Squel Flight Attendant.
Denisa, dokter berusia dua puluh lima tahun itu telah menjadi janda diusianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun akibat obsesinya pada laki-laki yang sangat mencintai kakaknya. Susah payah pergi jauh dan berusaha move on, Denisa dipertemukan lagi dengan mantan suaminya yang sangat ia hindari setelah lima tahun berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama Dina
"Tante!" Wahyu cukup terkejut dengan kedatangan Dina secara mendadak.
"Wahyu, nggak salim tante datang? masa malah kaget kayak lihat setan aja." Canda Dina, mama Daniel seraya mengulurkan tangan untuk disalimi oleh Wahyu.
Wahyu menyambut tangan Dina, menyaliminya takzim.
"Kaget lihat hantu cantik, malam-malam datang, kok datengnya malam banget Tan? kalau tahu tante mau datang aku jemput tadi." Wahyu mempersilahkan Dina masuk dan membawakan koper milik Dina.
"Nggak sengaja aja mau mampir, dari Singapur jenguk papanya Amanda, eh keinget anak tante jadi mampir deh. Daniel dimana, udah tidur?"
Wahyu menggaruk tengkuknya gugup, dia tak tahu harus bagaimana, dikamar sedang ada Denisa, dia tak tahu hubungan mantan menantu dan mertua itu.
"Ada dikamarnya tan, dia lagi sakit, lagi diperiksa juga sama dokter."
"Ya ampun sakit apa?" wanita yang sudah terlihat keriput diwajahnya itu khawatir, buru-buru berjalan menuju kamar Daniel.
Belum sempat Wahyu menjawab, Dina sudah menarik kenop pintu, dan secara bersamaan, Denisa juga ingin keluar.
Pandangan Dina dan Denisa bertemu, keduanya sama-sama terkejut melihat wajah yang tak disangka akan bertemu kembali. Untuk beberapa detik, baik Denisa maupun Dina saling tatap dalam diam.
"Denisa," lirih Dina tidak percaya.
Denisa diam terpaku, Denisa bingung harus memanggil mantan mertuanya seperti apa, karena awal pernikahan mereka Dina tidak menyukainya, setelah tiga bulan pernikahan, baru Dina bisa menerimanya, itupun tidak terlalu dekat, karena setelahnya Daniel mengajak Denisa pindah ke apartemen, dan setelah perceraianya dengan Daniel, tak ada komunikasi apa-apa lagi diantara mereka.
"Kamu apa kabar, Denisa?" Dina pada akhirnya bertanya terlebih dahulu dengan begitu lembut dan langsung memeluk tubuh Denisa. Dina sudah menjalani hidup perih, dia merasa itu karma untuknya, kini dia tak lagi berani melukai siapapun.
Denisa membeku atas perlakuan Dina, padahal tadi dia sempat mengira, jika Dina akan membencinya seperti dahulu setelah menghilang bertahun-tahun, tapi nayatanya sebaliknya, Denisa menelan ludah susah payah, tak menyangka Dina akan sehangat ini sekarang.
"Ya Tuhan, Denisa kita bertemu lagi." ujar Dina dengan mata berkaca-kaca, Dina melepas pelukanya, menatap wajah Denisa dan memperhatikan penampilan Denisa yang kini jauh lebih dewasa, "kamu makin cantik, Denisa."
Denisa mengharu. "Baik, Tante, Tante apa kabar?" jawab Denisa sedikit gugup, bertemu mantan mertua, bagaimana tidak gugup?
"Baik, kamu tinggal disini? Maksud tante, kamu tinggal di Batam?" Denisa mengangguk, bibirnya masih keluh ingin berkata apa, Dina tersenyum lembut melihat kegugupan Denisa.
Kemudian Dina memiringkan tubuhnya, "kamu sudah jadi dokter dan kamu yang memeriksa Daniel?" Dina berbasa-basi, coba mengalihkan kegugupan Denisa, tak ingin suasana menjadi canggung.
Dina langsung menghampiri Daniel yang terbaring ditempat tidur, duduk disisi kepala Daniel, melihat jarum infus yang menancap dipergelangan tangan Daniel yang terlihat lemah tak berdaya. Dina kemudian menempelkan tangannya dikening Daniel, mengusap lembut rambut lebat anaknya, Dina masih merasakan panas dipermukaan kulit Daniel.
Dina mendongak, menatap Denisa yang masih berdiri ditempat yang sama, Denisa sampai lupa jika tujuannya tadi ingin melihat isi kulkas Daniel dan ingin membuahkan makanan untuk Daniel.
"Daniel sakit apa, Denisa?"
Denisa yang terlihat melamun tersadar mendengar pertanyaan Dina.
"Oh itu, sepertinya kecapean, tante. Saya infus supaya panasnya cepat turun, karena_" Denisa menipiskan bibirnya segaris, bingung sendiri mau menyebut Daniel apa didepan Dina. Dina menaikkan kedua alis menunggu Denisa meneruskan ucapannya.
"Karena pak Daniel dari tadi tidak membuka matanya, bahkan sedikit mengigau, jika harus menunggu beliau bangun untuk minum obat, takut panasnya akan bertambah parah." Jelas Denisa sedikit gugup, pilihannya memanggil Daniel sudah cukup mewakili jika dia dan Daniel tidak memiliki hubungan apa-apa.
Dina kembali menatap wajah putranya, ada kegamangan dihatinya walau Denisa menyebut nama Daniel dengan panggilan pak, tapi dari raut Denisa, dia bisa melihat jika sedang terjadi sesuatu, apa mereka kembali berhubungan?
"Tante yakin, kamu pasti memberikan yang terbaik untuknya, Denisa," tutur Dina mengusap kening Daniel, "terima kasih malam-malam begini kamu bersedia memeriksanya." Dina kembali melihat Denisa yang masih diam ditempat.
"Kamu mau pulang?" tanya Dina.
"I-iya tan, saya sudah selesai, tadinya mau minta tolong pak Wahyu tadi untuk membuatkan makanan untuk pak Daniel."
Dina tersenyum menghampiri Denisa. "Biar tante yang memasakkan buat Daniel, kamu pulang naik apa?"
"Naik taksi, taksinya juga sudah menunggu dibawah," jawab Denisa jujur, karena memang dia meminta taksi yang tadi untuk menunggunya, agar dia tak kesusahan lagi mencari taksi malam hari.
"Taksinya suruh pulang saja, kamu biar diantar Wahyu, berbahaya wanita naik taksi malam-malam.
Denisa menolak, tapi Dina terus memaksa, dia khawatir jika Denisa sendirian naik taksi. Dan akhirnya Denisa menurut, karena tak enak menolak tawaran mantan mertuanya. Walau sebenarnya Dina ingin sekali banyak mengobrol dengan Denisa, dan menanyakan keadaan cucunya, ya karena seingatnya dulu Denisa sudah hamil anak Daniel. Tapi setelahnya tak ada lagi komunikasi karena Dina sendiri, sedang menghadapi banyak masalah.
* * *
Malam berganti pagi, gelap bertukar terang. Daniel mulai membuka kelopak matanya perlahan, sedikit mengernyit karena masih merasakan sisa nyeri dikepala, tapi dia mengkhawatirkan Dara, takut terlambat mengantar Dara kesekolah.
Daniel melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul sebelas siang, bahu Daniel melemah, Dara pasti sudah pulang dari sekolah. Buru-buru dia ingin turun dari tempat tidur, namun sedikit kesusahan, ini dia lagi tidak ekting, memang benaran sakit. Dasar lemah, baru juga mengantar jemput Dara tiga hari, dia sudah tumbang, bagaimana Denisa yang selama mengurusi Dara seorang diri?
"Anak Mama sudah bangun?" ujar suara lembut itu menyapa, cukup membuat Daniel terkejut, Dina datang membawa nampan berisi semangkok bubur dan segelas teh tawar hangat.
"Mama! Mama kapan datang?"
"Tiduran aja kalau masih pusing," Dina meletakkan nampan berisi sarapan untuk Daniel di meja samping tempat tidur, lalu membuat susunan bantal untuk Daniel menyender.
"Mama kapan datang, Ma?" Daniel mengulang pertanyaannya, karena dia memang tak mengetahui kedatangan Dina.
"Semalam, jam setengah dua belasan, pas banget waktu dokter Denisa lagi periksa kamu." Dina tersenyum, membantu Daniel duduk agar bisa sarapan.
Daniel. membelalakkan mata. "Denisa yang periksa? Jadi mama sudah bertemu Denisa, Ma?"
Dina mengangguk, menyuapkan bubur ayam buatannya.
"Ini kebetulan, atau memang sengaja kamu pindah ke Batam, karena sudah tahu keberadaannya?" Dina memang tahu selama ini Daniel mencari Denisa.
"Murni kebetulan, Ma. Denisa tugas dirumah sakit milik Amanda."
Dina menghela nafas berat, kenapa semua serba kebetulan yang cukup membagongkan, Dina kembali menyuapi Daniel.
"Kamu sampai diinfus begitu, pasti terlalu memforsir kerjanya?"
Daniel melihat pergelangan tangannya, benar ada bekas memerah disana, pantas dia sedikit merasakan nyeri, kok bisa ya dia tidak terasa jika diinfus? Andai saja dia tahu Denisa datang, dia akan menhanan Denisa untuk merawatnya, sayangnya kali ini ada mamanya, jika tidak dia sudah menghubungi Denisa.
"Kenapa Mama datangnya tidak tepat waktu sih? kalau Mama nggak datang, pasti Denisa yang suapi dan ngurusi Daniel."
Tuk.
Suara sendok mendarat dikening Daniel cukup kuat.
"Ma, anak Mama lagi sakit, kok malah dipukul sih?" Daniel mengusap bekas keningnya yang dipukul.
"Kamu waras Daniel? Sadar apa yang kamu ucapkan barusan? Bagaimana kalau Amanda dengar? Astaga, jangan bilang kamu menjalin hubungan dengan Denisa?" Dina jadi sepotong, jangan sampai Daniel kembali menjalin hubungan dengan Denisa.
"Terus, kalau Denisa kerja dirumah sakit Amanda, berarti Amanda kenal sama Denisa?" Daniel hanya mengagguk sebagai jawaban, karena dia sedang mengunyah bubur. "Sudah tahu siapa Denisa?"
"Sudah, Daniel mau pertunangan kami batal, Ma. Aku ingin rujuk sama Denisa, aku cinta sama Denisa," ungkap Daniel jujur mengakui perasaannya.
"Astagaaa!" Dina langsung meletakkan mangkuk yang masih sisa separuh keatas meja.
"Dulu kamu menceraikan Denisa karena kamu tidak mencintainya. Sekarang, setelah lima tahun berpisah, kamu bilang cinta sana dia, sesimple itu hidup kamu Daniel? sampai mau membatalkan pertunangan dengan Amanda? nanti setelah pisah, sudah jadi mantan, kamu beralih mencintai Amanda juga, gitu?" Dina menggelengkan kepalanya. "Jangan membuat masalah, Daniel. Denisa hanya masa lalu, sekarang jangan membuat yang sudah membaik hancur lagi."
Sudah pasti Dina tidak ingin Amanda merasakan sakit hati karena anaknya, karena dia tahu bagaimana rasanya dikhianati.
"Kali ini aku benar-benar mencintai Denisa, Ma. Apalagi ada anak kami yang sudah besar, anak aku, dia sudah berusia lima tahun, dia cantik, dia pintar. Aku ingin menebus kesalahanku yang dulu, aku ingin dia merasakan kasih sayang yang utuh." Mata Daniel berkaca-kaca menceritakan itu, dia sudah merasakan bahagia seharian merawat Dara
"Kamu juga sudah bertemu anak kamu Daniel? Bagaimana dia?"
"Seperti yang sudah aku katakan tadi, Ma. Denisa merawat anak kami dengan baik, bisa mama bayangkan? Denisa membesarkan anak kami seorang diri? Menjadi ibu sekaligus ayah, aku tidak mau membiarkan Denisa berjuang sendiri lagi, aku ingin membesarkan anak kami bersama-sama."
"Soal anak, kamu bisa mengurusnya tanpa kalian harus bersama Daniel. Keluarga Amanda sudah banyak menolong kita, bagaimana Mama mengatakan ini pada papanya Amanda, apalagi saat ini papanya sedang kritis, tapi dia tak memberi tahu Amanda. Daniel kamu bisa membunvh papanya jika sampai membatalkan ini."
"Tapi Daniel nggak bisa, Ma Daniel yang akan mengatakan ini sendiri pada papa Amanda."
"Jangan lakukan itu, Daniel. Kamu bisa menyesal jika terjadi sesuatu padanya."
"Kematian sudah pasti datang, Ma. Tapi kesempatan aku untuk bersama Dara dan Denisa belum tentu bisa datang dua kali."
"Terus? bagaimana kalau Mama yang mat1?"
Daniel terdiam, berdebat dengan mamanya memang tidak akan menang.
* * *
Setelah perdebatan yang panjang bersama anaknya, Dina memilih keluar, Daniel terlihat sudah membaik, cukup kagum dengan obat dan vitamin yang diberi Denisa, Dina tak tahu, ini pengaruh obat yang bagus, atau pengaruh yang mengobati.
Tujuan Dina kali ini berkunjung kerumah sakit Amanda, dia ingin mengunjungi calon menantunya, saat diperjalanan, dia melihat dua ibu-ibu sedang bertengkar.
Dina memperhatikan keduanya, sampai salah seorang ibu mendorong tubuh ibu yang satunya, Dina meminta supir taksi untuk berhenti melerai kedua wanita tersebut.
"Makanya kasih tahu sama maminya Bu, suruh perhatiin anaknya, jangan cuma kerja. Lihat nih kelakuan anaknya macam anak brandal." Ucap wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan itu.
"Iya Bu, saya minta maaf, atas nama Bu Nisa saya minta maaf, saya yang merawat Dara, jadi dia tanggung jawab saya sekarang." Bu Nani menunduk meminta maaf.
"Bilang sama dokter Nisa, jangan pacaran terus, ini sudah yang kelima kali anaknya pukul anak saya."
"Maaf ibu-ibu, ada apa ini? kenapa bertengkar di pinggir jalan? Apalagi didepan anak kecil."
"Ibu ini siapa? jangan ikut campur, saya sedang mengkomplain anak ini, dia sudah lima kali memukul anak saya."
Dina melihat gadis cantik yang ditunjuk, dia mengernyit, seperti mengenal wajah bocah cantik itu.
"Sudah tahu permasalahannya Bu, kenapa dia sampai memukul anak Ibu?"
"Orang waras nggak perlu tanya siapa yang salah, yang salah sudah pasti yang memukul."
"Bohong," potong Dara membela diri, "dia ledekin aku, aku nggak punya papi. Dara diamin dia malah dorong Dara. Makanya Dara balas." Dara langsung menangis mengatakan itu, "Dara memang nggak punya papi, tapi kalau Dara dikasari, Dara nggak terima."
Dina terenyuh, hatinya ikut merasa sakit mendengar ucapan polos Dara, anak kecil tidak mungkin berbohong, entah dorongan dari mana, Dina merendahkan tubuhnya, menghapus air mata Dara, dan memeluk tubuh mungil Dara, Dina ikut meneteskan air mata.