Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Gedung Black Diamond
"Wahh, kamu pinter juga ya, Man," puji seorang pria pada pria lain bernama Dorman. Dia dan satu rekan lainnya tidak menyangka, akan dengan mudah, masuk ke dalam gedung pencakar langit yang memiliki keamanan cukup tinggi.
"Kan, aku sudah bilang, aku sudah tahu banyak seluk beluk gedung ini," jawab Dorman angkuh. "Alat penyadap suara saja bisa sampai di ruang presdir, apa lagi hanya menyusup ke dalam kaya guni, sangat mudah," ucapnya angkuh.
"Alat penyadap? Keren kamu," puji rekan dua. "Emang buat apa kamu menaruh alat penyadap segala?"
"Tentu saja urusan bisnis," jawab Dorman cepat. "Kalau bisa mengetahui rahasia perusahaan ini, kan lumayan. Bisa aku jual ke pihak musuh. Pasti bakalan laku mahal karena perusahaan ini pasti banyak yang menginginkannya."
"Wahh, benar juga," balas rekan dua lalu dia mengedarkan pandangan matanya ke sekitar tempat mereka berada. Semua nampak gelap. Kalau bukan karena senter yang mereka gunakan di kepala serta yang ada di tangan, mereka mungkin tidak bisa memperhatikan tempat itu dengan jelas.
"Kita lewat mana sekarang?" tanya rekan satu.
"Tunggu dulu," Dorman melangkah menuju ke salah satu arah. "Kita harus cari kunci dulu, agar bisa masuk ke ruangan yang kita tuju." Di tempat tujuan, tangan Dorman meraih sebuah kotak yang menempel pada dinding. "Ah, sialan dikunci," dia lantas menoleh. "Bro, buka kotak ini."
"Ok," salah satu dari rekan Dorman maju sambil mempersiapkan alat yang dia bawa. Tak butuh waktu lama, kotak yang digunakan untuk menyimpan kunci berbagai ruangan, bisa dibuka dengan paksa.
Dorman mengetahui tempat kunci itu, karena tempat keberadaan mereka, merupakan ruangan yang digunakan untuk petugas kebersihan. Kunci-kunci beberapa ruangan sengaja ditaruh di sana, untuk memudahkan para petugas kebersihan masuk ke dalam ruangan jika mereka hendak melakukan pekerjaan lebih pagi dari karyawan lainnya.
Dorman pun mencari kunci ruangan yang dituju. Setelah dapat, dia segera mengajak dua rekannya meninggalkan ruangan tersebut.
"Kita naik lewat mana nih? Kayanya lift nya mati deh," ujar rekan satu.
"Kita lewat tangga darurat," jawab Dorman.
"Waduh, yang ada kita bakalan capek duluan, Man," keluh rekan dua. "Apa lagi ruangan yang kita tuju ada di lantai 26."
Dorman tersenyum. "Ya gimana lagi. Kalau kita menyalakan lift, yang ada petugas keamanan akan menyadari, di dalam gedung ada orang. Sedangkan jam segini, nggak mungkin ada orang yang masih lembur. Paling aman hanya lewat tangga darurat."
"Iya juga sih," rekan dua menyadari apa yang dikatakan Dorman memang benar. Mereka lantas melangkah menuju pintu, dimana letak tangga darurat berada.
Awalnya mereka nampak semangat saat pertama kali menginjakan kaki mereka di anak tangga pertama. Tapi makin lama, ketika makin naik, semangat mereka mulai kendor karena rasa lelah mulai menggerogoti tubuh mereka.
"Gila!" keluh rekan satu dengan nafas yang sudah menderu. "Bisa-bisanya aku naik tangga sebanyak ini," ucapnya setelah merobohkan tubuhnya ke lantai. Bukan hanya dia, Dorman dan rekan satunya juga melakukan hal yang sama.
Beberapa kali mereka berhenti untuk istirahat sejenak agar tenaga mereka tidak benar-benar habis. Dan sekarang, mereka telah sampai pada lantai tujuan, setelah menghabskan waktu hampir satu jam menaiki anak tangga.
Ketiganya istirahat sekitar tiga puluh menit. Setelah rasa lelah berangsur hilang, mereka segera masuk ke dalam ruangan yang menjadi tempat kerja Livia serta karyawan lainnya di bawah pimpinan wanita tersebut.
"Waduh, ini pakai kode, Man," ucap rekan dua kala dirinya berdiri di depan ruangan khusus sebagai kantor Livia.
Mereka memang berhasil masuk ke dalam ruangan area kerja Livia dan karyawannya. Tapi untuk Livia sendiri ada ruangan khusus dan letaknya di dalam ruangan yang dimasuki Dorman saat ini.
"Ah. sial! Kenapa aku nggak kepikiran hal penting kaya gini," Dorman pun jadi kesal. "Aku lupa kalau ruangan orang orang penting perusahaan ini, sudah menggunakan kode atau fitur scan wajah untuk masuk ke ruangan mereka."
"Aduh, gimana dong, Man, masa kita sudah sampai sini, nggak dapat apa-apa?"
"Iya, Man, terus kalau benda yang kita cari nggak ada di dalam, gimana? Sia sia dong usaha kita."
Dorman tidak langsung menjawab. Pria itu terdiam untuk mencari solusi, meski dia juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan dua rekannya.
Di saat itu juga, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara dan lampu yang menyala di depan ruang kantor.
"Sial, ada orang!" tanpa pikir panjang ketiganya langsung merunduk dan mencari tempat untuk sembunyi. Setelah mendapat tempat yang dirasa aman, mereka mendengar beberapa suara pria yang ternyata memasuki ruangan yang sama.
"Ngapain Harvez jam segini datang ke kantor dan masuk ke ruangan Livia?" gumam Dorman kala menyadari suara yang dia dengar merupakan suara orang yang dia kenal. "Apa dia juga datang untuk mengambil notebook itu? Wah, bisa gawat kalau kaya gini."
Sementara itu di pihak Harvez, tiga pria yang diberi tugas oleh Hernandez, nampak sangat santai saat memasuki area kerja Livia.
"Barangnya ditaruh dimana sih?" tanya Hendrik mengikuti langkah Harvez.
"Paling di ruangan Nyonya," Patrik yang menjawab. "Itu kan barang barangnya Nyonya."
"Iya, aku tahu kalau itu," balas Hendrick. "Tapi kan barang yang kita cari itu barang mati dan bukan milik Nyonya, kali aja ditaruh di tempat lain."
"Kita cari dulu, kalau nggak ketemu, baru kita tanyakan pada Tuan," ucap Patrick lagi. Sedangkan Harvez, dengan santainya memencet beberapa tombol dan berhasil membuka pintu ruangan khusus yang digunakan Livia.
Mereka pun segera mencari barang yang dimaksud dan itu tidak memakan waktu yang lama karena barang itu berada di laci meja kerja Livia.
"Ya elah, tahu mudah begini, ngapain tadi aku ikut ke sini," gerutu Hendrick begitu barang sudah di tangan Harvez.
"Emangnya kamu mau, melawan perintah Tuan besar?" hardik Patrick rada kesal. Tapi Hendrick malah cengengesan.
"Sudah, yok, kita pulang," ajak Harvez dan mereka segera keluar dari ruang kerja Livia.
"Nggak semudah itu," tiba-tiba sebuah suara menggema membuat tiga orang itu serentak terkejut.
Bukan itu saja, Mereka kembali terperangah saat melihat tiga sosok muncul di ruangan yang sama dengan kepala wajah tertutup cindung khusus khas pencuri.
"Siapa kalian!" hardik Harvez.
"Nggak perlu tahu siapa kita, yang harus kamu tahu, serahkan barang itu, sekarang juga, cepat!"
Harves tercenung beberapa saat sembari menatap barang yang dia pegang.
"Kalau nggak, terpaksa, kita harus merebutnya menggunkan kekerasan!" ancam pria yang sama.
Namun. reaksi yang ditunjukan Harvez justru membuat ketiga orang berpenutup wajah terkejut. Mau tidak mau, mereka pun harus menyerang karena sikap yang ditunjukan Harvez adalah sikap menantang.