.
Koridor gelap.
Pelayan sudah tidur.
Hana berjalan pelan menuju tangga belakang—jalur yang jarang dilalui, tempat para pelayan biasa lewat. Ia hafal jalurnya karena sering membersihkan area itu.
Setiap detak jantungnya seperti bom.
Tap… tap… tap…
Ia menahan napas saat melewati kamar-kamar kosong.
Begitu mencapai pintu belakang, Hana meraih handle pintu dengan tangan gemetar.
“Sedikit lagi…” bisiknya.
Ia membuka pintu.
Udara malam menerpa wajahnya.
Dingin. Bebas.
Jalan setapak menuju gerbang samping hanya berjarak 30 meter.
Hana melangkah keluar—
Dan sebuah suara muncul di belakangnya.
Suara yang membuat tubuhnya membeku sepenuhnya.
“Kau mau ke mana… Hanasta?”
Darah Hana seperti berhenti mengalir.
Ia menoleh… perlahan.
Soni berdiri di bayangan lorong, dengan satu tangan memegang gagang pintu, wajahnya gelap, senyumnya mengiris.
Ia tidak berteriak.
Tidak marah besar.
Justru sebaliknya—
Ia tersenyum kecil.
Dan itulah yang paling menakutkan.
“Sudah larut malam,” ucap Soni sambil mendekat.
“Kau berjalan sendirian di luar? Tanpa izin?”
Hana mundur satu langkah.
“K-kurang udara, Tuan. Saya hanya ingin—”
“Bohong.”
Satu kata.
Tajam seperti pisau.
Hana menunduk cepat, tubuhnya bergetar.
Soni mendekat pelan, langkahnya sangat teratur.
Sampai ia berdiri tepat di hadapan Hana, menatap wajahnya dari atas.
“Kau mau kabur dari aku?”
Suara itu pelan tapi penuh ancaman dingin yang menekan dada Hana hingga sulit bernapas.
“T-tidak, Tuan, saya hanya—”
“Kau pikir aku tidak melihatmu? Kau pikir kau bisa berjalan ke luar mansion tanpa terpantau?”
Ia mengangkat dagu Hana dengan dua jari, memaksanya menatap.
“Kau lupa… seluruh properti ini penuh kamera.”
Hana membeku.
Soni menatapnya lama.
Sangat lama.
“James pulang tadi dengan wajah panik,” kata Soni lirih. “Semakin dia peduli padamu, semakin aku ingin menunjukkan bahwa dia tidak berkuasa di sini.”
Hana menggeleng cepat, air mata jatuh.
“Jangan… jangan libatkan James…”
“Hm.” Soni tersenyum miring.
“Sayangnya, kau sudah melibatkan dia.”
Tangan Soni memegang lengan Hana—tidak kasar, tapi terlalu erat, terlalu mengontrol.
“Ayo,” katanya.
“Kita kembali ke dalam. Aku belum selesai denganmu.”
Hana terkejut, panik.
“Tidak… tolong… saya mohon…”
Soni menunduk sedikit, suaranya berubah sangat dingin:
“Aku tidak suka istri yang mencoba lari.”
Hana ingin menjerit.
Ingin memanggil James.
Ingin lari sekuat tenaga.
Tapi kakinya lemas.
Soni menariknya masuk ke mansion.
Pintu belakang tertutup dengan suara pelan namun mengerikan.
Klik.
Dan suara itu…
lebih menakutkan daripada teriakan apa pun.
By: Eva Nelita
12-11-2025