Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konglomerat Prancis
Philippe Leblanc, konglomerat Prancis yang terkenal berselera tinggi, tak menduga bahwa perjalanannya ke Bali bersama keluarga akan membawanya ke sebuah petualangan bisnis baru.
Berlibur di pulau Dewata selama beberapa minggu, Philippe menikmati keindahan alam dan budaya yang kaya, serta mengunjungi berbagai tempat kerajinan dan produk-produk lokal. Salah satu pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam, ialah penemuan sebuah sepatu yang membuatnya terkesima.
Pada sebuah gerai kecil di daerah Seminyak, Philippe menemukan sepatu kulit berkualitas tinggi. Sepatu itu memperlihatkan sentuhan tangan halus untuk bahan terbaik, penggarapan apik serta potongan desain elegan.
Hal itu langsung menarik perhatian Philippe. Bahkan kemudian ia tahu bahwa sepatu itu tak hanya indah secara visual, tetapi juga nyaman dipakai. Saat itu juga Philippe langsung membeli sepasang, tanpa ragu.
Selama beberapa minggu berikutnya di Bali, Philippe terus memikirkan sepatu itu. Bagaimana mungkin sebuah gerai kecil di Bali bisa menjual produk dengan kualitas setara dengan brand-brand ternama di Eropa?
Penasaran, Philippe mulai mencari informasi lebih lanjut tentang sepatu itu.
Setelah beberapa kali penelusuran di internet, ia menemukan bahwa sepatu yang dibelinya adalah produk dari PT Adiyaksa Pratama Group, sebuah perusahaan sepatu asal Indonesia yang sedang naik daun.
Perusahaan ini memiliki reputasi cukup baik di pasar lokal dan sedang berusaha merambah pasar internasional.
Philippe merasa tertarik untuk menjalin kerjasama bisnis dengan perusahaan tersebut. Ia melihat potensi besar untuk membawa produk-produk berkualitas tinggi ini ke Eropa, di mana pasar untuk barang-barang mewah dan unik selalu terbuka.
Namun, ada satu kendala yang cukup besar: Philippe tidak bisa berbahasa Indonesia, dan kemampuan bahasa Inggrisnya pun sangat terbatas. Sebagai seorang pengusaha yang berpengalaman, Philippe tahu bahwa komunikasi adalah kunci dalam menjalin kerjasama bisnis.
Meskipun demikian, keinginannya untuk bekerja sama dengan PT Adiyaksa Pratama Group sangat kuat. Ia kemudian memutuskan untuk mencari bantuan. Philippe menghubungi salah satu kenalannya di Bali yang kemudian merekomendasikan seorang guide lokal bernama Pak Ketut, seorang pria Bali asli yang pandai berbahasa Inggris meskipun hanya sedikit mengerti bahasa Prancis.
Pak Ketut, yang terkenal ramah dan berpengetahuan luas tentang budaya lokal, setuju untuk membantu Philippe menghubungi perusahaan sepatu itu. Meski komunikasi mereka agak terhambat oleh kendala bahasa, Pak Ketut berusaha keras untuk membantu Philippe menjembatani dengan menghubungi perusahaan itu sejak kemarin.
Setelah berpikir semalaman, Philippe memutuskan untuk melanjutkan rencananya bertemu dengan CEO PT Adiyaksa Pratama Group hari ini, di hari terakhirnya di Indonesia sebelum pulang ke Prancis, meski ia sadar bahwa akan ada tantangan komunikasi yang cukup besar.
Dengan semangat dan keyakinan bahwa kualitas produk akan berbicara lebih keras daripada kata-kata, Philippe bersiap untuk terbang ke Jakarta, setelah sebelumnya gagal berangkat karena pemunduran jadwal.
Ia berharap nanti sesampainya di Jakarta, meski tanpa penguasaan bahasa yang baik, kerjasama ini dapat terjalin dan menjadi awal dari sesuatu yang besar. Sebuah langkah berani dari seorang pria Prancis yang terpesona oleh sebuah sepatu di pulau Bali.
Siang ini di Bandara Ngurah Rai, Bali, Philippe tampak gelisah. Ia sudah memesan tiket untuk terbang ke Jakarta, dan ia pun sudah memesan tiket secara online untuk pulang ke Prancis nanti malam dari Jakarta.
Ia tampak membaur bersama keluarganya, tetapi pikirannya seperti tak bersamanya. Ia masih memikirkan kenyataan bahwa Pak Ketut selaku guide tak dapat mendampinginya hingga Jakarta. Lebih-lebih, pria Bali itu tak begitu menguasai Bahasa Prancis.
Siang ini Pak Ketut tampak masih menemani di Bandara. Pria Bali itu berusaha membicarakan rencana perjalanan Philippe. “Monsieur Philippe, you and your familiy... Jakarta... airplane, good luck,” (Tuan Philippe, Anda dan keluarga... Jakarta... pesawat, semoga sukses,) katanya sambil menunjuk tiket dan menggerakkan tangannya seperti pesawat terbang.
Philippe bingung dan Pak Ketut tampak gugup. Pak Ketut segera mengeluarkan ponselnya lalu membuka google translate dan berkata lagi dalam bahasa Prancis dengan pengucapan yang tidak begitu jelas.
“Bon voyage et arrivez en sécurité." (Selamat jalan dan semoga tiba dengan selamat.)
Philippe menatap pria Bali itu dengan tatapan ragu, lalu mengangguk seraya menjawab. “D'accord… mais… je ne comprends pas très bien,” (Baiklah... tapi... saya tidak terlalu mengerti,) jawabnya lirih.
Pak Ketut tersenyum, mencoba menenangkan diri. “Okay, okay, no problem,” (Oke, oke, tidak masalah,) katanya meskipun dirinya sendiri tidak begitu yakin.
Pak Ketut bermaksud memohon diri. Namun, Philippe masih merasa cemas. Dia ingin memastikan bahwa perusahaan sepatu di Jakarta tahu bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris, dan ia khawatir bagaimana pertemuan itu nanti.
Maka, untuk terakhir kali, ia meminta Pak Ketut dengan beberapa kalimat singkat dan isyarat tangan sambil menunjukan beberapa informasi di layar ponsel, ia meminta supaya Pak Ketut menolongnya untuk menelepon kantor perusahaan sepatu tersebut bahwa mungkin nanti ia butuh orang yang bisa bahasa Prancis di Jakarta saat pertemuan.
Pak Ketut, berusaha keras memahami apa yang disampaikan Philippe, dan akhirnya ia mengerti. Pria Bali itu pun segera menelepon kantor perusahaan tersebut dan sambungan diterima oleh seorang perempuan.
“Halo, selamat siang, ini dengan PT Adiyaksa Pratama Group. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Vania, sang resepsionis, dengan sopan.
Pak Ketut mengangguk meski tahu si penerima telepon tidak bisa melihatnya.
“Halo, saya Ketut, dari Bali. Saya guide orang Prancis, Monsieur Philippe. Dia yang mau ketemu CEO PT Adiyaksa Pratama Group di Jakarta, tapi dia tidak bisa Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia. Beliau tampaknya membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Prancis, mmm… apakah di perusahaan Ibu ada yang bisa Bahasa Prancis?”
Vania terdiam sejenak, agak bingung dengan pertanyaan yang tidak biasa itu. Ia pun memutuskan untuk segera meneruskan panggilan tersebut ke meja Mira di divisi marketing, yang ia rasa lebih berpengalaman.
Vania menekan tombol transfer, dan sambungan terhubung ke Mira.
“Bu Mira, ada telepon dari Bali. Sepertinya penting,” katanya pelan.
Mira yang sedang sibuk dengan berkas-berkas di mejanya, segera mengangkat telepon.
“Halo, ini Mira dari divisi marketing. Ada yang bisa saya bantu?”
Pak Ketut yang sedikit lega segera menjelaskan situasinya. “Halo, Bu, saya Ketut, guide dari Bali. Saya sedang mendampingi seorang turis asing dari Prancis, Monsieur Philippe. Dia sudah ada janji mau ketemu CEO PT Adiyaksa Pratama Group di Jakarta, tapi masalahnya dia tidak bisa Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia. Apa ada yang bisa Bahasa Prancis di sana?”
“Oh ya, Monsieur Philippe, mmm…sebentar,” Mira terdiam sejenak, mencoba mengingat. Ia tahu bahwa Pak CEO pernah pergi ke Prancis beberapa kali. Ia pun ingat bahwa terkadang Pak CEO pun berekspresi dengan menggunakan beberapa kalimat pendek berbahasa Prancis, terutama ketika dia mengenang Alessandro Berluti, sang legendaris pembuat sepatu asal Prancis itu.
Tapi apakah Pak CEO benar-benar mahir berbahasa Prancis? Itu masih menjadi tanda tanya besar baginya.
Setelah berpikir sejenak, Mira menjawab dengan sedikit ragu, “Hmm... seingat saya, Pak CEO pernah ke Prancis dan pernah mengucapkan beberapa kalimat berbahasa Prancis. Ya, mungkin saja beliau bisa bahasa Prancis. Tapi saya tidak begitu yakin, Pak.”
Vania yang mendengarkan percakapan itu di meja resepsionis tersenyum kecil, merasa sedikit terhibur dengan situasi yang aneh ini. Ia tak berani tertawa atau ikut campur, tapi diam-diam ia merasa lucu dan sedikit… ngeri mendengar percakapan tersebut.
Sementara itu, Mira berusaha tetap tenang. Ia ingin mengkonfirmasi, tapi ia tahu bahwa Pak CEO hari ini melarangnya untuk menelepon kecuali ada urusan yang sangat mendesak, dan ia takut urusan bahasa ini tidak cukup mendesak untuk mengganggunya.
Apalagi kini Mira mendengar Karin masih marah-marah kepada beberapa staf tak jauh dari ruang divisinya. Tampaknya Pak CEO sedang tak ingin berbicara dengan tunangannya itu hari ini. Kalau sampai ia menelpon Pak CEO dan Karin mengetahuinya, ia takut Karin merebut telepon atau ponsel kemudian mengintervensi obrolan.
Mira memutuskan untuk beralih ke Ghea yang dari tadi menyimak. “Ghea, kamu bisa Bahasa Prancis?” Ghea menggeleng. “Kalau begitu tolong tanyakan kepada staf yang lain, mungkin ada yang bisa Bahasa Prancis…” pinta Mira. Ghea segera menemui berbagai divisi, menanyakan apakah ada yang bisa Bahasa Prancis. Sayangnya tak ada satu orang pun yang menguasai Bahasa Prancis.
“Tidak ada yang bisa Bu…” ucap Ghea di muka pintu.
“Karin?” tanya Mira.
Mendengar pertanyaan Mira yang sedikit absurd itu, Ghea hanya memutar bola mata sambil menghembuskan napas.
“Baiklah, lupakan dia!” sambung Mira begitu menyadari jalan pikirannya yang sudah mulai tak masuk akal.
Mira menghela nafas sejenak, meyakinkan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan sebuah kenekatan yang ia sendiri tidak sepenuhnya yakini, Mira berkata :
“Baik, sampaikan saja ke Monsieur Philippe, bahwa… Pak CEO sendiri sedikit bisa bahasa Prancis. Dan sampaikan juga bahwa… nanti kita coba bantu yang terbaik saat tiba di Jakarta. Satu lagi, tolong kabarkan kepada beliau, bahwa kami akan menjemputnya ke bandara.”
Pak Ketut mengangguk lagi, merasa sedikit lebih lega meskipun ada sisa ketidakpastian.
“Terima kasih, Ibu Mira. Saya akan sampaikan ke Monsieur Philippe.”
Setelah panggilan selesai, Mira menghela napas panjang. “Semoga saja Pak CEO memang bisa Bahasa Prancis. Kalau tidak, entah bagaimana nanti,” gumamnya sambil kembali fokus pada pekerjaannya.
Di meja resepsionis, Vania menutup telepon dengan senyum tipis. Meski baru bekerja seminggu, ia merasa hari ini akan menjadi hari yang menarik di kantor.
Pak Ketut kemudian beralih ke Philippe yang tampak menunggu dengan penuh harap. “Monsieur Philippe, CEO... parle… français,” (Tuan Philippe, CEO... berbicara... Bahasa Prancis) katanya dengan terbata-bata.
Kemudian Pak Ketut mengetik beberapa baris pesan yang diterjemahkan dan memperlihatkannya kepada Philipe dengan sedikit canggung, karena merasa tidak sopan.
Philippe yang tak sepenuhnya lega hanya mengangguk. “Très bien... merci,” (Baik, terima kasih,) jawabnya dengan hati-hati, masih merasa was-was.
Pak Ketut akhirnya melepas Philippe beserta istri dan seorang anak perempuannya yang masih remaja melanjutkan perjalanan menuju gate.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.