Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DEAN: SAHABAT TAK TERUCAP
Dean mengamati Adara yang sibuk mengaduk-aduk makanannya. Beberapa kali ia melihat ke arah Adara, tampak bingung dengan sikap gadis itu. Bagaimana bisa seseorang yang tampaknya begitu kuat, bisa tersenyum sinis sambil menatap makanannya begitu kosong? Namun, Dean tahu betul, di balik sikap dingin dan sikap acuh tak acuh Adara, ada dunia penuh kekalutan yang jarang sekali bisa ia ungkapkan.
"Kau harus melakukan itu demi membalaskan dendammu?" tanya Dean melirik Adara.
Adara mengalihkan pandangannya sesaat, menatap langit yang mulai memerah, menandakan matahari akan segera tenggelam. Mungkin ini saat yang tepat untuk memberikan penjelasan, tapi Adara tetap dengan ekspresi acuh tak acuhnya, seolah tidak ada yang penting. "Hm, apa aku jahat disitu? Kalaupun iya aku tidak peduli," jawabnya dengan nada datar, bahkan cenderung tidak merasa bersalah.
Dean terdiam sejenak, memikirkan kembali semua luka yang sudah dialami Adara. Dia tahu semuanya karena mereka memang sudah kenal lama sejak masa kecil. Dean mengenal sisi-sisi Adara yang tak pernah diperlihatkan kepada orang lain, sisi yang penuh dengan kekhawatiran, ketakutan, dan keinginan untuk melupakan masa lalu yang kelam. Namun, melihat Adara yang begitu tenang meski dia tahu perasaan yang disembunyikan dalam hati, Dean merasa khawatir.
"Kau tidak jahat, aku hanya mengkhawatirkanmu," ujar Dean, mencoba untuk menyampaikan keprihatinannya.
"Mengkhawatirkanku? Apa yang perlu kau khawatirkan, Dean? Kau meragukanku?" tanya Adara sembari tertawa ringan, namun Dean bisa merasakan ada sesuatu yang lain di balik tawa itu—suatu kepedihan yang tersembunyi. Tawa itu seperti menyembunyikan ketegangan yang mendalam.
Dean hanya diam, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. "Aku tidak bisa menghentikanmu karena aku tahu kau hanya akan puas jika melakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku mengenal baik kau, Adara!" ujarnya dengan tegas. Mungkin itu bukan jawaban yang Adara harapkan, tapi Dean benar-benar mengkhawatirkan langkah Adara yang tampaknya akan membawa dirinya ke tempat yang berbahaya.
Puk.. puk..
Adara menepuk pundak Dean dengan tatapan yang sulit diartikan, mungkin mencoba meredakan kekhawatirannya. "Aku juga kenal baik kau, Dean, sahabat terbaikku. Terimakasih atas perhatianmu." Ada rasa syukur dalam suara Adara, meskipun dia tidak pernah mengungkapkan itu secara langsung. Walaupun terkesan dingin dan cuek, Adara tahu bahwa Dean sangat menyayanginya, lebih dari yang dia akui.
"Sudahlah, ayo kita kembali!" Adara menarik Dean untuk berdiri, melupakan sebentar perasaan yang menggelayuti mereka. Mereka berdua berjalan menjauh dari kursi panjang itu. Namun, tak jauh dari sana, suara yang dikenal memanggil mereka.
"Adara!" Panggilan itu cukup keras hingga membuat keduanya menoleh. Mereka melihat Elina yang sedang berlari kecil menghampiri mereka.
"Elina?" tanya Adara sambil menunggu Elina mendekat.
"Adara, Dean... Aku ingin berbicara denganmu." Elina terlihat ragu, melirik sejenak ke arah Dean yang masih menatapnya penuh perhatian.
"Katakan saja," jawab Adara, memberikan izin untuk melanjutkan percakapan.
"Emm... tapi..." Elina terlihat gelisah, pandangannya mulai melirik ke arah dean yang berada tidak jauh dari mereka. Adara dan Dean saling bertukar pandang, merasakan ada sesuatu yang tak biasa dengan sikap Elina.
"Kau menganggapku orang asing, Elina?" tanya Dean, merasa sedikit tersinggung karena sikap Elina yang cenderung menghindar darinya. Elina terlihat semakin gugup.
"Bu... bukan begitu, Dean. Tapi..." Elina tampak cemas dan tidak tahu bagaimana melanjutkan pembicaraan.
"Sudah, katakan saja, Elina. Dean di sini tidak masalah," kata Adara, mencoba menenangkan situasi. Elina menghela napas berat, seolah siap mengungkapkan sesuatu yang telah lama dipendam.
"Aku hanya ingin membahas masalah kemarin. Apakah kau marah mengetahui jika aku masih berhubungan dengan kakakmu?" tanya Elina dengan suara ragu, seakan takut akan reaksi Adara.
Adara mendengarnya dengan tenang, lalu mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Menurutmu?" tanya balik Adara, tidak memberikan jawaban langsung. Dia tahu apa yang dimaksud Elina, tapi perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia tidak terlalu mempermasalahkan hubungan itu, tetapi di sisi lain, ia ingin sahabatnya tidak dekat dengan salah satu dari kakaknya.
"Kau masih berhubungan dengan Kevin, Elina?" tanya Dean dengan kaget, baru mengetahui informasi itu. Elina mengangguk malu, wajahnya memerah.
"Bagaimana bisa? Kau tahu jika hubungan Adara dan kedua kakaknya tidak baik. Lantas mengapa kau malah menjalin hubungan dengannya?" tanya Dean dengan nada bingung dan sedikit kesal. Bagi Dean, hubungan Adara dengan kakaknya sudah cukup rumit, dan Elina seharusnya tahu hal itu.
"Bu... bukan, kami tidak berpacaran. Aku hanya sekedar meresponnya," jawab Elina dengan jujur, berusaha menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Dean menggelengkan kepala. "Biarlah, lakukan apa yang ingin kau lakukan, Elina. Tapi kami benar-benar tidak akan campur tangan dalam urusanmu." Kata-katanya terdengar pasrah, mungkin karena dia merasa Elina tidak akan pernah mendengarkan nasihatnya.
Elina menatap Adara yang diam saja, hanya menatapnya dengan santai. Sebenarnya, Adara tidak terlalu mempermasalahkan hubungan itu. Namun, tetap saja dia merasa tidak rela sahabatnya berhubungan dengan salah satu dari kakaknya sendiri, apalagi Kevin.
"Baik, aku akan menjauhinya. Tapi tolong jangan marah kepadaku ya, Adara!" Elina memohon dengan kedua tangannya, terlihat tulus. Dia tahu bahwa Adara sudah banyak membantunya selama ini, dan dia tidak ingin membuat Adara kecewa.
"Buat apa aku marah kepadamu, Elina? Sudahlah, lupakan itu, ayo kembali!" Adara merangkul Elina dan langsung berjalan pulang. Dean yang sedikit kesal karena dirinya ditinggalkan begitu saja hanya bisa mengikutinya dari belakang. Namun, ada perasaan campur aduk yang mulai mengganjal di hatinya.
Malam harinya, saat Adara hendak pulang, dia menyempatkan diri untuk singgah ke sebuah restoran seafood. Sudah lama dia tidak makan seafood kesukaannya karena kesibukannya yang semakin bertambah. Dia memutuskan untuk menikmati waktu sejenak, jauh dari keributan, dan merasakan kenikmatan makanan yang sudah lama dia rindukan.
"Hm, mohon dipercepat ya, saya sudah cukup lapar!" ujar Adara kepada pelayan yang sudah mencatat pesanannya, suara yang terdengar sedikit terburu-buru karena sudah tidak sabar ingin memakannya.
Tiba-tiba, tanpa pemberitahuan, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Adara menoleh, dan alisnya terangkat melihat siapa yang muncul.
"Selamat malam!" suara itu cukup familiar, dan ketika Adara melihatnya, dia langsung mengenali wajahnya.
"Kau lagi. Kau sepertinya bayang-bayang hantu ya, dimana-mana ada saja!" kesal Adara, merasa emosinya semakin naik karena sudah lapar dan tidak ingin diganggu. Tapi dia juga tidak bisa menghindari rasa penasaran yang muncul ketika dia melihat pria itu.