Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Nara masuk ke ruangan Pak Herman, jantungnya berdebar kencang. Suasana ruangan terasa sunyi senyap, hanya deru AC yang terdengar.
Pak Herman duduk di belakang mejanya, wajahnya tegang, tangannya mengepal erat. Devan berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Nara, siluetnya terlihat jelas di balik kaca.
Suara detak jam dinding yang berdetak lambat terdengar nyaring, menambah rasa tegang dalam ruangan.
Devan berbalik perlahan, gerakannya terukur dan penuh perhitungan. Tatapannya dingin dan tajam, menembus Nara hingga ke tulang sumsum.
Namun, di balik tatapan dingin itu, terdapat sesuatu yang berbeda. Sebuah ketegangan yang terpendam, sebuah kegelisahan yang samar. “Duduk,” katanya, suaranya datar, tetapi sedikit lebih rendah dari biasanya, lebih berat. Nada suaranya tidak tinggi, tetapi terasa menusuk.
Nara duduk, tangannya terasa gemetar. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang punggungnya. Sepertinya, ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa, Pak?” tanya Nara dengan gemetar, suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru AC yang dingin.
Devan mendorong sebuah berkas tebal ke arah Nara, berkas itu mendarat di meja dengan bunyi dung yang keras, menambah rasa tegang.
“Ini laporan keuangan yang sedang diaudit. Ada beberapa kejanggalan yang perlu Anda periksa ulang. Saya yakin Anda, dengan kemampuan Anda, dapat menemukannya dengan cepat. Jangan sampai ada yang terlewat, Nara. Karier Anda … saya yakin Anda tahu konsekuensinya jika ada yang salah," kata Devan, senyum tipis, dingin, tersungging di bibirnya.
Pria itu tidak mengancam secara langsung, tetapi kata-katanya mengandung ancaman yang terselubung, seperti ular berbisa yang siap menyerang. Tekanan yang dia berikan terasa mencekik, menekan dada Nara hingga sesak napas.
Nara memeriksa sekilas dan langsung melihat beberapa kesalahan, jari-jarinya gemetar saat ia menunjuk beberapa angka yang salah. “Sa-saya lihat memang ada beberapa kesalahan, Pak. Nanti, saya akan periksa dengan lebih teliti lagi dan pastikan semuanya sesuai,” jawab Nara dengan sedikit gugup, suaranya bergetar.
Devan langsung menggebrak meja, suara keras itu membuat Nara tersentak. “Saya tidak mau menunggu nanti! Pekerjaan saya banyak, dan kita harus selesaikan ini sekarang!” Amarahnya meledak, membuat Nara semakin takut.
Nara masih berusaha mencerna kalimat Devan baik-baik, tetapi pria itu dengan tidak sabar kembali bersuara, “Tunggu apa lagi? Ayo, cepat ke ruangan saya! Kamu mau saya bantuin kamu di sini?”
Suara Devan yang penuh penekanan, seperti perintah yang tak bisa dibantah, membuat Nara bergegas mengambil berkas tebal itu. Tangannya gemetar hebat. Dia berdiri dengan gugup, lalu mengikuti Devan yang kini sudah meninggalkan ruangan Pak Herman. Langkah kaki Devan terdengar berat dan cepat.
Dalam hati, Nara berkata, ‘Dia kenapa galak sekali? Apa aku sudah membuat kesalahan? Apa aku sudah membuatnya kesal hari ini?’ Ketakutan dan kebingungan memenuhi pikirannya.
Kepergian Devan yang diikuti oleh Nara, rupanya cukup membuat penasaran karyawan di departemen itu. Bisikan-bisikan memenuhi ruangan, seperti desiran angin yang melewati dedaunan. Mereka saling berbisik, menerka-nerka apa yang terjadi dan membayangkan nasib Nara setelah ini.
Tatapan khawatir dan penuh rasa ingin tahu tertuju pada pintu yang baru saja dilewati Devan dan Nara. Mereka tahu betul, Devan paling ahli membuat mereka tertekan, apalagi kalau sampai dibawa ke ruangannya begitu. Bayangan ketakutan tampak jelas di wajah mereka.
Nara dan Devan masuk lift, udara di dalamnya terasa sesak. Bau parfum Devan yang biasanya menenangkan, kini terasa menusuk hidung Nara.
Ada dua karyawan lagi di dalamnya, keduanya tampak tegang. Dengan ramah, tetapi sedikit gemetar, dua karyawan itu menyapa Devan, “Siang, Pak.”
Devan menekan angka di lift, gerakannya terkesan kasar. Ia menjawab, “Hem, siang. Kenapa kalian berduaan di dalam lift? Kalian pacaran ya?” Nada suaranya dingin dan sinis, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
Nara memperhatikan suaminya yang benar-benar galak, jantungnya berdebar-debar. Di saat yang sama, Devan menoleh ke belakang, tatapannya tajam dan menusuk. Ia menyempatkan diri melirik Nara, sebuah lirikan yang penuh arti.
“Ti-tidak, Pak. Kami berdua mau ke ruang rapat untuk menyiapkan rapat, Pak.” Karyawan pria itu menjawab dengan gugup, suaranya bergetar.
Lift berbunyi ting, menandakan lantai tujuan kedua karyawan itu. Mereka segera pamit, meninggalkan Devan dan Nara yang masih harus naik dua lantai lagi. Suasana di dalam lift terasa lebih berat, lebih mencekam.
Setelah mereka tertinggal berdua di lift, Nara memberanikan diri untuk bertanya, “Kamu kenapa sih? Kerasukan Bara lagi?” Suaranya bergetar, menunjukkan rasa takut dan ketidakberdayaannya.
“Ini di kantor. Ingat, kita harus profesional!” balas Devan dengan suara dingin, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya. Sebuah ancaman yang terselubung.
Sesampainya di ruangan Devan, suasana ruangan yang luas dan modern itu tiba-tiba terasa sempit dan mencekam. Pria itu memberikan laptopnya pada Nara, gerakannya terkesan terburu-buru.
Devan duduk di tepi mejanya dengan kedua tangan dilipat di dada, posturnya tegang dan kaku. “Kita harus menyelesaikan laporan ini hari ini juga,” kata Devan, suaranya datar dan dingin, tanpa sedikit pun kelembutan yang biasa Nara temukan di rumah.
Nara yang duduk menghadap laptop, kini menatap suaminya yang tampak formal dan sangat berbeda dengan suaminya di rumah. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan orang asing.
Wajah Devan yang biasanya hangat, kini terlihat keras dan dingin. Nara jadi khawatir kalau yang ada di hadapannya adalah Bara, bukan Devan. Ketakutan itu menusuk hatinya seperti pisau tajam.
“Jadi kita akan lembur … Pak Devan?” tanya Nara gugup, suaranya hampir tak terdengar.
“Ya. Kalau perlu kita tidur di sini,” jawab Devan. Ia langsung mengambil remot di mejanya dan menutup seluruh jendela kaca dengan remot itu.
Ruangan yang tadinya terang benderang, kini menjadi redup dan sunyi. Suasana berubah drastis, dari profesional menjadi pribadi dan intim. Kegelapan itu seakan-akan menyembunyikan sesuatu.
Begitu ruangan tertutup rapat dan dipastikan tidak ada yang melihat mereka, tiba-tiba Devan mendaratkan kecupan di bibir Nara. Ciuman yang mendadak dan tak terduga.
“Gimana? Kamu kaget ya?” tanya Devan, suaranya kini terdengar lebih rendah dan lebih dalam, seakan-akan ada sesuatu yang berbeda di balik kata-katanya.
Nara tertegun. Ciuman itu, walaupun singkat, menimbulkan gelombang kejutan yang luar biasa. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Apakah ini Devan yang sebenarnya? Atau Bara yang sedang menyamar?
***
Kira-kira ini Devan atau Bara gaess? 🤭🤭🤭
Like, komen, dan vote-nya jangan ketinggalan 😍😍
buat meramaikan suasana 😂
emang mau hajatan😂😂😂