Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5: Rengkuhan Kenyataan Pahit
Dalam temaram malam, lampu kuning menyerupai payung menjadi pelita penerang ruangan. Cahaya redup yang dipancarkan tidak dapat dengan penuh menerangi setiap sudut ruangan. Di dekat jendela yang terbuka, Alfariel meringkuk dalam lamunan. Lamunannya menerawang jauh ke masa silam, kenangan indah yang tidak pernah terlupakan. Menyatu permanen di dalam ingatan. Tidak akan luntur walaupun tersiram air berulang kali. Tidak akan terganti walaupun terkubur tanah sedalam mungkin.
Senyuman sekarang berbeda dengan dulu. Bahagianya terasa lengkap dengan kehadiran seseorang yang sangat menyayanginya. Rasa sayang yang diberikan mengalahkan rasa sayang yang ada di dunia ini. Namanya terpatri di hati Alfariel. Dirinya bagai bidadari bagi Alfariel. Sayapnya yang membentang selalu melindungi Alfariel, dimana pun dan kapan pun Alfariel membutuhkan, sekalipun nyawa taruhan, dia tetap akan selalu disamping Alfariel. Tangan halusnya tidak henti-henti membimbing Alfariel, mengajari cara memilah sesuatu yang baik dan buruk, seringkali dirinya mendapat penolakan dari sang buah hati, berkali-kali jatuh bangun, tetap saja tangan itu tidak merasa letih.
Tangan Alfariel mengepal kuat hingga terlihat buku-buku tangannya yang memutih. Alfariel berusaha menahan gejolak rindu yang dia pendam selama ini. Alfariel ingin meluapkan dengan memeluk tubuh yang dia rindukan dengan sangat erat. Seolah Alfariel tak mau melepaskan walaupun untuk sedetik saja. Dia takut orang itu akan pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali. Hanya mimpi. Alfariel tahu itu. Alfariel terus berharap semoga dia bisa bertemu dengan mamanya. Tidak apa jika dia bertemu mama dalam bunga tidurnya. Dia ingin tahu bagaimana keadaan sang mama di sana. Sama buruknya dengan dirinya, kah? Atau bahkan bahagia?
Tangan kekar Gio mengelus lembut kepala Alfariel, tangannya bergerak merapikan rambut Alfariel yang berantakan. Yang diperlakukan tetap diam mematung. Tidak memberikan respons, matanya memejam. Sudah cukup, Alfariel sangat menderita dengan keadaan yang tidak pasti ini. Dia butuh penjelasan asli bukan cerita tipuan yang dibuat Gio untuk menenangkan Alfariel dalam kegundahan. Alfariel bukanlah anak kecil lagi. Alfariel sudah tumbuh lebih dewasa, pemikirannya tidak seburuk dulu, dia sudah bisa membedakan yang mana fakta dan cerita karangan belaka.
“Mama … ” gumam lirih Alfariel disertai jatuhnya air mata yang tidak kuat lagi tertampung di kelopak mata Alfariel.
Hati Gio terasa tersayat perih, seperti tertancap pisau begitu dalam sampai bisa merobohkan tubuh kekarnya. Tangannya bertumpu pada meja yang ada disamping Alfariel. Gio menelan ludah pahit. Menatap nanar putranya yang rapuh.
“Kapan Mama pulang?” tanya Alfariel. Sebenarnya dia sudah lelah mengulang pertanyaan yang sama. Alfariel sangat ingin cepat-cepat bertemu mamanya.
Gio memalingkan wajah, menghapus jejak air mata yang berbekas di pipinya. Pertanyaan itu masih terulang dari bibir Alfariel. Dia harus menjawab apa lagi? Haruskah berbohong? Gio menghembuskan napas lalu mengusap wajahnya kasar.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Cepat tidur! Besok kamu sekolah, kan?” Gio mengalihkan topik. Gio tidak ingin anaknya terlarut-larut dalam kesedihan.
Alfariel menggeleng pelan. “Kenapa Papa selalu berbohong? Yang mengatakan inilah, itulah, aku bosan mendengarnya. Katakan saja dengan jujur. Apa susahnya?" Alfariel tetap bersikeras meminta jawaban kepada Gio.
Gio membisu seketika, tidak dapat membuat alasan yang bertele-tele agar lebih masuk akal. Otaknya terkunci rapat tidak dapat berpikir. Digembok oleh ucapan Alfariel yang terlihat biasa, tetapi dapat menusuk jauh ke arah akal sehat. Membutakan penglihatan, semuanya bewarna abu, persis seperti debu yang mudah diterbangkan. Darah mendidih Gio mengalir sampai puncak kepala. Emosi sudah di ubun-ubun.
Gio menggenggam gelas berisi air bening dengan kuat-kuat.
PYAR!
Gio membanting gelas tepat di samping Alfariel. Tubuh Alfariel tersentak karena kaget. Kepala Alfariel mendongak, menatap Gio dengan penuh tanda tanya. Mata Alfariel mengerjap, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Alfariel sudah membuat Papanya marah. Papanya kesal atas sikap Alfariel.
"Pa—"
"Sudah Papa bilang, Mama itu sudah enggak ada. Narendra dengar itu? Kenapa Ren terus bertanya tentang Mama? MAMA SUDAH MENINGGAL." Gio menjelaskan. Caranya salah, dia membentak Alfariel dengan keadaan yang tersulut api emosi.
Alfariel terdiam. Nyali yang tadi berani kini menciut seketika. Kata-kata Gio menghantamnya seperti badai. Namun, di balik raut wajahnya yang memerah karena menahan emosi, hatinya tetap keras. ‘Tidak,’ pikir Alfariel. Mama tidak meninggal. Keyakinannya kukuh bahwa mamanya masih ada, mungkin hanya pergi jauh dan akan kembali suatu saat. Keyakinan itu dia genggam erat, menjadi satu-satunya hal yang membuatnya bertahan.
Bagi Gio, bentakan itu bukan sekadar amarah, melainkan juga rasa sakit. Rasa bersalah karena mengungkapkan kebenaran dengan cara yang salah, sekaligus frustrasi menghadapi penolakan Alfariel terhadap kenyataan.
Alfariel berdiri,. “Mama itu masih ada, Pa! Dia pergi bekerja sekarang, meninggalkan Ren. Mama akan pulang dan peluk Ren. MENGAPA PAPA TIDAK MENGERTI AKAN HAL ITU?" Alfariel kini ikut emosi. Alfariel berteriak menyalahkan ucapan Gio.
Gio melangkah mendekati Alfariel lalu mencengkeram pundak putranya dengan erat. Tangannya terasa kokoh dan juga penuh dengan getar emosi yang tidak bisa dia sembunyikan. Mata abu pekat milik Alfariel bersitatap dengan mata Gio yang kini memerah, sarat akan kemarahan dan kesedihan.
“Pemikiran paling bodoh yang pernah Papa dengar,” ucap Gio dengan nada rendah tapi tajam, penuh tekanan. “Begitu jauh dari kenyataan. Fakta itu memang pahit, Ren. Jauh lebih menyakitkan daripada kebohongan. Dengarkan Papa baik-baik! Mama sud—”
“PAPA MAU BILANG APA LAGI?” potong Alfariel dengan suara menggema di seluruh ruangan. Dengan gerakan cepat, dia menepis tangan Gio dari pundaknya. Alfariel berjalan mundur menjauhi Gio.
Wajah Alfariel kini menyiratkan kemarahan yang memuncak. Senyum sinis tersungging di bibirnya, lebih sebagai perlawanan daripada cemooh. "Mama meninggal? Iya? Asal Papa tahu, Mama tidak mungkin setega itu!" serunya dengan nada penuh penegasan. "Mama pernah berjanji pada Ren. Mama bilang, Mama akan selalu ada untuk Ren, akan selalu melindungi Ren. Jadi apa yang Papa katakan sekarang, SEMUANYA BOHONG."
Suaranya meninggi, memecah kesunyian. Setiap kata yang Alfariel ucapkan terasa seperti peluru yang menembus hati Gio, tetapi Alfariel tidak peduli. Baginya, keyakinan bahwa Mamanya masih hidup adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya bertahan.
Rahang Gio makin mengeras, nampak kerutan di dahinya. Dia tidak mau memperpanjang masalah dengan anaknya. Gio berjalan menuju pintu kamar Alfariel, meninggalkan Alfariel dengan napas yang masih menggebu-gebu. Gio tahu yang Alfariel butuhkan sekarang adalah kasih sayang darinya. Seiring waktu, Gio yakin anaknya pasti bisa menerima kenyataan yang menyakitkan itu.
Tubuh Alfariel merosot jatuh, kakinya sudah tak sanggup lagi menompang tubuhnya yang kian melemas. Menghadapi kebenaran yang dapat menyedot seluruh oksigen di sekitarnya, membuat dada Alfariel sangat sesak. Alfariel memegangi kepalanya yang berdentum-dentum sangat keras. Alfariel berjalan lunglai menuju ranjang yang berukuran king size. Direbahkannya tubuh yang penuh peluh akibat kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran Alfariel barusan. Alfariel menarik selimut hingga sebatas dada. Memejamkan matanya perlahan. Dengan tidur, Alfariel berharap dapat melupakan sejenak emosinya yang memuncak.
***
Bersambung …..