Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Harga dari Kebenaran"
Berita nasional kembali diguncang. Bukan oleh sekadar kabar biasa, tetapi oleh sebuah kebenaran yang menampar nurani. Viral. Trending. Tersebar lebih cepat dari angin yang berembus di pagi buta. Dari anak-anak sekolah hingga mereka yang duduk di kursi kekuasaan, semua membicarakan satu nama: Soegeng.
Bapak Soegeng—sosok polisi yang menjunjung tinggi kejujuran, menolak tunduk pada arus kebusukan—mengunggah sebuah video di halaman Facebook miliknya. Video yang mengupas luka bangsa. Menguliti borok yang selama ini tertutup rapi di balik jas dan dasi para pejabat.
Dalam video itu, suaranya tenang. Tapi tiap katanya mengguncang. Ia membongkar keberadaan ladang ganja yang tersembunyi di jantung hutan Bukit Barisan. Bukan sekadar asumsi. Ia bicara dengan bukti. Bukti yang diperoleh dengan taruhan nyawa—oleh Kalmi, seorang pemuda tangguh yang rela menelan SD card kamera, lalu membedah tubuhnya sendiri demi menjaga kebenaran tetap hidup.
Peta-peta koordinat muncul di layar. Nama-nama pemilik ladang ganja terpampang jelas. Di Sumatra Barat, misalnya, tercantum seorang pejabat bernama Mulyono. Semua dipaparkan lugas. Tanpa sensor. Tanpa takut.
Dalam hitungan jam, video itu menjelma badai. Disalin. Diunggah ulang. Disuarakan di televisi nasional. Tapi entah kenapa, video asli itu menghilang begitu saja. Namun bukti telah menyebar. Tak bisa ditarik kembali.
Di sebuah toko penyewaan tenda milik Kalmi, Johan duduk di depan televisi bersama Dio—junior lamanya di Mapala. Mereka menatap layar dengan saksama. Wajah mereka tegang, tapi sorot mata mereka menyala.
“Dio, bangunkan Kalmi. Cepat,” ujar Johan, nyaris berbisik, tapi nadanya penuh desak.
Dio segera berlari. Tak lama, Kalmi keluar sambil menguap, rambutnya masih acak-acakan.
“Kenapa, Jo?” tanyanya lemas.
Johan menunjuk televisi. “Mi, itu... rencana kita berhasil. Video Pak Soegeng tersebar. Bukti yang kau pertaruhkan nyawa demi mendapatkannya, sekarang dilihat jutaan orang.”
Kalmi terdiam. Sejurus kemudian ia tersenyum. “Alhamdulillah...” gumamnya lirih. “Akhirnya... luka bangsa ini mulai terbuka.”
Ia menggenggam remote, menaikkan volume. Suara berita memenuhi ruang. Di matanya, terlihat genangan air mata. Tapi bukan tangis lemah—itu air mata keberanian.
“Kita telah menyalakan api, Jo. Mereka yang terbiasa bermain dalam gelap... kini ketakutan pada terang,” ucapnya, tenang, namun tegas.
Johan mengangguk. “Tapi ini belum selesai. Kita belum benar-benar menang. Mereka akan melawan.”
Kalmi menatap sahabatnya. “Biarlah. Setidaknya, kita tidak diam.”
Saat itu, ponsel Kalmi berdering. Sebuah nomor yang amat mereka kenal. Ia menjawab cepat.
“Ya, Pak Soegeng?” ucapnya.
Kalmi mendengarkan lama. Wajahnya berubah, dari cemas menjadi lega. Setelah sambungan ditutup, ia menoleh ke Johan dan Dio.
“Pak Soegeng akan kirim orang kepercayaannya untuk menjaga kita. Dia juga bilang... ada beberapa tokoh penting yang ingin bertemu, untuk membahas langkah berikutnya.”
Johan menatap langit melalui jendela toko. Hari mulai gelap. Tapi di balik kegelapan itu, secercah cahaya telah muncul. Mungkin kecil, mungkin tak cukup. Tapi ia nyata.
Dan mereka tahu, perjuangan baru saja dimulai.
Hari-hari yang berlalu tak lagi sunyi. Udara tak lagi sesederhana embusan angin pagi. Ketegangan menggantung seperti awan hitam yang menolak pergi. Johan dan Kalmi menerima pesan-pesan tak bernama, suara-suara asing yang menyusup di tengah malam—mengancam, menyayat, namun tak menggoyahkan.
Mereka sudah tahu sejak awal: memperjuangkan kebenaran bukan perkara ringan. Ancaman bukan kejutan, tapi konsekuensi.
Namun langkah mereka tetap utuh. Tidak ada gentar. Tidak ada ragu. Karena sekali seseorang memutuskan melawan ketidakadilan, maka dia telah menyingkirkan rasa takut sebagai bagian dari kehidupannya.
Desi dan Liana kini hidup di bawah pengawalan ketat. Orang-orang kepercayaan Bapak Soegeng—mereka yang tahu apa artinya menjadi tameng untuk cahaya. Kalmi tak pernah membiarkan Desi kembali ke pekerjaan lamanya. Terlalu berisiko, terlalu mudah bagi musuh untuk mencelakai mereka yang paling dicintai. Dan Desi, dengan segenap pengertiannya, menuruti permintaan itu tanpa tanya.
“Cinta yang baik, Mi, adalah cinta yang siap mundur selangkah demi selamatnya perjuangan,” ujar Desi suatu malam.
Mereka sepakat: tak satu pun dari orang terdekat boleh melangkah tanpa pengawalan. Karena saat musuh tak bisa menjatuhkanmu, mereka akan menyerang dari titik terlemah—mereka yang kau sayangi.
Di tempat tersembunyi, jauh dari jangkauan radar, pertemuan diadakan. Bukan untuk mengobarkan perang, tetapi untuk menyusun strategi melindungi harapan. Mereka duduk bersama, orang-orang dari latar berbeda tapi berbagi tujuan yang sama: memperjuangkan kebenaran di negeri yang sudah terlalu lama membisu.
Salah satu kesepakatan penting adalah ini: mereka harus menelusuri titik-titik ladang ganja itu lebih dalam. Merekam. Mengumpulkan bukti. Menciptakan jejak yang tak terbantahkan. Bukan sekadar menuding, tapi menghadirkan fakta yang tak bisa dibantah, bahkan oleh hukum yang lumpuh sekalipun.
Para pejabat mulai resah. Nama-nama mereka mulai bergetar di udara. Mereka yang biasanya tertawa dalam pesta diam-diam mulai kehilangan tidur. Dan seperti biasa, mereka melawan. Ancaman menjadi nyata, intimidasi lebih keras, langkah lebih licik. Tapi semua itu tidak menggoyahkan barisan kecil Johan dan Kalmi.
Ketakutan memang nyata, tapi keberanian lebih nyata lagi. Dan malam yang gelap hanya membuat cahaya jadi lebih terlihat.
Hari keberangkatan pun tiba. Johan dan Kalmi, bersama unit khusus kepolisian, terbang ke Aceh. Di tangan mereka ada peta, di hati mereka ada tekad. Mereka menuju titik pertama, sebuah koordinat yang telah lama ditandai oleh Pak Soegeng. Setelah mendarat, perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat. Tiga mobil melaju pelan menembus pedalaman.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti. Bukan karena jalan rusak, tapi karena takdir mempertemukan mereka dengan seorang wanita tua.
Namanya Mbah Sri. Tubuhnya ringkih, tapi matanya menyimpan api masa lalu.
“Saya dulu buruh tani di sana,” ucapnya lirih. “Saya melihat sendiri bagaimana ladang itu tumbuh bukan dengan pupuk, tapi dengan darah dan air mata. Saya sudah muak... dan saya ingin menebus diam saya selama ini.”
Kalimatnya menggetarkan. Johan terdiam. Kalmi menatapnya lama.
“Terima kasih, Mbah. Kehadiranmu lebih berharga dari seribu laporan polisi,” ujar Johan.
Berkat informasi Mbah Sri, mereka menemukan jejak. Titik-titik ladang itu terhampar di perbukitan Aceh—hijau yang semu, karena sejatinya ia menyimpan dosa. Mereka mengintai diam-diam. Mencatat, memotret, merekam. Setiap gerakan, setiap pengiriman, setiap jejak kaki di ladang itu mereka awasi dengan napas tertahan.
Tapi medan tidak ramah. Mereka diterkam nyamuk ganas, dikejar binatang buas, dan lebih dari itu: ancaman manusia bersenjata. Para penjaga ladang itu tak segan menembak apa pun yang dianggap mengganggu.
Namun keteguhan hati Johan, Kalmi, dan pasukan kecilnya tak pernah surut. Setiap rintangan mereka lewati, setiap bahaya mereka hadapi. Karena mereka tahu: jalan menuju keadilan memang tak pernah lurus dan mudah. Tapi kebenaran yang dituntun oleh keberanian, lambat laun, akan menemukan jalannya sendiri.
Dan di tengah gelap hutan itu, mereka berjalan. Pelan. Tapi pasti.
Karena mereka tahu, satu-satunya harapan bagi negeri ini... adalah kebenaran yang tak boleh lagi dibungkam.
Minggu-minggu berlalu seperti embusan angin yang menyimpan badai. Di balik kesunyian rimba dan debu perjalanan, investigasi mereka perlahan menyingkap satu demi satu kegelapan yang tertanam dalam ladang ganja itu. Bukan hanya jejak, tapi juga bukti—rekaman yang bisu, foto-foto yang berbicara lebih lantang dari mulut manusia mana pun.
Dan pada akhirnya, seperti babak penutup dari sebuah lakon panjang, pasukan khusus menyapu bersih para pelaku tanpa perlawanan berarti. Seolah-olah semesta tahu, waktunya telah tiba.
Dengan dada yang dipenuhi harapan, mereka kembali ke Padang. Namun kota yang mereka tuju tak menyambut dengan pelukan hangat, melainkan dengan dinginnya kabar buruk.
Pak Soegeng… hilang.
Rumahnya sunyi, seperti telah ditinggalkan berhari-hari. Tidak ada suara. Tidak ada jejak. Hanya ruang kosong yang menyisakan pertanyaan. Ke mana dia pergi? Apakah ia selamat? Atau…?
Kekhawatiran menyelimuti mereka seperti kabut yang enggan naik dari permukaan danau. Tapi waktu tak pernah menunggu mereka yang larut dalam sedih. Dan mereka tahu, perjuangan ini belum selesai. Jika mereka berhenti sekarang, maka semua yang telah diperjuangkan akan sia-sia.
Maka mereka melangkah lagi. Meski langkah itu kini terasa lebih berat, lebih sunyi, lebih getir. Pasukan TNI pun turun tangan, memperluas pencarian ke segala penjuru, menembus rimba dan waktu.
Peta mereka kini menunjukkan arah baru: Medan. Sebuah titik di pedalaman Bukit Barisan yang menyimpan sisa-sisa misteri. Johan dan Kalmi kembali turun ke lapangan, kali ini dengan pengawalan pasukan TNI khusus. Bekal mereka bukan sekadar senjata, tapi juga kebenaran yang mengeras dalam bentuk data dan dokumen.
Namun setibanya di lokasi, mereka disambut bukan oleh ladang, melainkan kehampaan.
Tanah itu gersang. Ladang yang semestinya ada di sana telah lenyap, seperti dilahap oleh angin malam. Seolah-olah seseorang telah lebih dulu tahu kedatangan mereka. Dan seperti cerita yang tak ingin selesai, mereka pun disergap.
Para pria bersenjata muncul dari balik semak, matanya merah menyala, amarahnya membuncah. Mereka adalah penjaga ladang yang tersisa, bayangan terakhir dari sebuah jaringan hitam yang telah mereka gores luka dalam.
Pertarungan tak bisa dihindari. Peluru memecah kesunyian hutan. Tanah yang tadinya diam kini menjadi saksi dari keberanian yang diuji habis-habisan.
Johan, Kalmi, dan Dio bertarung bersama pasukan TNI. Mereka bukan tentara, bukan pula pahlawan. Mereka hanya manusia yang terlalu mencintai negeri ini untuk membiarkannya hancur dalam diam.
Pertarungan usai. Para penjaga berhasil dilumpuhkan, dan ladang—meski telah bersih—tetap menyisakan bukti yang cukup untuk membongkar jaringan itu. Johan berdiri di antara rerumputan yang baru tumbuh, wajahnya letih, tapi matanya masih menyala.
“Kita tak bisa pergi begitu saja,” katanya lirih. “Mereka harus diadili. Bukan dibungkam.”
Komandan TNI mengangguk. Ia tahu, tugas mereka belum selesai. Tapi sebelum langkah mereka beranjak lebih jauh, suara helikopter memecah langit. Empat pesawat TNI AU mendekat, membawa harapan dari langit.
Evakuasi pun dilakukan. Mereka diterbangkan ke markas terdekat. Di sana, semua yang mereka kumpulkan disusun, dicatat, dilaporkan. Bukti-bukti itu kini bukan hanya cerita—mereka adalah kebenaran yang bisa berdiri sendiri di hadapan hukum.
Jaringan ladang ganja yang selama ini tersembunyi di jantung hutan akhirnya runtuh. Satu per satu, para pelaku ditangkap. Tak bisa lagi mereka bersembunyi di balik jabatan, senyuman palsu, atau suara yang menggema di televisi.
Hari sidang pun tiba.
Kebenaran kini punya tempat di meja pengadilan. Para pejabat yang dahulu hanya terduga kini berstatus terdakwa. Dan di ruangan itu, duduklah Johan, Liana, Desi, dan Kalmi—bersama semua bukti yang mereka kumpulkan, bersama semua luka dan keberanian yang telah mereka tabur selama ini.
Liana masih enggan meninggalkan rumah sakit. Ayah angkatnya belum juga sadar. Tapi untuk hari ini, ia menguatkan diri. Karena bagi seorang anak, melindungi keluarga adalah cinta. Dan bagi seorang pejuang, menyuarakan kebenaran adalah janji.
Mereka tahu, pengadilan bukan akhir.
Ini adalah awal dari negeri yang mereka impikan—yang lebih jujur, lebih bersih, lebih berani.
Dan untuk semua itu, mereka telah membayar harga yang tak murah.