"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Jadi, semua ini cuman alasan kalian buat jodohin Jay? Jay udah bilang kalau Jay akan datang setelah semua tugas kuliah Jay selesai, kalian ngebet banget mau punya cucu?!"
Amarahnya keluar, membara seiring penjelasan yang terlontar dari mulut Mama, Papa, bahkan Neneknya yang dia percaya jatuh pingsan.
"Begini Nak, kamu harus ngerti. Papa sama Mama udah nggak muda lagi, kamu juga nggak mungkin selamanya sendirian, 'kan?" tanya Mama dengan lembut.
Namun, Jay terlanjur kesal dengan keadaan saat ini. Dia benar-benar ingin meninju seseorang atau sesuatu yang bisa dijadikan pelampiasannya. Pria muda itu mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, ia berusaha menekan amarahnya.
"Jay benci dipaksa, Nenek tahu itu, 'kan?" tanyanya menatap mata sang Nenek dengan sorot mata yang sedih luar biasa. Wanita tua itu memang sudah siuman, dia benar pingsan.
"Maaf Nak, Nenek ingin melihat kamu punya pasangan. Jadi, tolong berkenalan hari ini dengan orang yang bantu Nenek tadi dia--"
Jay sudah tidak tahan dengan semua drama kekanak-kanakan ini, dia memilih untuk beranjak dari duduknya.
"Meskipun Nenek sering sakit, tapi bukan berarti Nenek bisa jadiin hal itu sebagai alasan Nek... Jay kecewa sama Nenek," katanya dan langsung melenggang pergi.
Semua orang yang ada di sana memanggil Jay untuk kembali, tapi Jay tampaknya tak ingin lagi berbalik atau barang kali menoleh sedikitpun. Laki-laki itu terus berjalan menyusuri rumah yang luasnya luar biasa. Tanpa membawa koper, hanya bermodalkan ponsel dan kartu debit saja Jay nekat pergi dari rumah. Belum sempat dia membuka pintu, sosok yang selama ini dia usahakan mati-matian tidak berjumpa atau sekadar menyapa muncul di hadapannya.
"Ning...?" ia lupa kalau keluarga Ning sangat dekat dengan kedua orang tuanya, artinya mereka ke rumah mau menjenguk Neneknya.
"Eh, kalian udah dateng? Ya ampun, maafkan anak saya dia agak linglung sekarang! Jay cepat masuk jangan halangi jalan!!" suara sang Papa terdengar mendominasi di akhir perintah.
Jay tahu, dia akan dilibatkan dalam hal pertemuan keluarga ini. Padahal mereka hanya berbicara tentang bisnis setiap kali bertemu, tidak ada sapaan lama, obrolan seru di setiap pertemuannya. Mereka bukan sahabat, tapi mitra kerja yang andal. Tutur katanya bahkan mirip dengan almarhum Kakek yang sangat profesional dalam membangun bisnis, jadi tak ada bedanya saat bicara dengan orang yang mereka sayang. Itulah mengapa Jay selalu membedakan nada suaranya tergantung lawan bicaranya. Dia bukan penipu seperti mereka.
"Jay, sedang apa kamu di situ? Ayo ke sini, Tante Popi sama Om Darma mau ketemu kamu!" Mama menyahuti sang anak yang masih mematung di depan pintu utama.
Mau tak mau, Jay mengikuti perintah Mama. Dia paling tidak bisa menolak titah Ibunya itu, entah alasan menghargai atau karena Mama satu-satunya yang terlihat tulus padanya di keluarga. Setelah duduk, ia tidak tahu harus bersikap apa selain diam. Matanya melirik ke arah Ning sekilas, perempuan itu tampil cantik, tubuh berisiknya membuat dia seksi alih-alih jelek seperti wanita berisi lainnya. Jujur saja, Jay tidak terlalu suka melihat postur tubuh berisi seorang wanita, apalagi jika dia mengenakan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Menurutnya itu jelek, tapi entah kenapa Jay tak bisa mengomentari Ning dengan alasan yang sama.
"Jay, bersikaplah dengan sopan." suara Ayahnya mulai terdengar seperti perintah komandan.
Tak. Tak. Tak.
Dari balik tembok yang menghalangi ruang tamu dan jarak yang jauh dengan tangga, Jay dapat mengetahuinya siapa yang turun dari anak tangga. Sudah pasti Neneknya dengan dua pengawalnya, dan satu dayang—Jay sering menyebut tangan kanan perempuan di keluarganya sebagai dayang—itu menuju ke ruang tamu. Langkahnya terdengar elegan meskipun beliau sedang sakit.
"Lega sekali semuanya berkumpul," katanya tersenyum melihat Jay juga ada di sana.
Wanita tua itu duduk di depan Jay, anak laki-laki yang terlihat tidak nyaman duduk di samping Ning. Mau disembunyikan serapi apapun, Jay bukan tipe anak yang bisa menyembunyikan perasaannya sepenuhnya di mata sang Nenek.
"Apa kabar Bu?" tanya Tante Popi, Ibunda Ning.
"Terlalu basa-basi," sahut Jay tanpa memedulikan sopan santun.
Ning yang kesal karena Jay memperlakukan Ibunya seperti itu menoleh, menatap tajam ke arahnya. Tapi, Jay tampak menikmati hal tersebut, sudah gila rupanya. Ning pikir, Jay akan menjadi lebih dewasa karena menampilannya yang luar biasa daripada saat mereka masih sekolah. Kenyataannya sama saja, pria di sebelahnya masih rabun perihal tata krama. Ning makin yakin bahwa pilihannya berpisah dengan pria itu adalah keputusan yang benar. Dia tidak mau punya suami yang buta akan sopan santun kepada sesama manusia apalagi orang tua.
"Kenapa? Ganteng ya?" tanyanya yang membuat Ning seketika mengeluarkan ekspresi julidnya.
"Maafkan anak saya Popi," Mama menggantikan anaknya meminta maaf, "Nggak apa-apa kok, santai saja Rahma." sahut Mama Popi yang tampak lembut saat bicara.
Dua wanita paruh baya yang sama-sama bergengsi, bagaimanapun mereka bersikap.
"Dih, kamu selalu dapet pujian makanya nggak pernah ngaca ya!"
Oh? Seru sekali. Jay merasa dia tertantang untuk menghadapi perempuan itu, Ning sendiri sudah merasa lebih berani daripada saat zaman sekolah dulu. Namun, siapa sangka kalau Jay akan melakukan hal yang tak terduga sebelumnya. Pria itu merangkul pundaknya, kemudian membisikkan sesuatu yang entah apa, tapi berhasil membuat Ning naik pitam.
"Kamu aja itu mah! Teu hayang teuing!!" (nggak mau banget) dia bicara dalam bahasa Sunda yang mana kota kelahirannya memang Kota Bandung. Tentu saja bahasa Sunda yang sering dia pakai meskipun kebanyakan dari mereka mencampurnya dengan bahasa Indonesia.
Jay tidak kuat menahan tawanya, dia terkekeh geli. Kemudian mengubah mimik wajahnya saat tahu Ning masih memperhatikan.
"Bagus sekali perkembangan hubungan kalian berdua, Nenek terharu," ucapan dari sang Nenek membuat kewarasan Jay kembali.
Dia tetap menolak mengungkit masa lalunya dengan Ning yang sudah kandas. Jay tidak suka jika ada yang sengaja menggalinya, padahal dia sudah menguburnya sedalam mungkin sampai tidak terlihat. Sekarang mereka bahkan terlihat biasa saja seolah tak pernah ada di hati masing-masing. Saat melihat aura Jay sudah tidak bagus untuk diajak bicara baik-baik, Ninh berdeham pelan.
"Nek, jika nggak keberatan, Ning mau kasih saran agar sebaiknya fokus saja pada apa yang menjadi topik utama." dalam hati Ning takut salah bicara, tapi sepertinya tidak karena Ibunya tersenyum manis padanya.
"Siapa yang dijodohin sama lo...? Bukannya kata hari ini lo mau ketemu sama dia??" pertanyaan Jay yang dibuat berbisik itu membuatnya terhenyak beberapa saat.
Dia mengusap dadanya, "Bisa diem nggak? Bukannya bilang makasih kalau nggak ada aku kamu nanti ribut lagi sama Nenek kamu," Jay menoleh dengan sorot mata tajam yang mengartikan tak suka yang kentara. Sebelah alisnya naik, lalu fokus lagi ke depan.
"Dih, apa-apaan..." Ning barusan merasa akan dimangsa harimau.
"Jay, selamat ya kamu nggak perlu mendatangi calon pengantin wanitamu." Jay tak paham dengan perkataan Mamanya, "Maksud Mama?" apakah dia tidak jadi dijodohkan.
"Ya, karena calonmu sudah ada di sampingmu sekarang."
Sahutan Papa membuat Ning dan Jay menoleh secara bersamaan, mata mereka berdua bertemu, ada kilatan yang campur aduk di antara kedua bola mata mereka. Selain syok berat, tentu saja hal tersebut akan menggemparkan seluruh kantor sekaligus bulan-bulanan anak geng For Seven Rich.