Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Tigabelas
Suara gemericik air memenuhi kamar mandi mewah itu. Enzio berdiri di bawah pancuran, air dingin mengalir membasahi tubuh atletisnya. Namun, meski air dingin mengguyur tubuhnya, pikirannya terasa panas. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan tertentu terus menghampirinya.
Hasrat yang tak terbendung membuat tubuhnya merespon, meski ia mencoba melawannya. Enzio mendesah berat, seolah menyerah pada naluri yang begitu kuat. Dengan sisa kontrol yang ia miliki, ia menuntaskan ritual itu, meski belum sepenuhnya puas. Sensasi yang ia rasakan seperti gigitan semut kecil, tak cukup untuk meredakan seluruh gejolak di tubuhnya.
Setelah selesai, Enzio membersihkan dirinya dengan teliti, lalu meraih handuk dan melilitkannya di pinggang. Rambutnya yang basah dibiarkan menetes, membuat tubuhnya terlihat semakin berkilau di bawah cahaya lampu kamar mandi. Ia melangkah keluar, wajahnya terlihat lebih tenang.
“Huh!”
Enzio keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Matanya langsung mencari keberadaan Anna, tetapi saat menoleh ke tempat tidur, ia tidak menemukannya di sana.
Alisnya bertaut.
“Kemana dia pergi?” pikirnya. Enzio memeriksa pintu kamar, memastikan apakah Anna keluar tanpa seizinnya.
Enzio menghela nafas, rasa khawatir mulai menghampirinya. Namun, ketika ia menoleh ke arah sofa, ia menemukan jawabannya. Anna sedang tidur di sana, meringkuk seperti anak kucing, dengan napas halus yang teratur.
Enzio mendekat kemudian berlutut di depan sofa, mengamati wajah Anna yang tertutup oleh rambut acak-acakan. Dengan hati-hati, ia menyelipkan helai rambut itu ke belakang telinganya, memperlihatkan wajah polos yang tertidur lelap.
“Aku pikir kamu pergi lagi meninggalkanku.”
Anna sama sekali tidak terganggu, malah semakin terlihat nyaman. Dengkur halusnya terdengar samar, membuat Enzio tanpa sadar tersenyum tipis. Wajah Anna saat tidur benar-benar berbeda dari saat ia terjaga.
“Dulu kamu tidak seperti ini,” gumam Enzio pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mengingat masa-masa ketika Anna masih menjadi gadis kecil yang tenang, hangat, dan tak pernah melawan ucapannya.
Pikirannya kembali ke masa saat Anna pergi tanpa pamit, meninggalkan segalanya begitu saja. Kenangan itu membuat ekspresi lembut di wajah Enzio berubah dingin. Ia menggertakkan giginya, rasa kesal kembali muncul. Meski begitu, ia tidak tega membangunkannya.
Enzio menghela napas panjang, lalu membopong tubuh kecil Anna dengan hati-hati. Ia membawanya ke tempat tidur, menidurkannya di atas ranjang dengan perlahan. Setelah itu, ia menarik selimut dan menyelimutinya.
Anna terlihat kecil di balik pakaian Enzio yang kebesaran nyaris menenggelamkan tubuh mungil gadis itu.
“Tidurlah di sini, untuk sementara. Ingat, aku melakukan ini karena terpaksa!” Enzio bicara dengan dirinya sendiri.
Setelah memastikan Anna nyaman, Enzio menuju lemari pakaian, mengganti handuk yang melilit pinggangnya dengan piyama kasual berwarna gelap. Ia kemudian mengambil laptopnya dan duduk di atas ranjang.
Pekerjaan yang menumpuk mulai menyita perhatiannya. Matanya fokus pada layar laptop, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Anna yang tertidur di sebelahnya.
“Dia sebenarnya tidur atau pingsan? Tidak bergerak sama sekali!” gerutunya.
Waktu berlalu, dan kesunyian malam menjadi teman bagi Enzio. Tiba-tiba ia merasa gerakan kecil di sampingnya. Anna menggeliat dalam tidurnya, tubuhnya berbalik ke arah Enzio.
Sebelum Enzio menyadarinya, tangan Anna melingkar di pinggangnya. Napas lembut gadis itu terasa di sisi tubuhnya, membuat Enzio tertegun.
Ia menatap Anna yang tampak nyaman, seolah tak sadar apa yang baru saja ia lakukan. Selimut yang menutupi tubuh Anna sedikit tersingkap, memperlihatkan kaki mulusnya yang keluar begitu saja.
“Dia sengaja menggodaku?”
Enzio menelan ludah. Matanya tertuju pada pemandangan itu, tubuhnya mulai merespons tanpa kendali. Ia menutup laptopnya perlahan, mencoba mengalihkan pikirannya.
Enzio tidak bisa mengabaikan fakta bahwa miliknya kembali bereaksi. Padahal, ia baru saja menuntaskan hasratnya beberapa saat lalu.
“Sial...” Enzio memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Kehadiran Anna di sampingnya, dengan tubuh mungil yang terlihat begitu rapuh, membuat kontrol dirinya mulai goyah.
Enzio menghela nafas berat, lalu memalingkan wajahnya dari Anna.
“Tidak, aku tidak boleh seperti ini,” pikirnya. Jika tidak mengendalikan dirinya sekarang, hal yang seharusnya tidak terjadi bisa saja terjadi.
•••••
Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, dan Enzio masih terjaga. Rasa kantuk mulai menyerang, tetapi ia tidak bisa benar-benar tidur.
Gadis itu terus bergerak kesana kemari dalam tidurnya. Kakinya menendang selimut, tangannya menyentuh tubuh Enzio tanpa sadar, dan bibirnya bergumam hal-hal yang tidak jelas.
“Kamu benar-benar sulit diatur, bahkan saat tidur,” gumamnya pelan sambil menahan gerakan Anna yang tidak henti-henti.
Semakin lama, Enzio merasa ia tidak bisa terus-menerus mengatur ulang posisi Anna setiap beberapa menit. Dengan rasa frustasi, ia akhirnya mengambil keputusan yang sedikit ekstrim.
Ia mengambil scarf panjang dari lemari, lalu dengan hati-hati mengikat tangan Anna ke sisi tempat tidur.
“Maaf, tapi ini untuk kebaikanmu sendiri,” bisiknya pelan, memastikan ikatannya tidak terlalu kencang agar tidak menyakiti Anna.
Setelah itu, Enzio kembali bersandar di sandaran kepala ranjang, mencoba memejamkan matanya. Namun, baru beberapa menit ia terlelap, suara pelan terdengar.
“Ayah...”
Suara itu membuat Enzio membuka mata seketika. Ia menoleh ke arah Anna, yang tubuhnya tampak gemetar meski matanya masih terpejam.
“Ayah, Anna rindu...” gumam Anna lagi, nadanya penuh kesedihan. Butiran bening tanpa sadar menetes membasahi pipi.
Enzio langsung mendekat, dan saat itulah ia menyadari sesuatu yang tidak biasa. Wajah Anna terlihat pucat, keringat mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya terasa panas saat disentuh.
“Anna...” Enzio menyentuh dahinya. Panas tubuhnya tidak main-main. Anna demam.
Tanpa berpikir panjang, Enzio segera bertindak. Ia bangkit dari tempat tidur, menuju lemari obat yang ada di sudut kamar. Setelah menemukan termometer, ia kembali ke sisi Anna dan mengukur suhu tubuhnya.
“39 derajat...” gumamnya dengan wajah berubah serius.
Enzio membuka ikatan di tangan Anna dengan hati-hati, lalu mengambil handuk kecil dan mencelupkannya ke dalam air dingin. Dengan lembut, ia meletakkan kompres itu di dahi Anna.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu merasa tidak enak badan? Benar-benar merepotkan,” ucap Enzio pelan, meskipun ia tahu Anna tidak akan menjawab.
Setelah memastikan Anna sedikit tenang, Enzio melangkah keluar kamar untuk mengambil air minum hangat. Ketika kembali, ia duduk di tepi ranjang dan mencoba membangunkan Anna perlahan.
“Bangunlah. Kamu harus minum,” bisiknya, menggoyang-goyangkan bahu gadis itu dengan lembut.
Anna membuka mata perlahan, meski matanya terlihat berat. “Ayah...” gumamnya lagi.
Kata itu membuat hati Enzio mencelos sejenak. Namun, ia menekan perasaannya dan membawa gelas ke bibir Anna.
“Bukan Ayah. Ini aku, Enzio. Minum sedikit, oke?”
Anna, yang setengah sadar, menuruti perintahnya. Setelah menelan beberapa teguk air, ia kembali terbaring lemas, tertidur lagi.
Enzio tetap berada di sisi Anna, mengganti kompres di dahinya setiap beberapa menit. Sesekali ia membenarkan posisi tidur Anna yang tidak nyaman, memastikan gadis itu tetap hangat di bawah selimut.
Waktu terus berjalan, tetapi Enzio tidak peduli. Ia bahkan tidak memikirkan rasa kantuk yang menyerang tubuhnya. Baginya, memastikan Anna baik-baik saja adalah hal yang paling penting saat ini.
“Kenapa kamu selalu membuatku khawatir?” gumamnya pelan.
Tanpa sadar, Enzio meraih tangan Anna yang kecil dan dingin, menggenggamnya dengan lembut. Rasa hangat mulai menjalar ke hatinya, meski ia mencoba menepis perasaan itu.
Akhirnya, rasa lelah mulai mengalahkan Enzio. Dengan kepala yang bersandar pada sisi ranjang dan tangan yang masih menggenggam tangan Anna, Enzio pun tertidur.
yg atu lagi up ya Thor
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️