para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Detik-detik menegangkan itu tiba saat diskusi mereka terhenti oleh keriuhan di luar rumah. Suara gemuruh samar-samar terdengar, mengusik ketenangan. Fahri, tanpa ragu, mengintip dari balik jendela. Matanya membulat.
"Wah, ini ada apa gerangan?" Ucapnya, jantung berdebar. Ia kembali bergabung dengan teman-temannya, wajahnya pucat.
Pak Prabu dan Pak Parno, dengan sigap, berdiri dan melangkah keluar. Queen dan yang lain mengikutinya, rasa penasaran dan sedikit ketakutan memenuhi hati mereka. Di depan rumah, beberapa warga telah berkumpul, wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan yang teramat jelas. Suasana mencekam mulai menyelimuti.
"Ada apa ini, Bapak-bapak dan Ibu-ibu?" tanya Pak Prabu.
Salah seorang bapak-bapak, dengan suara bergetar, menjawab, "Pak... lebih baik suruh mereka pergi dari desa ini... Sebelum desa kita kembali dilanda malapetaka karena mereka...Kami tau di dalam sedang ada yang kerasukan kan. Itu pasti mereka, mereka akan membawanya,dan nanti anak-anak kita lagi ikut jadi korban. "
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh ancaman."Tenang, Bapak, Ibu," kata Pak Prabu.
"Saya sedang berupaya menyelesaikan masalah ini. Mohon kesabarannya."
Namun, kata-kata itu tak sepenuhnya mampu meredakan ketegangan.
"Tapi kami tak mau mereka di sini, Pak! Bagaimana jika malapetaka itu datang lagi?" Seruan lain menggema.
"Memangnya kami salah apa? Kami tak pernah melakukan hal yang salah!" Arin membentak, amarahnya meluap.
Queen dengan sigap menarik tangan Arin, mencoba meredam emosinya.
"Baiklah, Bapak, Ibu, silakan pulang. Saya akan berbicara dengan mereka. Saya berjanji, kejadian masa lalu tak akan terulang," kata Pak Prabu, suaranya tegas.
"Bapak janji ya, kalau sampai terjadi lagi kami gak akan segan-segan mengusir mereka malam ini juga. "
"Baiklah, saya mengerti. Bapak tenang saja, saya akan mengatasinya."
Perlahan, warga membubarkan diri, meninggalkan Pak Prabu dan rombongan. Rasa lega membasahi hati Queen, namun hanya sebentar. Tatapannya menyapu sekitar, menemukan sesuatu yang ganjil.
"Aneh... kenapa tidak ada pemuda dan anak-anak di desa ini? Hanya orang tua saja. Apakah mereka pindah ke kota?" Gumam Queen.
"Pak, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mereka takut akan malapetaka? Dan apa yang pernah terjadi di desa ini?" Pertanyaan Queen mewakili rasa penasaran semua orang. "Selain itu, kenapa tidak ada anak muda di sini?"
Pak Prabu tampak terbebani, raut wajahnya mencerminkan beban berat yang selama ini dipikulnya. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Mari kita masuk," ajaknya lirih. Ia berjalan menuju kursi panjang dari kayu di ruang tengah, duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Yang lain mengikutinya, keingintahuan dan kecemasan bercampur aduk dalam hati mereka.
"Sejak nenek moyang kita, desa ini dijaga dengan ketat. Tak boleh ada yang menodai atau menghinanya," Pak Prabu memulai kisahnya, suaranya bergetar.
"Gapura itu... itulah batas antara dunia nyata dan dunia gaib. Dulu, pernah ada pendatang yang melanggar larangan, masuk ke gapura itu... dan dia meninggal. Lebih mengerikan lagi, mereka mengamuk dan banyak anak muda desa kita yang diambil... oleh mahluk gaib itu. Sejak saat itu, ketika anak-anak mencapai usia remaja, kami memindahkan mereka ke kota, atau menitipkan mereka pada keluarga jauh."
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi detak jantung yang berdebar kencang. Tatapan mereka bertemu.
"Itulah sebabnya saya melarang kalian mendekati gapura itu,warga desa takut jika masa kelam itu terjadi lagi. Mereka takut jika anak-anak mereka di renggut dari mereka. " kata Pak Prabu, suaranya berat.
"Lalu, Wati? Apakah yang ada di dalam tubuh Wati adalah salah satu penunggu gapura itu, Pak?" Baskoro bertanya.
"Astaga, kalau begini, kita harus pulang malam ini juga!" Valo panik, ketakutan tergambar jelas di wajahnya.
"Tidak semudah itu," Pak Prabu menggeleng. "Kalian tidak bisa pergi selama Wati masih seperti ini. Dia akan tetap begini, meski kalian meninggalkan desa ini. Dan saya juga belum bisa memastikan siapa yanga ada di tubuh nak Wati. "
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?" Arjuna bertanya, putus asa.
Pak Parno menimpali, "Sabar dulu. Pak Prabu akan mencoba mengobati Wati lagi. Masalahnya, kita berhadapan dengan makhluk gaib. Setelah Magrib, Pak Prabu akan kembali mengobatinya."
Matahari merunduk, meninggalkan jejak jingga menyala di langit senja. Kegelapan perlahan menyelimuti Desa Menoreh, menambah suasana mencekam yang telah mencengkeram hati mereka.
Tiba-tiba, suasana tegang di ruang tengah terusik oleh kedatangan sosok yang tak terduga. Baghawati. Wati, atau lebih tepatnya, tubuh Wati yang dirasuki, melangkah dengan anggun, tangan terkatup di depan dada bak seorang putri keraton. Langkahnya teratur dan pelan, menciptakan aura misterius yang menakutkan.
Arjuna dan Valo, yang berdiri di dekat Pak Prabu, segera memberi jalan. Tak seorang pun berani menegur, mereka tahu itu bukanlah Wati yang sebenarnya. Sosok itu duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Pak Prabu. Pak Prabu memberi hormat, kedua tangannya terkatup di depan dada, lalu duduk di sampingnya.
"Kulo nyuwun pangapunten, panjenengan sinten?" Tanya pak Prabu dalam bahasa Jawa. "Lan punapa sebabipun panjenengan wonten ing badan anak punika?"
(Siapakah Anda? Mengapa Anda berada di tubuh anak ini?)
Senyum tipis mengembang di bibir Wati, tubuhnya tegap bak patung. "Aku Ajeng.Aku tresna marang anak iki. Panjenenganipun punika turunan kula, kula badhe nggawa saha nglindhungi panjenenganipun saking tiyang jahat ingkang badhe ngganggu. Sampun ngalang-alangi kula manawi panjenengan badhe slamet,"
(Saya Ajeng.Aku sayang sama anak ini. Dia adalah keturunanku, aku akan membawanya dan melindunginya dari orang jahat yang akan mengganggunya. jangan halangi aku kalau kamu ingin selamat.)
tegas Wati, tatapannya tajam menyapu penghuni ruangan. Aura dingin terpancar darinya, seakan menusuk hingga tulang sumsum.
Pak Prabu hanya mampu mengangguk tertunduk, suaranya nyaris tak terdengar, "Nggeh. Kula mboten badhe ngganggu panjenengan." Dadanya sesak, keringat dingin membasahi dahinya.
Wati bangkit, tubuhnya memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Ia membungkuk sekilas, lalu berlalu menuju kamarnya. Langkahnya tenang, namun meninggalkan kesan yang menggetarkan.
Pak Prabu menghela napas panjang, lega. Barusan ia merasakan tekanan dahsyat, sebuah kekuatan gaib yang membuatnya tak berdaya. Sosok yang merasuki Wati—nenek moyangnya—memiliki aura yang sangat kuat, sekuat cinta dan tekad untuk melindungi Wati, sekaligus membawanya pergi.
Baghawati, darah keraton masih mengalir deras dalam dirinya. Ia tahu, leluhurnya adalah seorang putri kerajaan, dan kekuatan gaib yang dimilikinya mewarisi keagungan masa lalu. Pak Prabu menyadari, ia tak akan mampu melawan kekuatan itu; aura gaib yang terpancar begitu kuat.
"Saya pamit pulang dulu, menyiapkan keperluan ritual nanti malam. Setelah Isya, saya akan kembali," Pak Prabu dan Pak Parno meninggalkan tempat itu.
Arin mendengus kesal dari kursinya. "Percaya sama hal-hal begituan? Orang sakit ya dibawa ke rumah sakit, bukan ke dukun!"
Baskoro menggeleng pelan. "Ini bukan sakit biasa, Rin. Kau sendiri melihat bagaimana keadaan Wati tadi. Bahkan kita bertiga saja kesulitan mengangkatnya."
Arin memutar bola matanya, "Ah, mungkin cuma lemas aja kalian makanya gak bisa ngangkat. Terserah kalian saja. Kalau terjadi apa-apa, jangan salahkan aku," gerutunya, lalu pergi meninggalkan mereka .
Queen duduk tertunduk, air mata tak henti mengalir. Putus asa memenuhi hatinya. Melihat sikap Arin yang acuh tak acuh semakin menambah beban pikirannya. Baskoro mengusap lembut punggung Queen, mencoba menenangkannya.
"Sabar, Queen. Kita pasti bisa membawa Wati pulang dengan selamat. Jangan menyerah, ya? Kita harus yakin,"
Queen menghapus air matanya, mencoba tegar. Ia menegakkan tubuhnya, sekuat tenaga melawan keputusasaan.
"Iya, Bas. Terima kasih,"
"Dasar Arin! Gak pernah peduli sama anggota sendiri. Nanti kena batunya baru tahu rasa!" gerutu Fahri.
Valo menenangkannya, "Sudahlah, Fahri. Masalahnya sudah cukup rumit. Biarkan saja Arin."
Queen angkat bicara, "Kalian mandi gih. Nanti kita gantian jaga Wati."
Fahri langsung menyahut, "Oalah, iya juga ya. Dari tadi belum mandi."
Daffa menyela, "Gue udah mandi kok."
Fahri menarik tangan Valo, "Ya udah, gue mandi dulu. Ayo Valo, gue takut sendiri."
Mereka pergi, meninggalkan Queen dan Daffa yang tengah menjaga Wati. Daffa mendekat, duduk di samping Queen di kursi panjang.
"Kau terlihat lelah, Queen,"
Queen menatap wajah Daffa, merasa sedikit lebih tenang. "Aku baik-baik saja. Memang lelah, tapi tak mungkin istirahat selama Wati seperti ini."
Daffa menatap Queen dengan penuh perhatian. "Kau juga harus menjaga kesehatanmu, Queen. Kalau kau sakit, bagaimana kita? Tidurlah sebentar." Ia menepuk pahanya, menawarkan tempat beristirahat.
Pipi Queen memerah. Ia menggeleng malu, namun Daffa dengan lembut menariknya dan meletakkan kepala Queen di pahanya. Usapan lembut Daffa di pundak Queen membuatnya merasa nyaman dan tertidur nyenyak.
.
.
BERSAMBUNG...