Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat Gagal
Sephia dan Sania tertawa riang saat memasuki rumah baru mereka. Rumah yang lebih besar dan nyaman itu adalah hadiah pernikahan dari Dito untuk Mutia dan kedua putrinya. Mereka berdua langsung berlarian menjelajahi setiap sudut rumah baru mereka, merasa gembira dengan kamar baru yang lebih luas dan halaman belakang yang asri.
"Wah, kamar kita besar sekali, Kak!" seru Sania, matanya berbinar-binar melihat kamar barunya yang didominasi warna pink kesukaannya.
"Iya, Sania! Kita bisa menata kamar kita sesuka hati," balas Sephia, tak kalah antusias dengan kamar barunya yang bernuansa biru langit.
Mutia tersenyum haru melihat kebahagiaan kedua putrinya. Ia merasa lega karena Dito telah memberikan tempat yang nyaman dan aman bagi mereka. Ia tahu, pindah ke rumah baru ini akan menjadi awal yang baik bagi keluarga kecil mereka.
Dito memperhatikan interaksi Mutia dengan kedua putrinya dengan senyum hangat. Ia merasa bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Ia tidak pernah memaksa Sephia dan Sania untuk segera memanggilnya papa, ia ingin kedua gadis kecil itu merasa nyaman dan menerima kehadirannya secara alami.
Saat mereka sedang berkumpul di ruang keluarga yang luas, Sephia tiba-tiba menatap Dito dengan mata berbinar. "Papa, ayo kita main!" ajaknya dengan riang.
Dito terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar. Ia merasa terharu mendengar Sephia memanggilnya papa. Ia menatap Mutia, yang juga tersenyum bahagia.
"Tentu saja, Sayang," jawab Dito, mengacak-acak rambut Sephia dengan lembut. "Kita main apa?"
Sania, yang mendengar kakaknya memanggil Dito papa, ikut-ikutan. "Papa, Sania juga mau main!" serunya sambil menarik-narik tangan Dito.
Dito tertawa bahagia, ia merasa diterima sepenuhnya oleh kedua putri Mutia. Ia merangkul Sephia dan Sania, merasa bahwa kebahagiaan Mutia adalah kebahagiaannya juga.
"Kalian berdua memang anak-anak papa yang hebat," ucap Dito, mencium kening kedua gadis kecil itu.
Mutia menatap pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sangat bahagia dan bersyukur. Ia tidak pernah menyangka akan menemukan kebahagiaan seindah ini setelah melewati masa-masa sulit. Ia tahu, Dito akan menjadi ayah yang baik bagi Sephia dan Sania, dan ia akan menjadi suami yang selalu mencintainya.
Malam harinya, saat mereka makan malam bersama di ruang makan baru, suasana terasa hangat dan penuh keakraban. Sephia dan Sania dengan ceria memanggil Dito papa, menceritakan kegiatan mereka seharian. Dito mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menimpali cerita kedua gadis kecil itu dengan candaan yang membuat mereka tertawa.
Mutia memperhatikan interaksi Dito dengan kedua putrinya dengan senyum bahagia. Ia merasa damai dan tenteram berada di tengah-tengah keluarga kecilnya. Ia tahu, badai pasti akan berlalu, dan kini saatnya ia menikmati kebahagiaan yang telah menantinya. Rumah baru ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol awal kehidupan baru mereka, kehidupan yang lebih baik dan penuh cinta.
****
Lestari mengawasi rumah Ahmad dan Leha dari kejauhan, matanya menyala-nyala penuh dendam. Rumah sederhana itu, bagi Lestari, adalah simbol kebahagiaan Mutia yang ingin ia hancurkan. Ia menggenggam erat senjata tajam yang ia sembunyikan di balik jaketnya, bersiap melancarkan serangan.
"Ini akan menjadi pelajaran bagi kalian semua," geram Lestari pelan, membayangkan betapa terkejut dan ketakutannya Mutia dan keluarganya nanti. Ia sudah merencanakan dengan matang bagaimana ia akan menyakiti mereka, membuat mereka merasakan kepedihan yang sama seperti yang ia rasakan.
Dengan langkah mengendap-endap, Lestari mendekati rumah Ahmad dan Leha. Ia mengamati sekeliling, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Jantungnya berdebar kencang, antara rasa takut tertangkap dan keinginan kuat untuk membalas dendam.
Namun, belum sempat Lestari melakukan aksinya, seorang warga lokal yang kebetulan melintas melihat gerak-gerik mencurigakan wanita itu. Instingnya mengatakan ada yang tidak beres.
"Hei! Kamu mau apa di situ?!" teriak warga itu lantang, membuat Lestari terperanjat.
Teriakan itu sontak menarik perhatian warga lainnya. Beberapa orang mulai keluar dari rumah mereka, menatap Lestari dengan curiga. Lestari merasa panik, rencananya gagal lagi. Ia tidak menyangka akan ada warga yang melihatnya.
"Aku... aku hanya lewat," jawab Lestari gugup, mencoba menyembunyikan senjata di balik jaketnya.
"Lewat malam-malam begini dengan wajah tertutup?" sahut warga lain dengan nada sinis. "Kamu pasti punya niat buruk!"
Lestari merasa terpojok. Ia tahu ia tidak bisa berlama-lama di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia segera berlari menjauhi rumah Ahmad dan Leha, diikuti tatapan curiga dan teriakan warga.
"Awas kalau kamu berani macam-macam di kampung kami!" teriak salah seorang warga dengan nada mengancam.
Lestari terus berlari, tidak menghiraukan teriakan warga. Ia merasa kesal dan marah karena rencananya kembali gagal. Ia tidak mengerti mengapa selalu ada saja halangan yang membuatnya gagal membalas dendam pada Mutia.
"Sial!" umpat Lestari dalam hati. "Kalian semua akan menyesal! Aku tidak akan menyerah begitu saja!"
Meski gagal kali ini, Lestari tidak akan berhenti. Dendamnya pada Mutia sudah mendarah daging, dan ia akan terus mencari cara untuk membalasnya. Ia bersumpah dalam hati, Mutia dan keluarganya akan merasakan penderitaan yang setimpal. Ia akan kembali, dan ia akan memastikan rencananya berhasil.
Lestari menghilang di kegelapan malam, meninggalkan warga yang masih berjaga-jaga dan Ahmad serta Leha yang tidak menyadari bahaya yang baru saja mengintai mereka. Sementara itu, di benak Lestari, rencana jahat lainnya mulai tersusun, lebih licik dan lebih berbahaya dari sebelumnya.
****
Sutirah akhirnya harus berurusan dengan pihak berwajib setelah Ahmad dan Leha melaporkan tindakannya yang membuat onar di kediaman mereka. Dengan wajah masam, wanita tua itu digiring ke kantor polisi untuk diinterogasi. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, polisi memutuskan untuk melakukan mediasi antara Sutirah dan mantan besannya.
Di ruang mediasi yang dingin dan formal, Sutirah duduk berhadapan dengan Ahmad dan Leha. Awalnya, Sutirah memasang wajah keras kepala, enggan mengakui kesalahannya. Namun, setelah dibujuk oleh polisi dan menyadari potensi hukuman yang menantinya, Sutirah mulai memainkan drama air mata.
"Ahmad, Leha, saya minta maaf," ucap Sutirah dengan suara dibuat-buat serak, air mata palsu mulai membasahi pipinya. "Saya khilaf, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya. Saya sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada Zulfikar."
Ahmad dan Leha saling bertukar pandang. Mereka merasa ragu dengan ketulusan permintaan maaf Sutirah, mengingat betapa besar kebencian wanita itu terhadap Mutia. Namun, demi menghindari perpanjangan masalah dan berharap Sutirah benar-benar menyesal, mereka mencoba bersikap lunak.
"Sutirah, kami mengerti kamu sedang sedih," jawab Ahmad dengan nada hati-hati. "Tapi tindakanmu sudah keterlaluan. Kamu mengganggu pernikahan anak kami dan membuat keributan di rumah kami."
"Saya menyesal, Ahmad," ulang Sutirah, terisak-isak. "Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya hanya ingin anak saya bebas."
Leha menatap Sutirah dengan tatapan menyelidik. "Kami harap kamu benar-benar menyesal, Sutirah," ucap Leha dengan nada tegas. "Jangan pernah lagi mengganggu keluarga kami."
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya tercapai kesepakatan damai. Sutirah berjanji tidak akan lagi mengganggu Mutia dan keluarganya, dan Ahmad serta Leha setuju untuk tidak melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Sutirah merasa lega, ia berhasil lolos dari jeratan hukum.
Namun, di balik wajah penuh penyesalan dan janji-janji manisnya, Sutirah menyimpan dendam yang membara. Begitu keluar dari kantor polisi dan terbebas dari ancaman penjara, topeng kepalsuannya langsung runtuh. Ia menyeringai sinis, matanya memancarkan kebencian yang mendalam.
"Kalian pikir aku benar-benar memaafkan Mutia?" gumam Sutirah seorang diri, langkahnya tergesa-gesa menjauhi kantor polisi. "Tidak akan pernah! Aku bersumpah, aku akan menghancurkan keluarga bahagia itu. Aku akan membuat Mutia menderita seperti anakku menderita!"
Sutirah kembali merencanakan kejahatan, otaknya dipenuhi ide-ide licik untuk menyakiti Mutia dan orang-orang yang dicintainya. Ia merasa bahwa perdamaian hanyalah taktik untuk menghindari hukuman, dan kini saatnya ia melanjutkan misinya untuk membalas dendam. Ia tidak akan berhenti sampai Mutia benar-benar hancur dan menyesali perbuatannya – setidaknya menurut versinya sendiri.