Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Beberapa jam berlalu ...
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore. Satu jam lagi semua karyawan pulang. Begitu juga dengan Olive. Dia menatap wajah Alesia yang masih senang bermain di dekatnya.
"Sayang, Bibi antar ke ruangan Papamu ya?" pinta Olive.
"Gak mau, aku masih pengen di sini, Bibi." Alesia tampak krasan bersama dengan Olive. Sang wanita tak bisa membiarkan Alesia tetap disana karena waktu kerja akan berakhir. Apalagi malam ini ada acara ulang tahun adiknya, Olive harus menyiapkan banyak hal.
"Ehm, Papamu sudah bilang kalau nanti malam akan pergi ke rumah Bibi?"
"Astaga, oh iya! Ada acara di rumah Bibi ya? Oke! Aku mau ke ruangan Papa. Biar nanti bisa ke rumah Bibi lebih awal. Bibi bareng Papa aja, jangan naik motor sendirian."
"Gak sayang, Bibi sendiri aja pulangnya."
"Loh kenapa? Bukannya lebih baik naik mobil?"
Olive tersenyum lembut, berusaha menenangkan Alesia yang mulai memprotes.
"Bibi gak apa-apa, sayang. Lagipula rumah Bibi gak terlalu jauh dari sini," jawab Olive. Alesia mengerucutkan bibirnya, tampak kesal. "Tapi
Bibi selalu sendirian. Kalau naik mobil sama Papa, kan lebih aman."
"Alesia, kamu itu perhatian banget sama Bibi, ya? Tapi jangan khawatir, Bibi janji hati-hati, kok," Olive menepuk lembut kepala Alesia.
Gadis kecil itu akhirnya mengangguk meski wajahnya masih sedikit cemberut. Olive berdiri dan menggenggam tangan Alesia. "Ayo, kita ke ruangan Papamu sekarang."
•••
Sesampainya di ruangan Aarav, pria itu terlihat sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Namun begitu melihat putrinya datang bersama Olive, Aarav langsung menghentikan pekerjaannya.
"Alesia, sudah selesai mainnya? Kamu capek?" Aarav mengangkat putrinya ke pangkuan.
"Tadi aku bilang sama Bibi Olive kalau Bibi harus pulang bareng kita, Papa," kata Alesia penuh semangat.
Aarav melirik Olive yang berdiri canggung di depan meja kerjanya. "Apa benar begitu, Olive?"
Olive tersenyum lembut, berusaha menenangkan Alesia yang mulai memprotes.
"Gak Pak, gak usah. Saya bisa pulang sendiri," jawab Olive.
Alesia mengerucutkan bibirnya, tampak kesal. "Papa, tolong bilang sama Bibi dong, Papa! Aku pengen sama Bibi, kerumah Bibi!"
"Sayang, Bibimu gak mau dibarengin. Bibi bisa sendiri katanya," lanjut Aarav berusaha membuat Alesia tenang.
"Tapi ... nanti kalau ada cowok nakal gangguin Bibi?" ucap Alesia polos banget. Olive sampai nahan tawanya.
"Hehe, cowok nakal siapa? Bibi akan hajar kalau ada cowok nakal, Bibi ahli bela diri lho!" jawab Olive seraya mempraktikkan gerakan awal melawan musuh.
"Waaah Bibi keren, seperti film kungfu!"
Aarav yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum tipis.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan.
"Sepertinya aku harus lebih sering menitipkan Alesia padamu, Olive. Dia terlihat sangat senang bersama Bibi Olive-nya."
Olive tersenyum sopan. "Alesia anak yang baik, Pak. Saya senang bisa menemani dia."
Alesia tiba-tiba melompat dari pangkuan Aarav dan berlari ke arah Olive.
"Bibi Olive, ajarin aku kungfu dong! Biar aku bisa jaga Bibi dari cowok nakal!"
"Aduh, sayang, Bibi gak ngajarin anak kecil buat berkelahi. Tapi nanti Bibi ajarin cara lari cepat, gimana?" Olive bercanda sambil tertawa kecil.
"Yah, lari cepat gak seru, Bibi!" Alesia mengerucutkan bibir lagi, membuat Aarav tertawa pelan.
"Baiklah," Aarav akhirnya bersuara, "karena Alesia sudah memutuskan untuk pulang lebih awal, kita akan pergi lebih cepat ke rumahmu, Olive. Jadi, kamu gak usah naik motor sendirian. Aku juga mau memastikan kamu sampai dengan aman."
"Tapi, Pak Aarav, saya benar-benar tidak ingin merepotkan. Lagi pula, saya masih harus menyiapkan banyak hal," Olive mencoba menolak dengan halus.
"Aku dan Alesia bisa menunggumu di mobil," balas Aarav, nada suaranya terdengar tegas tapi tetap tenang.
"Papa memang hebat, kan, Bibi? Jadi, Bibi gak bisa nolak!" Alesia menambahkan dengan senyum lebar.
Olive tak punya pilihan selain mengangguk setuju. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Pak Aarav."
•••
Di perjalanan menuju rumah Olive, Alesia tampak asyik berbincang dengan ceria di kursi belakang, sementara Aarav mengemudi dengan tenang.
Olive duduk di depan, sesekali menoleh ke arah Alesia untuk memastikan gadis kecil itu baik-baik saja.
"Pak Aarav, saya benar-benar minta maaf kalau ini merepotkan," kata Olive, mencoba memecah keheningan di antara mereka.
"Jangan khawatir soal itu, Olive. Alesia sangat nyaman denganmu, dan itu sudah cukup untukku," jawab Aarav tanpa menoleh, fokus pada jalanan di depan mereka.
Percakapan sederhana itu membuat Olive sedikit lega, meskipun ada perasaan tak biasa di hatinya. Aarav, dengan caranya yang tenang namun tegas, memiliki aura yang membuat Olive sulit untuk tidak merasa gugup. Namun, ia cepat-cepat menepis pikirannya. Malam ini adalah tentang adiknya, dan ia tidak ingin hal lain mengganggu.
Saat mereka tiba di rumah Olive, Alesia berseru, "Wow! Rumah Bibi penuh balon! Ini pasti seru banget!"
"Yuk, Alesia! Kita bantu Bibi Olive siap-siap," ajak Aarav sambil membuka pintu mobil untuk putrinya.
Di saat itu, Olive menyadari satu hal, malam ini tidak hanya akan menjadi perayaan untuk keluarganya, tapi mungkin awal dari sesuatu yang tak pernah ia duga.
Aarav dan Alesia berlari lebih dulu. Olive yang melihat kebersamaan Papa dan putrinya, tampak terharu. Dia pernah merasakan hal yang sama seperti Alesia. Tapi nyatanya, semua itu harus musnah tak tersisa.
"Kalaupun aku rindu ibu, beliau pasti enggan bertemu denganku. Jika ayah ingin datang, pasti Peter tidak akan memberikan izin. Huft! Serumit ini kah perjalanan keluargaku, Tuhan?" gumam Olive terlihat iri saat melihat Alesia yang dekat dengan Papanya.
Olive menghela napas dalam, mencoba mengenyahkan rasa sesak di dadanya. Ia segera mengalihkan perhatian pada persiapan pesta ulang tahun adiknya. Balon-balon yang sudah terikat rapi dan meja-meja penuh makanan kecil mengingatkannya pada tanggung jawab besar malam ini.
Olive akhirnya menyusul Aarav dan Alesia yang sudah berada di depan pintu utama. Olive membuka pintu dan kedua orang itu masuk ke rumah dengan penuh semangat.
Di dalam rumah Olive ...
Balon yang berada di luar rumah, tak sebanding dengan banyaknya balon di dalamnya. Olive sangat menyiapkan pesta ulang tahun Peter karena hanya dirinya yang peduli pada adik kesayangannya itu.
Alesia begitu antusias melihat banyak balon dia mengajak Olive untuk bergabung meniup balon bersama.
"Ayo, Bibi Olive, kita tiup balon lagi!" Alesia memanggilnya dengan suara ceria, membuat Olive tersenyum tipis. Posisinya yang masih di tengah pintu, lantas menghampiri si kecil.
"Baiklah, sayang."
Olive dan Alesia bersama meniup balon. Mereka tampak sangat kompak. Tak hanya itu, Alesia juga membantu mendekorasi bunga yang ada ditembok, banyak sekali hal yang dilakukan oleh bocah kecil ini, membuat Olive terhibur.
Olive menatap wajah mungil Alesia." Andai saja aku juga dicintai ugal-ugalan seperti bocil ini, huft!"