Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 13
Matahari baru saja menyingsing di ufuk timur, menyinari kediaman megah milik Adrasta dengan sinar keemasan. Di dalam kamar utama, Rania terbangun dengan perasaan gelisah yang masih menghantuinya sejak malam sebelumnya. la duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.
Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan sosok Adrasta yang berdiri dengan ekspresi tenang namun penuh wibawa. la melangkah masuk, membawa secangkir kopi yang aromanya memenuhi ruangan. "Selamat pagi, Rania," sapa Adrasta dengan suara lembut namun tegas. "Aku harap kau tidur nyenyak."
Rania mengangguk pelan, meskipun kenyataannya ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Adrasta duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar sejenak sebelum kembali menatap Rania. "Aku telah menyiapkan segalanya untuk kita," ujarnya sambil menyerahkan sebuah tablet kepada Rania.
Di layar, terpampang gambar sebuah pulau pribadi yang eksotis, lengkap dengan vila mewah yang menghadap langsung ke laut biru jernih. "Ini adalah pulau pribadi kita di luar negeri," lanjut Adrasta. "Tempat di mana kita akan memulai hidup baru, jauh dari segala gangguan." Rania menatap gambar-gambar itu dengan perasaan campur aduk.
Pulau itu tampak seperti surga, namun ia tahu bahwa di balik keindahan itu, ada jerat yang semakin mengikatnya. "Sebelum kita pergi," suara Adrasta memecah lamunannya, "ada satu hal yang harus kita selesaikan."
Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju lemari kayu di sudut ruangan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu berukir indah. Dengan hati-hati, ia membukanya dan mengeluarkan sebuah pistol berlapis perak yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi.
"Ini," kata Adrasta sambil menatap Rania dengan tajam, "adalah alat yang akan memastikan Rey tidak lagi menjadi masalah bagi kita." Rania merasa darahnya mengalir dingin. Matanya membelalak, menatap pistol itu dengan ketakutan yang nyata.
"Adrasta, tolong," suaranya bergetar. "Jangan lakukan ini. Aku mohon." Adrasta mendekat, menyerahkan pistol itu ke tangan Rania yang gemetar. "Kau yang akan melakukannya, Rania," bisiknya. "Buktikan kesetiaanmu padaku."
Air mata mulai mengalir di pipi Rania. la jatuh berlutut di hadapan Adrasta, memegang erat ujung jasnya. "Aku akan melakukan apa saja yang kau inginkan," isaknya. "Tapi jangan minta aku untuk membunuhnya. Aku mohon."
Adrasta menatapnya dengan ekspresi dingin, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. Kemudian, ia menarik Rania berdiri, menghapus air matanya dengan ibu jarinya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mempertimbangkan permintaanmu. Tapi ingat, Rania, kesetiaanmu padaku tidak boleh diragukan." Rania mengangguk cepat, merasa lega namun tetap waspada. la tahu bahwa posisinya sangat rapuh, dan satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal.
"Sekarang, bersiaplah," perintah Adrasta. "Kita akan segera berangkat ke pulau itu." Rania berjalan menuju lemari pakaian, mencoba menenangkan dirinya sambil memilih pakaian yang akan dibawanya. Namun, pikirannya terus dihantui oleh bayangan Rey dan nasib yang mungkin menimpanya.
Rania berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan perasaan campur aduk. Gaun sederhana berwarna pastel membalut tubuhnya, namun matanya yang redup mencerminkan badai di dalam hatinya.
Pintu kamar terbuka tanpa suara, menampilkan sosok Adrasta yang selalu tampil rapi dan berwibawa. Tatapannya tajam, namun bibirnya melengkungkan senyum tipis yang sulit diartikan. "Sudah siap?" tanyanya dengan nada datar namun penuh otoritas. Rania mengangguk pelan, menelan kegelisahan yang mengganjal di tenggorokannya.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Adrasta meraih tangannya dan membimbingnya keluar kamar, menuruni tangga menuju pintu utama. Di luar, deretan mobil mewah berwarna hitam sudah berjajar rapi, dengan beberapa pria berseragam polisi berdiri siaga di sekitarnya.
Mereka adalah orang-orang bayaran Adrasta, memastikan perjalanan menuju bandara berlangsung tanpa hambatan. Adrasta membuka pintu mobil untuk Rania, sebuah gestur yang tampak sopan di mata orang lain, namun bagi Rania, itu adalah pengingat halus akan kendali penuh yang dimiliki pria itu atas dirinya.