Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Saat sedang menangis, pandangan raisa tertuju pada sajadah dan mukena yang tersimpan rapi di dalam lemari yang pintu nya sedikit terbuka.
Tangisnya perlahan mereda. Ia merenung, "Selama ini aku terlalu jauh dari Tuhanku," lirihnya pelan, dengan tatapan sendu ke arah lemari.
Dia bangun dari duduk nya, kaki nya melangkah menuju lemari. Dia buka lemari tersebut denga perlahan. Terlihat jelas di sana mukena dan sajadah yang tersimpan rapi di dalam nya. Sangat rapih .
Tangan Raisa bergetar saat mengelus mukena dan sajadah itu. Air matanya kembali jatuh. "Maafkan aku, ya Allah. Aku terlalu jauh dari-Mu," bisiknya sambil meraih mukena dan memeluknya erat.
Keesokan nya..... Raisa sudah siap , dia berdiri di depan cermin rias nya. Memakai kerudung yang senada dengan gamis nya membuat semakin cantik dan manis.
"Sayang..mau kenama cantik sekali" puji iwan yang sedikit heran saat melihat istri nya memakai kedurung dan gamis yang menutup semua aurat nya.
"Aku ingin pergi pengajian mas."jawab nya dengan nada dingin.
Setelah melihat postingan arin, sikap raisa semakin dingin terhadap iwan. Membuat iwan merasa heran .
Saat raisa melangkah keluar tangan nya sedikit di tarik oleh iwan ,sehingga membuat raisa sedikit terhuyung hampir terjatuh.
"aduh....apaan sih mas?!" tanya nya dengan nada ketus. Raisa memasang wajah kesal di hadapan suami nya.
"Sa... Ada apa sih sebenar nya?kenapa kamu begitu ketus dan dingin sekarang?"tanya iwan dengan heran.
"Serius mas...kamu tidak menyadari kesalahan mu apa?" ucap nya berbalik bertanya pada iwan.
"Jelaskan saja raisa...mas terlalu pusing memikirkan masalah mas kenapa kamu malah menambah nya." jawab iwan dengan nada prustasi. Bahkan dia mengacak rambut nya menahan kekesalan yang dia pendam.
"Sudahlah, Mas... Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas ini. Aku harus pergi," ucap Raisa, lalu melangkah pergi, meninggalkan Iwan yang terdiam mematung.
Namun, saat raisa hampir sampai di pintu kamar. Iwan berkata dengan lantang " aku tidak mengizinkan mu pergi raisa!"
Raisa menghentikan langkah nya, tangan nya menggantung di udara. Dia berbalik arah mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.
"baik!"jawab nya dingin. Dia kembali melangkah berbalik arah ,mengurungkan niatnya untuk pergi. Bagaimana pun izin suaminya lebih penting baginya.
"Mas mohon raisa, jangan seperti ini. Mas sangat tersiksa."lirih nya pelan .
"Apa mas berfikir tentang perasaan ku saat kalian semua berkumpul dan foto bersama saat wisuda atin tanpa ku?" jawab raisa dengan tatapan yang sudah berkaca-kaca.
Iwan terdiam, tubuh nya membeku. Iwan mengira jika istrinya tidak akan membahas ini semua, ternyata belakangan ini sifat cuek dan dingin nya karena itu.
"jika kamu tidak menganggap ku sebagai istrimu , lebih baik kita sudahi saja mas. Aku lelah!" ucap nya lagi, berusaha menatap suaminya dengan tatapan tegas dan bersungguh- sungguh.
"Apa maksud mu sa? Jangan seperti itu...aku..aku benar-benar menyayangi mu!"jawab nya dengan cepat. Bahkan tangannya meraih tangan sang istri. Namun, dengan cepat raisa menepis nya dengan kuat.
"Selalu saja itu yang kamu katakan mas! apa tidak ada perkataan lain selain membual seperti itu hah?" sela raisa dengan tatapan nyalang.
"Mas, aku hanya ingin kamu tegas terhadap keluargamu. Aku istrimu, aku yang seharusnya paling kamu lindungi," ucapnya lantang, menahan tangis.
"Aku mohon mas...aku hanya memiliki mu, Kamu sendiri tahu keluargmu tidak menganggap ku ada. Jika bukan kamu yang membela ku siapa lagi mas?" Raisa sudah sangat lelah, dia menangis terisak di hadapan suaminya. Dengan terus mengomel raisa menangis.
Iwan terdiam menatap Raisa yang menangis. Hatinya terasa perih, apalagi melihat wajah istrinya yang memerah karena menahan tangis dan amarah.
"Sa, maafin mas... Mas gak pernah niat bikin kamu sakit hati. Mas bingung harus gimana, Sa. Kamu tahu sendiri gimana ibu dan keluarga mas. Mas terjepit di tengah-tengah," lirih Iwan menunduk, merasa malu pada dirinya sendiri.
Raisa menyeka air matanya kasar. "Mas terjepit? Aku istrimu, Mas! Aku yang harusnya kamu lindungi, bukan malah kamu abaikan. Aku gak butuh janji manis, aku cuma butuh kamu berpihak sama aku. Aku gak butuh dibela di depan orang lain, tapi aku butuh dihargai sebagai istri mas!" ucap Raisa keras dengan air mata yang terus mengalir.
Iwan semakin terpojok. Dalam benaknya, kembali terputar kejadian saat hari wisuda Atin.
Flashback
"Iwan, jangan kerja hari ini. Ibu sudah izin ke atasan kamu, sehari aja. Ibu butuh kamu temenin ke acara Atin. Kamu tahu sendiri kan, dia adik kamu satu-satunya," kata Bu Atun dengan nada memaksa.
Iwan yang saat itu sudah siap berangkat kerja hanya bisa diam. "Tapi, Bu, aku ajak Raisa ya? Kasihan dia, pasti pengin ikut."
Belum sempat iwan menelpon Raisa, Atun langsung menahan tangannya.
"Udah, Wan. Gak usah bawa Raisa. Nanti malah ribet. Kita udah telat, lagian kamu aja cukup. Hitung-hitung mewakili dia juga."
Iwan ragu. "Tapi, Bu, masa Raisa gak diajak? Dia kan istri iwan."
Atun memandang Iwan tajam. "Kamu ini gimana sih? Ini acara keluarga kamu, Iwan. Jangan bikin ribet! Lagian Atin juga penginnya kita-kita aja. Sudah, cepetan ganti baju, ini Batik buat kamu. Kita pergi sekarang."
Dengan perasaan tak enak, akhirnya Iwan setuju. Sari, sempat bertanya, "Wan, Raisa mana?"
Namun, Atun buru-buru menyela, "Ah, gak sempat bawa Raisa, nanti malah telat. Kasihan Atin."
Iwan hanya bisa diam, hatinya tak nyaman.
Flashback End
Dan sekarang, semua perasaan bersalah itu meledak di hadapannya, dalam bentuk tangisan Raisa yang hancur.
"Sa, maafin mas. Mas salah. Mas nyesel gak bawa kamu waktu itu. Mas harusnya lawan keluarga mas demi kamu."
Raisa masih menangis, tapi dia mulai melemah. "Aku gak butuh kamu nyesel mas, aku cuma mau mas ngerti perasaan aku. Aku selalu nerima keadaan mas, meskipun mas cuma buruh, meskipun kita gak punya apa-apa. Tapi, harga diri aku mas... harga diri aku diinjak-injak kayak aku gak ada harganya."
Iwan memegang kedua tangan Raisa, kali ini Raisa tak menepis.
"Mas janji Sa, mulai sekarang mas bakal lebih berpihak sama kamu. Mas janji gak akan lagi biarin orang lain ngeremehin kamu. Mas tahu kamu istri yang baik, istri yang selalu dampingin mas."
Raisa menatap mata suaminya, mencari kejujuran di sana. "Mas serius?"
Iwan mengangguk mantap. "Serius, Sa. Mulai sekarang kamu prioritas mas. Mas janji!"
Raisa menarik napas panjang, menenangkan dirinya. "Baiklah mas, aku coba percaya sama mas lagi. Tapi mas harus buktiin."
"Iya Sa, mas janji."
Raisa tersenyum tipis, meski matanya masih sembab. "Aku mau lanjut pengajian, mas. Aku butuh ketenangan hati. Kalau mas masih sayang aku, tolong izinin aku."
Iwan mengangguk pelan, akhirnya merelakan. "Iya, Sa. Mas izinin. Hati-hati ya, sayang."
Perlahan Raisa pun keluar rumah, meninggalkan Iwan yang masih berdiri mematung, merenungi segala kesalahannya.
Di luar, Raisa menghela napas panjang. Di dalam hati, dia tahu luka ini masih lama sembuh. Tapi setidaknya, ada harapan baru. Harapan bahwa mungkin, Iwan benar-benar akan memperjuangkannya kali ini.