“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Suasana mendadak sunyi. Semua mata beralih pada Fio.
Bu Rania menatap suaminya, lalu suaminya menatap penghulu. Keduanya tampak saling menunggu jawaban, tapi tak satu pun yang tahu harus berkata apa.
Fio menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil walau suaranya bergetar.
“Wali hakim saja, Pak.”
Suara Fio terdengar pelan tapi jelas.
Semua orang yang hadir sontak saling pandang, sementara Bu Rania menatap Fio dengan tatapan iba.
“Orang tua kamu, Nak?” tanya penghulu dengan lembut, memastikan.
Fio menelan ludah. Ia menunduk sejenak sebelum berkata lirih, “Ayah saya... tidak bisa datang.”
Hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara kesunyian itu.
Darrel yang sejak tadi diam, melirik sekilas ke arah Fio. Ia tak tahu kenapa dadanya terasa sesak mendengar kalimat sederhana itu. Gadis di depannya tampak rapuh, tapi juga kuat dalam waktu yang bersamaan.
Penghulu mengangguk pelan. “Baik, kalau begitu wali hakim yang akan mewakili.”
Bu Rania mengusap air matanya dengan tisu.
“Anak ini sungguh tabah,” bisiknya pada suaminya.
Tak lama kemudian, prosesi akad pun dimulai.
Darrel duduk bersila di depan penghulu, dengan saksi di sisi kanan dan kiri. Suara penghulu mulai terdengar mantap, membimbing Darrel untuk mengucap ijab kabul.
Dengan satu tarikan napas, suara bariton Darrel menggema:
“Saya terima nikah dan kawinnya Fiona Aldya Vasha binti Ruslan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Fio menunduk, air matanya jatuh pelan, tapi senyum kecil mengembang di bibirnya.
"Bagaimana para saksi, sah...?"
"Sah!”
"Sah!" ucap para saksi hampir bersamaan.
Bu Rania langsung menutup wajahnya dengan tangan, terisak haru.
“Alhamdulillah, ya Allah…”
Setelah pemberkasan selesai, Darrel dan Fio memasangkan cincin di jari manis pasangannya, tapi tidak ada drama apa pun di sana. Semuanya berjalan lancar.
Darrel menatap cincin di tangan Fio, cincin yang sudah disiapkan oleh Bu Rania. Ia menatapnya biasa aja, tapi entah mengapa, ada rasa aneh di dadanya. Seperti sesuatu yang menghangat, perlahan tapi pasti, menembus dingin yang sudah lama mengurung hatinya.
Fio menatap cincin itu juga, lalu mengangkat kepalanya sedikit. Pandangan mereka beradu sesaat.
Hening. Tapi cukup untuk membuat waktu seakan berhenti.
Di dalam hati kecilnya, Fio berdoa lirih:
“Ya Allah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini… tapi tolong jaga hatiku.”
Fio menunduk semakin dalam, napasnya tertahan di dada. Kata itu 'sah' seharusnya menjadi kabar bahagia bagi seorang pengantin, tapi di dadanya, yang terasa justru seperti pintu baru yang berat dan asing terbuka begitu saja.
Darrel kembali duduk di sampingnya, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Ia hanya mengangguk singkat ketika penghulu menyerahkan buku nikah, lalu langsung menandatanganinya tanpa berkata sepatah kata pun. Tatapannya sesekali berpindah ke arah meja, bukan ke arah istrinya.
“Alhamdulillah... sudah sah, Nak,” ucap Bu Rania dengan senyum lega yang sedikit bergetar.
Tante dari pihak ibu Darrel juga menimpali, “Selamat ya, Nak Fio.”
Fio mengangguk pelan. “Terima kasih, Tante.” Suaranya lembut, tapi hatinya terasa hampa.
Setelah penghulu dan para saksi berpamitan, ruang itu terasa sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Bu Rania menatap mereka bergantian. “Kalian istirahat saja, ya. Untuk malam ini tidak perlu acara apa-apa dulu. Yang penting sudah sah.”
Fio menunduk sopan. “Baik, Bu.”
Darrel masih diam. Dari awal sampai akhir, ia tak mengucapkan satu kalimat pun. Wajahnya tetap dingin seperti es, pandangannya lurus ke depan.
Fio sempat menoleh sekilas, berharap ada satu kalimat apapun itu keluar dari bibir lelaki itu. Tapi tidak ada.
Ia akhirnya berdiri pelan, menunduk hormat kepada Bu Rania. “Saya pamit ke kamar, Bu.”
“Iya, Nak. Nanti pindah ke kamar Darrel dibantu bibi ya,” jawab Bu Rania dengan lembut.
Fio mengangguk lalu melangkah menuju kamar yang sebelumnya ia tempati, langkahnya pelan namun mantap.
Di belakangnya, Darrel masih duduk di tempat yang sama, menatap kosong pada meja tempat buku nikah mereka tergeletak.
Tak ada ucapan selamat, tak ada senyum. Yang ada hanya keheningan yang menggantung lama, seperti udara dingin yang menolak mencair.
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik di luar jendela, menimbulkan suara lembut yang memantul di dinding kamar Darrel.
Fio berdiri di depan lemari besar berwarna cokelat tua, membuka satu demi satu laci, menyusun bajunya yang baru dipindahkan dari koper kecil. Semua dilakukan dalam diam, hanya suara lipatan kain dan helaan napasnya yang terdengar. Baru saja dia pindah ke kamar Darrel.
Darrel sendiri baru keluar dari kamar mandi, masih mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang santai. Ia berhenti di depan meja kerja, menatap layar laptop sekilas, lalu tanpa menoleh pada Fio berkata datar, "Jangan berharap cinta dari saya.”
Tangannya berhenti di udara, masih memegang baju yang hendak dilipat. Fio menatap pantulan Darrel di kaca lemari, lalu mengangkat alisnya pelan.
“Maaf, Tuan Duda…” ucapnya pelan tapi nada suaranya penuh sindiran halus. “Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya.”
Darrel menoleh cepat. Sekilas terlihat matanya berkedip sekali — seperti tak percaya dengan jawaban itu. Tapi tak lama, wajahnya kembali tanpa ekspresi.
“Zhang… siapa?” tanyanya pendek.
Fio menutup lemari dan menatapnya sambil tersenyum tipis. “Artis Cina, Tuan. Cinta saya nggak nyata, jadi aman. Nggak akan ganggu hidup dinginmu.”
Darrel diam. Ia memandang Fio dari kepala sampai kaki, seolah sedang menilai seberapa serius gadis itu bicara, tapi kemudian ia hanya mendengus pendek.
“Selama kamu tahu batasnya,” katanya datar.
“Tenang,” balas Fio santai sambil melangkah ke arah ranjang, “saya cuma numpang hidup, bukan numpang perasaan.”
Darrel menarik napas panjang, lalu mematikan lampu utama, menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur di sisi ranjang.
Mereka terdiam — dua orang asing yang kini dipaksa berbagi ruangan, berbagi sunyi, tanpa cinta.
Namun dalam diam itu, Fio menatap langit-langit sambil tersenyum tipis.
“Zhang Ling He, kamu penyelamat harga diriku malam ini.”
Sementara Darrel di sisi lain hanya memejamkan mata, berpikir dalam hati,
“Perempuan ini… benar-benar tidak bisa ditebak.”
Setelah percakapan soal Zhang Ling He itu, suasana kamar kembali hening. Hanya terdengar suara hujan yang mulai deras di luar.
Fio menarik selimut ke sisi kanan ranjang sambil bersenandung pelan.
Darrel yang sedang mengetik di laptop menatap sekilas dan mengerutkan dahi.
“Hei. Itu tempat saya tidur,” katanya datar.
Fio melirik tanpa rasa bersalah. “Lho, kan kita suami istri sekarang, Tuan Duda. Emangnya saya harus tidur di balkon?”
“Kamu bisa tidur di sofa.” Nada Darrel tetap tenang, seperti membaca laporan keuangan.
Fio menatap ke arah sofa di sudut ruangan yang panjangnya cuma setengah tinggi badannya. “Di situ? Yang kalau saya rebahan, kaki saya bisa jadi antena TV?”
Darrel tidak menjawab. Ia hanya menutup laptopnya pelan, meletakkannya di meja, lalu berdiri dan menatap Fio.
Tatapannya dingin tapi tidak marah — lebih ke “aku sudah memperingatkan kamu”.
Fio justru makin bersemangat. “Oke, kita adil aja, Tuan Kulkas. Separuh buat kamu, separuh buat saya. Dunia ini sudah cukup kejam, jangan berebut kasur juga.”
“Kalau kamu gerak banyak, saya pindah.”
“Kalau saya nggak gerak, berarti saya sudah mati, Tuan.”
Darrel menghela napas panjang — napas khas orang yang sudah pasrah menghadapi makhluk aneh di rumahnya sendiri.
Akhirnya ia merebahkan diri di sisi kasur yang tersisa, membelakangi Fio.
Fio menyelinap pelan ke sisi lainnya sambil membawa bantal guling besar seperti perisai perang.
“Tenang aja, saya pasang benteng. Nggak bakal nyenggol wilayah Republik Dingin kamu.”
Darrel tak menoleh sedikit pun. “Bagus.”
Beberapa menit kemudian, kamar kembali sunyi. Tapi dari sisi kasur terdengar suara kecil, “Eh, Tuan Duda, kamu mendengkur ya?”
“Tidak.”
“Oh, yaudah. Kirain ada gempa kecil.”
Darrel membuka mata sebentar, menatap langit-langit, lalu menutupnya lagi sambil menggumam dalam hati, “Kenapa aku mau menikah dengan perempuan ini?”
Sementara Fio tersenyum di balik gulingnya. “Misi penyelamatan ujian—berhasil.”
***
Pagi harinya, sinar matahari masuk lewat celah tirai. Burung-burung sudah berkicau di halaman belakang.
Fio menggeliat pelan, matanya setengah terbuka—dan refleks membeku.
Tangan Darrel melingkar di pinggangnya.
Kepala Fio bersandar di dada pria itu, dan entah sejak kapan bantal guling yang jadi benteng suci mereka sudah tergeletak di lantai.
“Ya Tuhan…” gumam Fio lirih, matanya membulat.
Darrel juga terbangun karena gerakan Fio. Begitu sadar posisi mereka, dia langsung tersentak mundur cepat, hampir jatuh dari tempat tidur.
“Apa-apaan ini?” serunya dengan wajah kaku tapi telinganya merah.
Fio duduk bersedekap, menatap dengan ekspresi sok tenang. “Saya juga mau tahu, Tuan Duda. Katanya jangan berharap cinta, tapi tadi malam siapa yang melipat saya seperti sushi?”
Bersambung