Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Harga dari Kebenaran"
BERITA NASIONAL GOYANG.
Bukan karena selebritas cerai. Bukan juga karena sinetron baru.
Tapi karena satu video.
Satu nama.
Soegeng.
Seorang mantan polisi tua yang biasanya cuma muncul di pojok ruangan dengan termos kopi, tiba-tiba jadi headline semua media. Viral. Trending. Dari anak SMA sampai anak TK, semua mendadak tahu siapa dia.
Soegeng—bukan polisi biasa.
Ia unggah video di Facebook. Gak pake editan. Gak pake dramatisasi.
Ia bicara pelan. Tenang. Tapi isi videonya... seperti tamparan dingin di pagi buta.
“Ada ladang ganja. Di Bukit Barisan. Luasnya bukan lapangan bola. Lebih. Pemiliknya? Orang-orang berdasi.”
Boom.
Ledakan pertama.
Video itu gak main-main. Ada peta. Ada nama. Ada wajah.
Semua ditunjukkan. Tanpa sensor. Tanpa takut.
Dalam hitungan jam, video Soegeng nyebar kayak virus di musim hujan.
Diunggah ulang. Dipotong. Diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Masuk berita malam.
Masuk FYP.
Masuk ke ruang rapat DPR.
Lalu... tiba-tiba... video aslinya hilang.
Misterius?
Bisa jadi.
Tapi sayangnya bagi mereka yang ingin menghapus jejak—bukti itu sudah telanjur tersebar.
Sudah disalin, disimpan, dan dijadikan bahan khutbah Jumat di beberapa masjid.
Dan nama Soegeng?
Sudah jadi simbol.
Simbol bahwa di negeri yang penuh tipu daya, kadang satu suara jujur cukup untuk menggoyang istana.
Di toko kecil penyewaan tenda, yang baunya campuran antara karpet basah dan kopi basi, Johan duduk di depan televisi.
Di sampingnya, Dio—junior kesayangan waktu masih Mapala dulu—ikut menatap layar dengan alis berkerut.
Tegang.
Tapi ada cahaya aneh di mata mereka. Cahaya semangat. Cahaya "akhirnya".
“Dio,” ujar Johan pelan, seperti orang yang habis lihat hantu.
“Tolong bangunin Kalmi. Sekarang.”
Dio gak banyak tanya. Langsung lari ke belakang.
Tiga menit kemudian, Kalmi keluar sambil garuk-garuk kepala. Kaos oblongnya bolong di bagian dada. Rambutnya mirip singa baru bangun tidur.
“Ada apa sih, Han? Tenda kebakaran?” tanyanya malas.
Johan gak jawab. Cuma tunjuk layar TV.
“Lihat itu... Rencana kita berhasil. Video Pak Soegeng... tersebar.”
Kalmi terdiam.
Detik pertama: dia melongo.
Detik kedua: matanya berkaca-kaca.
Detik ketiga: senyumnya muncul pelan, seperti mentari yang nembus kabut pagi.
“Alhamdulillah...” bisiknya.
“Jadi... gak sia-sia aku nelan SD card itu, ya?”
“Gak sia-sia sama sekali,” jawab Johan. “Sekarang, seluruh negeri tahu luka busuk yang selama ini ditutup pakai dasi.”
Kalmi menggenggam remote TV. Volume dinaikkan.
Suara penyiar berita memenuhi ruangan yang tadinya cuma dihuni keheningan dan sisa bau mie instan.
Di layar, wajah Pak Soegeng tampil tenang. Tapi kata-katanya mengguncang.
Ladang ganja. Pejabat. Bukti. Nyawa.
Kalmi menghela napas panjang.
“Kita udah nyalakan api, Han. Dan orang-orang yang biasa sembunyi di kegelapan... sekarang mulai takut sama terang.”
Johan mengangguk.
“Tapi ini belum selesai, Mi. Mereka pasti melawan.”
Kalmi menatapnya.
“Nah itu bedanya. Mereka melawan karena takut kehilangan kekuasaan. Kita melawan karena takut kehilangan akal sehat bangsa ini.”
Tiba-tiba... ponsel Kalmi berdering.
Nada deringnya absurd: potongan lagu dangdut jadul.
Nomornya?
Mereka kenal betul.
Kalmi langsung angkat.
“Ya, Pak Soegeng?”
Ia diam. Mendengarkan. Lama.
Wajahnya berubah—dari tegang ke tenang, dari panik ke lega.
Setelah menutup sambungan, ia menoleh ke Johan dan Dio.
“Pak Soegeng kirim orang kepercayaannya ke sini. Untuk jaga kita. Dan... ada beberapa tokoh penting juga yang mau ketemu. Katanya: waktunya langkah selanjutnya.”
Johan memandang keluar jendela toko.
Langit mulai gelap. Lampu-lampu jalan belum menyala.
Tapi jauh di sana, ia merasa ada sesuatu yang terang.
Mungkin kecil.
Mungkin goyah.
Tapi nyata.
Dan kadang, dalam dunia yang rusak ini, satu cahaya kecil saja sudah cukup untuk mulai menyusun harapan baru.
Perjuangan baru saja dimulai.
Hari-hari berlalu, tapi rasanya seperti menunggu dentuman bom yang entah kapan jatuh.
Udara masih ada, tapi tak lagi segar seperti embusan pagi. Rasanya sesak.
Malam tak lagi sunyi. Kadang ada suara sepatu di luar pagar. Kadang telepon tak dikenal berdering tanpa suara. Kadang ada pesan singkat yang isinya cuma: “Berhenti sebelum terlambat.”
Kalmi dan Johan tidak panik. Tidak juga pura-pura berani.
Mereka sudah tahu dari awal:
Kebenaran itu mahal.
Dan siapa pun yang memilih memperjuangkannya, harus siap membayar lunas.
Mereka diam. Tapi langkah mereka tetap tegak.
Karena orang yang sudah membuang rasa takut… bukan berarti dia tidak takut.
Dia cuma memilih sesuatu yang lebih besar daripada rasa takut itu.
Desi dan Liana? Sekarang hidupnya dikawal ketat.
Orang-orang Pak Soegeng—mantan pasukan khusus, mantan intelijen, dan mantan-mantan yang tidak pernah benar-benar pensiun dari rasa cinta pada negeri ini—selalu menjaga dari jauh.
Kalmi bahkan melarang Desi kembali ke tempat kerja lamanya.
“Terlalu mudah mereka menyusup. Terlalu gampang mereka mencelakai orang yang kita sayangi,” katanya.
Desi tak melawan. Dia hanya tersenyum.
“Cinta yang benar, Mi... adalah cinta yang berani diam demi selamatnya langkah.”
Kalimat itu terpatri di kepala Kalmi. Dan sejak malam itu, dia makin hati-hati. Bukan takut. Tapi lebih sadar:
musuh yang tak bisa menjatuhkanmu, akan mencoba menghancurkan orang yang kau cintai.
Di sebuah tempat—jauh dari peta, jauh dari sinyal, dan jauh dari pengkhianat—mereka berkumpul.
Bukan untuk perang.
Tapi untuk menyusun arah.
Strategi.
Peta.
Mereka duduk satu lingkaran: aktivis, mantan aparat, jurnalis, akademisi, dan petani hutan yang jadi saksi hidup.
Mereka tidak saling kenal sebelumnya. Tapi malam itu, mereka sepakat pada satu hal:
“Kita bukan hanya bicara. Kita harus merekam. Menelusuri titik-titik ladang itu. Mengumpulkan bukti. Bikin jejak digital. Kasih tamparan data yang nggak bisa dibantah bahkan oleh hukum yang pura-pura buta.”
Karena melawan dengan emosi itu percuma.
Tapi melawan dengan kebenaran yang didokumentasikan baik?
Itu... bisa meruntuhkan penguasa.
Para pejabat mulai resah.
Bukan karena nurani. Tapi karena nama mereka mulai bergema di udara—seperti bau amis yang tak bisa disemprot parfum apa pun.
Biasanya mereka tertawa di ruang VIP, angkat gelas di pesta ulang tahun kolega. Sekarang?
Mereka gelisah.
Tak bisa tidur.
Dan seperti biasa... mereka melawan.
Ancaman jadi nyata.
Intimidasi makin terang-terangan.
Langkah-langkah mereka makin licik—mengelincir seperti belut di tangan.
Tapi semua itu?
Tak menggoyahkan Johan dan Kalmi.
Ketakutan itu wajar. Tapi keberanian? Lebih wajar lagi kalau yang kau perjuangkan adalah kebenaran.
Malam boleh gelap,
tapi justru karena itu, cahaya jadi lebih terlihat.
Hari keberangkatan pun tiba.
Pagi itu, Johan dan Kalmi berdiri di pinggir landasan, ransel di punggung, tekad di dada. Bersama satuan khusus, mereka terbang ke Aceh.
Di tangan mereka: peta usang penuh garis koordinat dari Pak Soegeng.
Di kepala mereka: ribuan kemungkinan buruk.
Tapi di hati mereka?
Satu: jangan pulang sebelum ada hasil.
Setelah mendarat, perjalanan dilanjutkan lewat jalur darat.
Tiga mobil.
Lambat.
Menembus pedalaman.
Lalu, takdir menyela.
Di tengah hutan, mereka bertemu seorang wanita tua—sendirian, duduk di batu, seperti sudah menunggu sejak zaman Belanda.
Namanya: Mbah Sri.
Tubuhnya kecil. Ringkih. Tapi sorot matanya seperti senter di tengah gelap.
“Saya dulu buruh tani di sana,” ucapnya pelan.
“Saya lihat sendiri... ladang itu tumbuh bukan pakai pupuk. Tapi darah dan air mata.”
Ia menunduk. “Saya muak. Dan saya ingin menebus diam saya.”
Tak ada yang bicara.
Hutan mendadak ikut diam.
Kalmi menggenggam tangannya.
“Terima kasih, Mbah. Kehadiranmu… lebih bernilai dari seribu laporan polisi.”
Dengan info dari Mbah Sri, mereka mulai masuk.
Peta berubah jadi nyata.
Bukit demi bukit mereka lewati.
Ladang-ladang ganja terbentang seperti permadani hijau. Indah dari jauh, tapi penuh dosa kalau dilihat dari dekat.
Mereka intai.
Mereka rekam.
Mereka motret diam-diam dari balik semak, dengan napas ditahan seperti sedang main petak umpet dengan maut.
Tapi medan bukan taman safari.
Nyamuknya kejam.
Jalanannya rusak.
Di beberapa titik, mereka nyaris diseruduk babi hutan. Tapi yang paling menakutkan?
Manusia bersenjata.
Para penjaga ladang itu tidak pakai peringatan.
Lihat gerak mencurigakan, langsung tembak.
Namun Johan, Kalmi, dan pasukan kecilnya... tetap melaju.
Mereka tahu:
Jalan menuju keadilan itu bukan jalan tol. Tapi jalan setapak. Licin. Berliku. Dan sering kali... sunyi.
Minggu-minggu berlalu.
Hutan mulai hafal langkah mereka.
Semak-semak mulai akrab dengan bau keringat dan debu ransel.
Dan satu demi satu—bukti terkumpul.
Rekaman.
Foto.
Jejak digital.
Bukan tuduhan kosong. Tapi fakta. Yang lebih keras dari pidato, lebih tajam dari opini.
Lalu, seperti babak final film action, pasukan khusus masuk.
Cepat.
Senyap.
Tepat sasaran.
Ladang disapu.
Penjaga ditangkap.
Tak banyak perlawanan. Mungkin karena semesta juga lelah melihat kebusukan ini.
Johan dan tim kembali ke Padang.
Tapi bukan sambutan yang menunggu mereka.
Melainkan... kabar buruk.
Pak Soegeng... hilang.
Rumahnya sepi.
Tak ada suara. Tak ada lampu. Tak ada jejak.
Seperti... sengaja dikosongkan.
Johan menatap pintu itu lama.
Kalmi meremas ponselnya.
Dio berdiri tak jauh, diam seperti patung.
Ke mana dia?
Apakah ia ditangkap?
Dibungkam?
Atau...?
Kabut kekhawatiran menyelimuti mereka.
Tapi waktu tak pernah menunggu orang yang larut dalam ketakutan.
Dan mereka tahu, kalau mereka berhenti sekarang—maka semuanya... sia-sia.
Maka, langkah mereka pun dilanjutkan.
Lebih hati-hati.
Lebih keras kepala.
Karena di negeri ini, kebenaran bukan hanya harus dicari.
Kebenaran harus diperjuangkan. Bahkan saat ia sedang berdarah.
Maka mereka melangkah lagi.
Tapi kali ini, langkah itu berat.
Sunyi.
Dan getir.
Seolah tanah yang mereka pijak ikut menyimpan luka yang sama.
Pasukan TNI turun tangan.
Pencarian diperluas. Peta baru digelar. Bukit Barisan ditelusuri hingga ke sudut tergelapnya.
Mereka tak lagi sekadar mencari bukti.
Mereka mencari kebenaran yang mencoba disembunyikan di balik lebatnya hutan dan waktu.
Tujuan berikutnya: Medan.
Titik baru.
Titik sunyi yang selama ini luput dari peta resmi, tapi tidak dari ingatan orang-orang yang pernah terluka.
Johan dan Kalmi turun ke lapangan.
Kali ini mereka tak sendiri—pengawalan TNI khusus menyertai, bukan hanya sebagai pelindung, tapi saksi dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar operasi biasa.
Di ransel mereka bukan cuma senjata.
Ada dokumen, data, rekaman, dan nama-nama.
Kebenaran yang sudah mengeras.
Tapi saat mereka tiba, yang menyambut mereka bukan ladang.
Bukan tanaman.
Bukan jejak kehidupan.
Hanya tanah gersang.
Kosong.
Bekas yang nyaris tak meninggalkan tanda.
Seolah ada yang lebih dulu datang.
Dan membersihkan semuanya.
Lalu, jebakan itu dimulai.
Dari balik semak dan rimbun, pria-pria bersenjata muncul.
Mata mereka merah.
Tangan mereka gemetar—bukan karena takut, tapi karena dendam.
Mereka adalah sisa. Bayangan terakhir dari jaringan yang hampir tumbang.
Dan mereka memilih mati... daripada menyerah.
Pertempuran tak terhindarkan.
Peluru-peluru menyalak.
Daun-daun gugur seperti hujan.
Tanah yang diam jadi saksi keberanian yang dibayar dengan nyawa.
Johan, Kalmi, Dio, dan pasukan TNI bertahan.
Mereka bukan pahlawan.
Bukan poster di dinding sekolah.
Mereka cuma manusia biasa—yang terlalu mencintai negeri ini untuk membiarkannya diracuni dalam diam.
Ketika tembakan terakhir mereda,
Ladang itu kembali diam.
Tapi diam yang berbeda.
Karena kali ini...
Mereka menang.
Johan berdiri di antara rerumputan yang baru tumbuh.
Wajahnya penuh debu.
Matanya lelah.
Tapi nyalanya masih hidup.
“Kita tak boleh pergi begitu saja,” bisiknya. “Mereka harus diadili. Bukan dibungkam.”
Komandan TNI mengangguk.
Ia tahu.
Pertempuran belum berakhir.
Ini cuma babak baru.
Tak lama, suara helikopter memecah langit.
Empat pesawat TNI AU turun dari langit—bukan membawa bala bantuan,
tapi membawa pulang harapan.
Evakuasi dimulai.
Di markas terdekat, data dan dokumen disusun ulang.
Disalin.
Dilaporkan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—kebenaran tak lagi hanya bisikan.
Tapi dokumen sah yang bisa berdiri di depan hukum.
Jaringan ladang ganja raksasa itu akhirnya runtuh.
Satu demi satu pelakunya ditangkap.
Orang-orang yang selama ini kebal hukum,
yang biasa tampil di televisi,
yang tertawa saat rakyat menderita...
kini berdiri di balik jeruji.
Hari sidang pun tiba.
Ruang pengadilan penuh sesak.
Tapi kali ini bukan dengan kebohongan,
melainkan dengan keberanian.
Johan. Kalmi. Desi. Liana.
Mereka duduk sejajar.
Bersama seluruh bukti.
Bersama seluruh luka.
Bersama seluruh janji bahwa kebenaran tak akan dibiarkan tenggelam.
Liana nyaris tak datang.
Ayah angkatnya masih terbaring koma.
Tapi hari itu...
ia berdiri.
Karena bagi seorang anak, melindungi keluarga adalah cinta.
Dan bagi seorang pejuang, menyuarakan kebenaran adalah janji yang tidak boleh dibatalkan.
Pengadilan bukan akhir.
Itu awal.
Awal dari negeri yang mereka impikan—
yang lebih jujur, lebih bersih, dan lebih berani.
Dan untuk semua itu,
mereka sudah membayar harga yang tak pernah ditulis di buku sejarah.
Tapi mereka tetap melangkah.
Karena di belakang mereka ada generasi yang menunggu.
Dan di depan mereka...
ada masa depan yang pantas diperjuangkan.