Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Black Rose Village
Bacin melangkah dengan hati-hati memasuki Desa Mawar Hitam. Langkah kakinya menimbulkan bunyi gemerisik dedaunan kering di atas tanah yang basah. Ia berjalan menuju rumah yang terlihat sedikit lebih terawat itu, rumah yang mengeluarkan asap tipis tadi. Semakin dekat ia mendekat, semakin jelas ia mendengar suara samar-samar dari dalam rumah—suara seorang wanita sedang bernyanyi, lagu daerah yang terdengar sendu dan sedikit menyeramkan. Kegelisahannya semakin menjadi.
Rumah itu terbuat dari kayu tua, dengan jendela-jendela yang sebagian besar tertutup oleh tirai usang. Di halaman depan, beberapa tanaman kering terlihat tak terurus. Bacin mengetuk pintu kayu yang tampak lapuk. Bunyi ketukan itu terdengar nyaring di tengah kesunyian desa. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang wanita tua dengan wajah keriput dan mata sayu. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, rambutnya yang putih terurai acak.
"Ada apa, Nak?" tanya wanita tua itu, suaranya serak dan lirih.
Bacin memperkenalkan diri, mengeluarkan identitasnya. "Selamat siang, Bu. Nama saya Bacin, saya polisi. Saya sedang mencari seseorang..." Ia ragu-ragu sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "...Ibu saya hilang. Saya menemukan alamat ini di sebuah kartu pos."
Wanita tua itu menatapnya lama, matanya yang sayu seakan-akan menembus jiwanya. Suasana hening sejenak, hanya diiringi oleh suara kicau burung yang terdengar jauh. Lalu, wanita tua itu menghela napas panjang. "Desa Mawar Hitam ini... tempat yang menyimpan banyak rahasia, Nak," katanya, suaranya berbisik. "Banyak yang datang mencari, tapi sedikit yang kembali." Ia menatap Bacin dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran belas kasihan dan juga peringatan.
Bacin menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia mengulangi pertanyaannya, “Dimana alamat ini, Bu? Alamat yang ada di kartu pos?” Wanita tua itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tampak lebih menyeramkan daripada raut wajahnya yang sebelumnya. Ia menunjuk ke arah sebuah jalan setapak yang hampir tak terlihat, tersembunyi di balik semak-semak yang rimbun. Jalan setapak itu tampak gelap dan lembab, seakan-akan jarang dilalui orang.
“Di sana,” katanya, suaranya serak. “Ikuti jalan itu. Tapi… hati-hatilah, Nak. Desa ini… menyimpan banyak rahasia yang lebih baik tak kau ketahui.” Tanpa menunggu jawaban Bacin, wanita tua itu dengan cepat menutup pintu rumahnya. Bunyi pintu yang tertutup itu terdengar sangat keras dan berat, seakan-akan sesuatu yang berat terbanting dengan paksa.
Bacin merasakan bulu kuduknya merinding. Gerakan wanita tua itu sangat aneh, cepat dan penuh misteri, seolah-olah ia sedang menghindari sesuatu atau seseorang. Ia menatap pintu rumah itu beberapa saat, kemudian menoleh ke jalan setapak yang ditunjukkan oleh wanita tua tersebut. Jalan itu tampak semakin gelap dan mencekam di bawah bayang-bayang pepohonan yang tinggi dan lebat. Bau tanah basah dan sesuatu yang menyerupai aroma bunga mawar busuk tercium samar-samar di udara.
Bacin menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Ia harus melanjutkan penyelidikan ini, meski rasa takut dan firasat buruk mulai menguasai dirinya. Ia mengambil langkah pertama, melangkah memasuki jalan setapak yang misterius itu, meninggalkan rumah wanita tua dan desa yang terasa semakin menakutkan.
Bacin melangkah maju, satu kaki di depan kaki lainnya, menyusuri jalan setapak yang semakin dalam mencengkeram kegelapan. Bau mawar busuk semakin menyengat hidungnya, bercampur dengan aroma tanah lembab yang menusuk. Di tengah perjalanan, ia mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. "Kuharap aku bisa menemukan Ibuku," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin yang berbisik di antara pepohonan. "Dan... jodoh yang cantik," tambahnya, sebuah keinginan kecil yang muncul di tengah kegelapan dan keresahannya.
Tiba-tiba, di kejauhan, sekilas bayangan bergerak. Sesosok wanita, cantik luar biasa dengan rambut yang terurai seperti air terjun, tampak berdiri di antara pepohonan. Wajahnya tak terlihat jelas, terhalang oleh bayangan, namun aura kecantikannya terasa begitu kuat, mencuri perhatian Bacin sejenak. Sebelum ia sempat mengalihkan pandangan sepenuhnya, wanita itu lenyap. Seolah-olah ditelan oleh kegelapan hutan. Bacin tertegun. Ilusinya? Ataukah... sesuatu yang lain? Keraguan menggerogoti pikirannya, namun ia mencoba menepisnya. Ibunya lebih penting.
Ia kembali fokus pada tujuannya. Langkahnya semakin mantap, meskipun rasa penasaran atas sosok wanita misterius itu masih membayangi. Lama ia berjalan, hingga akhirnya sebuah bangunan terlihat di kejauhan. Bangunan itu tampak terbengkalai, nyaris runtuh. Temboknya reyot dan berantakan, dipenuhi dengan lumut dan tanaman liar yang merambat. Atapnya sebagian sudah ambruk, memperlihatkan langit yang suram di atasnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dan mencekam daripada sebelumnya. Bangunan itu – tempat tujuannya – menyeramkan dan tidak berpenghuni. Bacin menatapnya, detak jantungnya berdebar semakin kencang.
Bacin menarik napas dalam-dalam, kemudian mendorong pintu kayu bangunan terbengkalai itu. Pintu berderit keras, suara kayu lapuk yang bergesekan menimbulkan sensasi yang tidak nyaman. Debu beterbangan memenuhi udara, menciptakan kabut tipis yang menusuk hidungnya. Bau apak dan sesuatu yang menyerupai darah basi memenuhi rongga hidungnya. Ia menyalakan senter yang dibawanya, cahaya redup menerangi ruangan yang gelap dan penuh dengan puing-puing. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan coretan-coretan yang tak dikenali, beberapa terlihat seperti simbol-simbol aneh. Lantai kayu yang sebagian besar telah membusuk berderak di bawah kakinya.
Di tengah ruangan, Bacin melihat sebuah meja kayu tua yang hampir hancur. Di atasnya, terdapat sebuah buku harian yang tampak sedikit lebih terawat daripada puing-puing di sekitarnya. Bacin mengambilnya dengan hati-hati. Sampulnya terbuat dari kulit, warna coklat tua yang kusam dan usang. Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan yang rapi, namun agak memudar, menyambutnya.
Tulisan itu dimulai dengan tanggal yang membuatnya tersentak: tanggal hilangnya ibunya, 13 tahun yang lalu.
“Hari ini… aku merasa… diikuti. Ada yang mengawasi. Aku harus cepat pergi… Mereka… tidak boleh menemukannya… Aku harus melindungi… (tulisan terputus)”
Bacin membalik halaman demi halaman. Buku harian itu berisi catatan-catatan singkat, terputus-putus, dan seringkali tidak masuk akal. Namun, di antara catatan yang tak terbaca, beberapa kata kunci berulang kali muncul: “Mawar Hitam,” “Bulan Sabit,” dan sebuah nama yang membuatnya jantungnya berdebar kencang: “Nayla.” Nama yang sama dengan nama di foto yang ia temukan di rumah tua di Bandung.
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara langkah kaki pelan, mendekat dari arah gelap di belakangnya. Bacin memutar badan, senternya mengarah ke sumber suara. Kegelapan masih menyelimuti ruangan, tetapi ia bisa merasakan kehadiran seseorang di sana. Suara itu berhenti. Keheningan menyelimuti ruangan, terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Hanya deru napas Bacin yang terdengar nyaring di telinganya sendiri.