Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Sebuah motor sport merah menyala merebut semua perhatian siswa-siswi yang tengah berbaris rapi pada upacara bendera. Terutama siswa wanita, mereka tampak terpesona dengan sosok pria yang baru saja melepaskan helm, menyegarkan rambutnya yang agak berantakan.
"Ganteng banget!" celetuk salah seorang dari
mereka.
"Siswa baru, ya? Wajib kenalan ini!"
Terdengar bisik-bisik pada barisan siswa putri membuat Pak Ahmad sang kepala sekolah yang sedang memberi pidato meradang.
"Tenang, Anak-anak! Atau saya suruh kalian berdiri di sini menggantikan saya pidato!"
Seketika itu juga suasana mendadak senyap. Tiada lagi yang berani berbincang, bahkan sekadar berbisik. Semua menjadi terfokus pada pidato sang kepala sekolah.
Pak Ahmad melanjutkan pidato dengan nada berapi-api sembari menasihati para siswa sehingga upacara yang hampir selesai berakhir lebih lama.
Sementara sosok yang sejak tadi menjadi perbincangan murid melangkah menuju ke ruang
data, mengumpulkan beberapa berkas dan formulir perpindahan sekolah.
"Pindahan dari SMA Bina Pradipta ya?"
Petugas Tata Usaha bertanya dan ditanggapi anggukan oleh cowok berseragam putih abu-abu tanpa badge identitas. Hari ini adalah hari pertama Artha pindah sekolah. Karena hari pertama, dia lebih banyak mengurus surat-surat perpindahan yang lumayan menguras waktu. Ravindra sengaja tidak membantunya, menghukum Artha agar mandiri tanpa bantuan dan campur tangan orang tua.
"Alasan kepindahan?" tanya petugas itu lagi.
Artha mendengkus. Ada saja pertanyaan yang diajukan. Sebenarnya dia juga enggan dipindahkan ke sekolah ini. Gedungnya sudah tua. Bentuk bangunan tidak modern. Sepertinya sudah lama tidak direnovasi. Kampungan. Sangat berbeda dengan di mana sekolah elite yang menjadi milik keluarganya.
"Ngikutin cewek saya, Pak!" jawab Artha ngasal.
"Heh, di sini dilarang pacaran! Harus serius belajar." Petugas menggelengkan kepala.
"Ada-ada saja kelakuan murid zaman sekarang." Tangannya sibuk memasukkan data Artha pada basis data di komputer. Sementara mulutnya tak henti-henti melancarkan ceramah panjang untuk Artha.
"Keren! Bapak otak kanan dan kiri bekerja
dengan baik. Bapak pasti seorang jenius yang menyamar." Artha menatap penuh sang petugas. Tampak seperti sedang mengagumi sosok yang
sibuk bekerja di depannya
"Maksudmu?"
"Ya, tidak semua orang bisa melakukan apa yang Bapak lakukan. Bapak bisa ngetik, menginput data saya. Tapi Bapak juga dari tadi tidak berhenti ceramah. Itu artinya keseimbangan kinerja otak kanan dan kiri Bapak bekerja sangat optimal. Ini hanya terjadi di kalangan jenius." Artha berkata dengan sangat meyakinkan.
"Eh, sungguh?" Tadinya si petugas langsung mengembang senyumnya setelah dibilang jenius, tetapi kemudian dia mengesah.
"Sudahlah, jangan cari muka di depan saya. Sekarang isi formulir ini agar saya bisa segera mengantarmu ke kelas."
Bibir Artha nyengir. Dia menyambar kertas dan bolpoin yang berada di keranjang kecil pada meja, lantas mengisi formulir yang diberikan padanya.
Suasana kelas tampak hening. Itu bisa dilihat dari wajah tegang setiap siswa yang sedang mengikuti pelajaran Fisika. Kelas XI IPA 4 yang memiliki ruangan di lantai dua menjadi tempat di mana Artha ditempatkan. Petugas Tata Usaha mengantar Artha sampai ke depan, mengetuk pintu dan segera ditanggapi oleh Bu Cintya, guru wanita yang terkesan killer, menakutkan.
"Masuk!"
Pintu dibuka. Petugas Tata Usaha mengangguk sopan, lantas berkata,
"Maaf, Bu, mengantar murid pindahan."
"Suruh masuk, Pak! Terima kasih." Bu Cintya
mempersilakan.
Setelah petugas berlalu dan undur diri, Artha segera masuk ke ruangan itu. Sontak mata para gadis membelalak. Bisik-bisik riuh terdengar, membuat kelas yang tadinya tenang dan damai mendadak bising karena kedatangan Artha.
"Eh, itu cowok tadi!"
"Ya, ampun, enggak nyangka. Dia ternyata satu kelas sama kita. Beruntung banget, ye!"
"Sin, lo pindah, gih! Pasti bentar lagi Bu Cintya nyari bangku kosong. Pindah sana ke depan." Thalita malah menyuruh teman sebangkunya pindah. Memang cewek-cewek suka gak nahan kalau lihat beningan dikit.
"Jadi lo ngusir?" Sinta bertanya kesal, matanya
melotot tajam.
Melihat Sinta marah, Thalita nyengir.
"Hehehe, siapa tahu kan dia mau duduk deketan sini."
Suasana gaduh di kelas tak bisa dihindarkan. Bu
Cintya mengambil penggaris kayu besar, Iantas memukulkan di papan tulis. Hening. Semua bisik-bisik lenyap sudah.
"Kamu, perkenalkan diri pada teman_temanmu."
Artha mengangguk patuh, menatap ke semua anak yang sedang melihatnya. Sepertinya Artha sudah terbiasa bicara di depan umun, menikmati
pandangan audience yang mengarah padanya.
"Saya Artha. Pindahan dari SMA Bina Pradipta. Tinggi 180 cm. Hobi balapan, tinju, dan olah raga
lain."
"Udah punya cewek belum?" celetuk siswa perempuan yang langsung ditanggapi pelototan oleh Bu Cintya.
"Bercanda, Bu! Idih, galak amat."
Bu Cintya menggeleng, lalu beralih pada Artha.
"Ya sudah. Cukup! Kamu duduk di bangku yang masih kosong. Pelajaran akan dimulai kembali
sebentar lagi."
"Terima kasih." Artha mengangguk sopan. Dia mencari-cari letak bangku kosong. Para siswi buru-buru menyeret kursi mereka agar dilihat Artha. Namun, ada satu bangku kosong yang menarik
perhatian Artha.
Seorang gadis yang sejak tadi menunduk, tak menatapnya sama sekali ketika dirinya sedang
memperkenalkan diri. Artha tersenyum tipis.
Dengan langkah mantap, dia menuju bangku kosong yang berada di belakang deretan gadis itu. Semua siswa perempuan yang berharap Artha duduk di dekat mereka tampak kecewa. Mereka menatap iri pada sosok yang sejak tadi menjadi perhatian Artha.
"Hei, kita bertemu lagi," ucap Artha saat melewati gadis yang sejak tadi menunduk. Gadis itu menengadah, menatap sosok jangkung yang berdiri di depannya.
"Tapi ... gue harap lo bisa jaga rahasia hubungan kita. Mengerti?"
Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Artha berlalu begitu saja, melewati tanpa menoleh padanya.
Gadis itu adalah Naira. Entah mengapa takdir malah mendekatkan dia pada Artha, cowok menyebalkan yang dalam waktu sehari mengubah statusnya dari gadis single menjadi wanita bersuami.
"Okey, kita lanjutkan materi pelajaran." Bu Cintya mulai kembali berdiri di depan kelas.
"Hukum Pascal dicetuskan oleh seorang filsuf dan ilmuwan ..."
Semua mata tertuju ke depan, di mana Bu Cintya sedang menjelaskan tentang Hukum Pascal. Tampak para siswa mencatat hal-hal penting yang dijelaskan oleh Bu Cintya di buku tulis masingmasing. Sampailah pada sesi tanya jawab. Wanita berseragam cokelat itu menurunkan kacamata sampai menyentuh ujung hidung.
"Dimas, maju!" titahnya yang ditanggapi desahan ringan di bibir Dimas.
"Selalu gue yang jadi sasaran." Dimas ngedumel sebelum beranjak dari bangku. Hadi hanya terkekeh melihat nasib buruk yang menimpa
temannya itu.
Dengan gontai cowok bertubuh sedikit gembul maju mendekati Bu Cintya. Semua tampak diam
memperhatikan, takut menjadi sasaran berikutnya.
"Apa itu hukum pascal?"
Dimas melongo. Perasaan baru tadi dibahas oleh Bu Cintya, tetapi dia sudah melupakannya. Ah, memang paling susah melupakan mantan. Sekalinya ingat pelajaran, baru semenit dibahas malah hilang tak berbekas. Dimasi menggaruk-garuk kepalanya yang berketombe, menjatuhkan serpihan salju di seragam putihnya. Bu Cintya menggelengkan kepala. Bisa-bisanya baru dibahas sudah lupa.
"Ambil bukumu, kembali, dan berdiri di depan! Baca dan hafalkan! Setelah hafal, kamu boleh duduk kembali."
Sekali lagi Dimas hanya bisa menghela napas.
Nasib jadi seorang siswa harus selalu menuruti apa kata gurunya. Dia berjalan lunglai dan malas
malasan saat mengambil buku.
"Eh, yang cepat! Waktu mengajar saya sangat sedikit."
"Iya, Bu!" Alhasil Dimas melangkah cepat dan kembali ke depan setelah mengambil buku pelajarannya.
Kini, suasana di kelas sangat tegang. Melihat nasib dimas yang menyedihkan membuat para siswa menunduk, takut menjadi sasaran berikutnya. Termasuk Naira.
"Kamu, Artha!" Bu Cintya langsung menunjuk ke belakang di mana duduk. Sontak semua mata langsung mengarah ke sana. Beberapa anak tampak berbisik, menyayangkan Bu Cintya mengerjai anak baru. Mereka hanya takut, belum juga kenalan dan mengakrabkan diri, tapi keburu Artha enggak betah berada di sekolah ini.
"Maju ke depan!"
Artha mengangguk. Tak ada raut tegang di wajahnya. Dia selalu berada dalam mode cool, membuat semua mata berdecak kagum melihatnya. Kulit wajah terawat. Tidak ada jerawat atau komedo.
Mirip banget sama oppa-oppa korea. Apalagi saat tersenyum, ada lesung pipi di bagian kiri. Begitu manis dan bikin meleleh. Setelah berada tepat di depan bangku semua murid, Artha berhenti. Posturnya yang tegap membuat murid-murid putri tak berkedip menatapnya. Bu Cintya mengangguk, mulai memberi pertanyaan.
"Apa yang dimaksud hukum Pascal? Dan sebutkan contoh di kehidupan nyata yang
berhubungan dengan hukum Pascal!"
Artha tersenyum, menatap mata lawan bicara. "Hukum Pascal itu terkait tekanan. Jika tekananan eksternal diberikan pada sistem tertutup, maka tekanan zat cair di dalamnya akan meningkat sesuai kadar tekanan yang diberikan."
Jawaban Artha cukup sempurna. Beberapa siswa hendak bertepuk tangan, tetapi urung dilakukan
karena mendapat pelototan dari Bu Cintya.
"Seperti di kehidupan nyata di mana sepasang kekasih, lelaki dan perempuan sedang berduaan. Mereka saling tatap, lalu berakhir mendekatkan wajah. Hingga kemudian mempertemukan bibir. Tekanan demi tekanan yang dilakukan itu merupakan tekanan eksternal, membuat cairan dalam bibir ikut tertekan sehingga mulut pun terbuka karena tak sanggup membendung, menggetarkan bibir lawan, saling menekan, dan terus menekan, dan semakin menekan, sampai berakhir kedua mulut terbuka. Mereka mulai menekankan lidah, menelusup masuk, saling dekap"
Semua murid menelan ludah, merasakan sensasi aneh dari setiap kalimat yang diucapkan Artha. Bu Cintya yang sebelumnya ikut terbuai mulai menyadari ke mana arah pembicaraan Artha, buru-buru menghentikan kegilaan murid barunya itu.
"Astaga! Cukup-cukup!" perintahnya memotong
penjelasan Artha.
Para siswa yang sedang menikmati, membayangkan rangkaian kalimat, kata demi kata yang Artha uraikan merasa kecewa. Hingga serempak mereka bilang,
"Huuuuuuuuu....."
"Diam semua!" Bu Cintya mendengus kesal. Bagaimana bisa dia kecolongan. Pake terbawa suasana pula. "Artha, kamu dihukum. Penjelasanmu ngawur. Sekarang keluar kelas, berdiri di depan tiang bendera sampai Ibu selesai mengajar!"
"Hah? Kesalahan saya apa, Bu? Bukannya saya sudah menjawab dengan benar?" Artha menjawab santai.
"Bener gundulmu! Penjelasanmu ngawur, gak mendidik. Pokoknya Ibu gak mau tahu. Cepat keluar kelas, berdiri hormat di depan tiang bendera. Renungkan apa kesalahanmu!"
Siswa perempuan merasa tak terima, ikut membela Artha.
"Bu, Artha boleh ditemenin, enggak?
Saya juga mau merenungkan kesalahan."
"Huuuuuu ...." Para cowok langsung sewot.
Mentang-mentang good looking, ada aja yang
melindungi.
"Diam, semua! Mau saya keluarkan dari kelas!" Bu Cintya memukul-mukul papan menggunakan penggaris kayu. Semua mendadak diam, tak lagi
membantah. Suasana kembali tegang.
Mau tidak mau Artha menurut. Tidak masalah keluar. Dia bisa jajan, bukan?
Saat Artha hendak keluar, dia mengarahkan pandangan ke arah Naira. Naira menunduk, tak
ingin berurusan dengan Artha.
****
"Ka, minum dulu!" Thalita, cewek cantik, populer, tajir, dan digilai banyak pria menyodorkan sebotol air mineral pada Artha. Artha menerimanya
sembari menyunggingkan senyum.
"Thanks!"
Disenyumin aja sudah bikin Thalita salah tingkah.
"Gue Thalita. Wakil ketua Osis. Kalau lo ada masalah dan butuh bantuan, gue siap, kok, ngebantu!" Mata Thalita menatap pergerakan bibir Artha saat menenggak minuman yang dia berikan. Melihat jakun yang naik turun begitu saja sudah membuat otak Thalita berfantasi. Sensasinya beda.
"Makasih," ucap Artha.
"Sayangnya gue belum butuh." Tangannya cekatan menutup botol yang masih tersisa sedikit. Matanya tertuju pada seseorang yang baru keluar dari kelas. Tampilannya sangat biasa. Rapi, rambut dikuncir kuda dengan seragam yang normal. Tidak seperti kebanyakan siswa cewek yang sengaja menjahit pres body.
Thalita yang melihat Artha mengarahkan pandangan ke arah siswa perempuan itu seolah merasa tersaingi.
"Hello, ada bidadari di sampingnya, malah lihat beruk di kejauhan!" batin Thalita jengkel.
"Dia Naira. Cewek paling bodoh di kelas. Bukan hanya bodoh, tapi juga miskin. Emang sih, dia tinggi, mukanya lumayan, meski, ya, di bawah gue. Tapi kan kita harus memprioritaskan otak.
Wajah cakep, otak juga musti diupgrade. Iya, kan?"
Artha menoleh ke arah Thalita. Dia tersenyum
miring.
"Emamgnya lo pinter?"
"Tentu saja. Gue wakil ketua OSIS. Itu artinya gue berpengaruh. Lo pokoknya tenang aja, kalau ada masalah, kasih tahu gue! Gue akan bantu!" Thalita membanggakan diri. Dia tak mau jika terlihat lebih rendah dari Naira.
"Sayangnya gue enggak suka minta bantuan orang lain," jawab Artha. Dia beranjak dari posisi duduk, berdiri. Dia membuang botol minuman ke
tong sampah dengan cara melempar. Namun, tetap saja lemparan itu bisa begitu tepat masuk ke dalam.
Merasa tidak dihiraukan, Thalita mengejarnya.
"Gue cuma ngasih tahu, Ta. Lo mending jauh-jauh deh dari Naira. Takutnya lo diporotin. Secara dia itu miskin, otaknya di bawah rata-rata. Enggak ada yang bisa dibanggain dari dia!"
Artha menghentikan langkah. Tangannya mengepal. Dia memang tidak dekat dengan Naira. Namun, entah mengapa ketika ada orang lain yang menghina dan menjelek-jelekkan Naira membuatnya kesal. Sontak dia menoleh pada Thalita, menatap tajam gadis berambut panjang itu.
Saat itu juga, Thalita langsung terdiam, menelan ludah. Sorot mata Artha seakan menghipnotisnya, begitu menusuk, menghunjam pada matanya, tampak mengerikan.