Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“Kau ingin kue pukis atau kue talam?” tanya seorang wanita berpenampilan sangat cantik, di usianya yang sudah menginjak 37 tahun. Dia adalah Raras, kakak perempuan dari Mahesa.
Pagi ini Raras memutuskan untuk pergi ke pasar. Sudah sangat lama dirinya tak melihat tempat yang dulunya begitu ia nantikan saat hari Minggu tiba. Saat dirinya masih kecil, Raras selalu merengek pada pekerja di rumahnya untuk ikut pergi ke pasar.
Dan kini, ia diberikan kesempatan untuk bisa menikmati momen langka, yang sangat dirindukan saat dirinya masih berstatus sebagai seorang istri dari pria yang sama sekali tidak dicintainya. Untung saja, mimpi buruk itu telah berakhir.
Tak mendapatkan jawaban dari seseorang yang sejak tadi berdiri di belakangnya, membuat Raras harus menoleh, dan memastikan apakah seseorang tersebut masih berada di sekitarnya.
“Mahesa?” tanya Raras lagi pada sang adik.
“Ada apa, Mbak?” jawab pria itu dengan nada lesu.
“Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Aku merasa sedikit tidak nyaman berada disini,” Mahesa merapikan penutup kepala pada Hoodie warna hitamnya.
“Memangnya ada apa? Apakah salah satu dari mantan pacarmu ada yang bekerja di sini?” ujar Raras sedikit meledek.
“Jangan bercanda, itu tidak lucu,” tampik Mahesa dengan tuduhan kakaknya. “Bisakah kita selesaikan ini dengan cepat?”
Jika dilihat kembali, Mahesa memang merasa tidak senang saat ini. Meski masih sangat bingung, Raras berusaha dengan keras agar adiknya itu tidak merasa kesal padanya, karena terlalu lama berbelanja.
“Baiklah, kita akan segera pulang setelah aku membeli ayam sebentar,” Raras bergegas pergi ke tempat penjual ayam potong.
Matanya berbinar, melihat banyaknya ayam yang masih sangat segar dalam berbagai macam jenis. Kebanyakan orang memang memelihara ayam mereka sendiri, jadi semua ayam pasti dijamin dalam kondisi baik.
“Bu, tolong berikan daging ayamnya dua kilo,” Raras menunjuk ke arah daging ayam yang akan dibelinya. “Ditambah sayapnya satu kilo saja.”
Si penjual segera menyiapkan pesanan Raras dengan sangat cekatan. Tak lama kemudian pesannya telah selesai, namun saat Raras hendak membayar, penjual tersebut rupanya memperhatikan ke arah dirinya dan juga Mahesa.
“Bukankah ini Mbak Raras?” tanya penjual itu hati-hati.
Raras tersenyum, merasa jika masih ada orang yang mengenalinya. “Betul, Bu.”
“Wah, benar kan, kalau ini Mbak Raras,” penjual itu tampak sangat antusias. “Sudah lama sekali ya, Mbak. Kapan sampai di kampung ini?”
“Kemarin,” Raras menerima jabatan tangan penjual tersebut tanpa rasa ragu. Begitu juga dengan Mahesa, meski pria itu hanya mengulas senyum kecil tanpa mengatakan apapun lagi.
“Mahesa, apa masih ingat dengan Santi anak saya?” tanya penjual itu dengan suara yang melengking memenuhi hampir setiap sudut pasar. “Dia sudah menikah, tapi sayangnya cerai, anaknya sudah dua.”
Mahesa mengangguk dengan canggung. Ia sempat berpikir, untuk apa hal seperti itu di ceritakan padanya. Padahal Santi sendiri, dulu hanyalah teman sekelas waktu mereka masih berada di sekolah dasar.
“Meskipun bercerai, tapi Santi masih terlihat sangat muda karena menikah di usia yang tepat,” penjual itu lalu kembali menoleh ke arah Mahesa dan Raras secara bergantian. “Kamu sendiri, kenapa belum menikah? Jangan sampai lewat umur lho. Nanti aura perjakanya hilang.”
Dan hal seperti inilah yang sering dihindari oleh Mahesa saat dirinya kembali ke tempat kelahirannya itu. Meski disini hanya ada rumah lama milik kakek dan neneknya saja. Keluarga Mahesa asalnya memang ada di kota, hanya saja dulu Mahesa dan Raras sempat dirawat sebentar oleh kakek dan neneknya di kampung tersebut.
“Dulu Mahesa gemuk, ya? Sekarang berubah jadi sangat tampan,” wanita paruh baya yang berprofesi sebagai penjual ayam potong itu tersenyum dengan sangat mencurigakan ke arah Mahesa, seperti baru saja menemukan buruan yang baru. “Oh ya, Santi sebentar lagi juga akan kesini. Tunggulah sebentar, agar kalian bisa bertemu.”
“Mungkin lain saja, Bu. Saya hari ini buru-buru, Mbak aku duluan,” ucap Mahesa pada Raras, lalu pergi begitu saja meninggalkan sang kakak sebelum semuanya bertambah kacau.
Mahesa bergegas menyusuri keramaian pasar dengan langkah kaki panjangnya. Sesekali kepalanya menoleh ke arah belakang, memastikan jika si wanita penjual ayam potong yang cerewet itu tidak berusaha untuk mengejarnya. Entahlah, ia sama sekali tidak habis pikir kenapa orang-orang seperti itu masih saja ada di kampung ini.
Mahesa mempercepat langkahnya, berusaha dengan keras untuk bisa sampai di rumah dengan cepat, meski harus menembus kerumunan beberapa orang ibu-ibu yang tengah sibuk menawar barang dagangan. Karena terlalu fokus dengan langkahnya, Mahesa sampai tidak melihat jika ada seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.
BUUK..!
Sontak tubuh Mahesa oleng karena bahunya bersenggolan dengan seseorang. Untung saja keduanya tidak ada yang terjatuh, meski begitu Mahesa tetap reflek berbalik dan memeriksa keadaan orang yang baru ditabraknya itu.
“Anda baik-baik saja?” tanyanya dengan cepat.
Di depannya tampak seorang wanita, ia tengah berjongkok untuk membereskan barang belanjaan yang baru saja tercecer di atas jalan.
“Tidak apa-apa. Lagipula saya juga yang kurang hati-hati,” jawab wanita itu tanpa menoleh ke arah Mahesa.
Tanpa pikir panjang lagi, Mahesa ikut berjongkok untuk membantu memunguti barang belanjaan itu. Setelah dipikir, banyak juga barang belanjaan yang dibeli oleh wanita ini. Mahesa dengan sigap mengambil satu bungkus tahu yang hampir saja terinjak oleh pejalan kaki yang lain.
“Saya benar-benar minta maaf,” ucap Mahesa lagi dengan penuh penyesalan.
“Sudah saya bilang tidak apa-apa,” wanita itu kini mengangkat wajahnya, ingin mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Akan tetapi, saat kedua mata mereka bertemu, mendadak wanita itu membeku begitu saja di tempatnya.
Mahesa tampak mengernyitkan dahinya karena bingung. Ada yang aneh dari cara wanita asing itu dalam menatap wajahnya, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu. Namun, apakah mereka pernah bertemu? Pikir Mahesa saat ini.
“Anda pria yang waktu itu, kan?” tunjuk si wanita antusias.
Mahesa justru mengedipkan matanya berulang kali, masih kebingungan. “Mmm…maaf, apakah kita pernah bertemu?”
Si wanita tersenyum canggung. Sepertinya pria yang berada di hadapannya ini benar-benar tidak mengingatnya. Ia mengangkat keranjangnya yang sudah terisi penuh, lalu berucap. “Anda yang menolong saya waktu di dalam kereta, ingat?”
Mahesa memicingkan matanya, berusaha sekuat tenaga untuk mengingat kejadian apa yang ada saat dirinya ada dalam perjalanan di kereta kemarin. Dan ya…ia baru ingat jika pernah membantu seorang wanita yang kebingungan mencari tempat duduk waktu itu.
“Oh! Anda yang waktu itu…!” serunya, saat telah mengingat semuanya.
Wanita itu tersenyum semakin lebar, merasa senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan pria yang menolongnya. “Senang bisa bertemu dengan Anda lagi, nama saya Luna.”
Mahesa ikut tersenyum, “Nama saya Mahesa.”
“Maaf karena saya belum sempat benar-benar berterima kasih waktu itu. Anda sangat membantu, dan memberikan pertolongan meski tidak saling mengenal.”
“Bukan masalah besar, lagipula saya memang duduk sendirian saat itu.”
“Tapi…saya memiliki sesuatu yang lebih penting lagi daripada ini,” Luna tiba-tiba saja mengingat suatu barang milik Mahesa yang ikut terbawa olehnya.
“Apa itu?” tanya Mahesa. Ia menaruh perhatian penuh pada ucapan Luna.
Luna menarik nafas dalam. Merasa ragu untuk mengatakannya karena bisa menimbulkan sebuah salah paham, tapi ia tetap harus berkata jujur. “Maaf…saya bukannya sengaja. Tapi sepertinya, salah satu barang milik Anda ada yang ikut terbawa oleh saya.”
“Sebuah barang? Barang apa, ya?”
“Sepasang cincin…dan itu adalah cincin pernikahan,” jawab Luna.
Seketika itu pula, Mahesa terkejut. Pria itu terdiam dengan manik yang sedikit melebar. Gerakan tubuhnya berubah gelisah dengan wajah yang tegang.
“Jangan khawatir, saya masih menyimpan cincin itu dengan baik. Kita bisa bertemu lagi, agar saya—” ucapan Luna terjeda.
Hal itu dikarenakan mulut Luna yang saat ini secara mendadak di bungkam oleh Mahesa menggunakan sebelah tangannya. Luna membeku, matanya membelalak karena kaget. Tidak bisa mengerti apa yang sedang dilakukan oleh pria asing ini.
“Bisa kita bicara di tempat lain saja?” ucap Mahesa serius.
BERSAMBUNG