NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tangan yang Lembut part 1.

Pacarku memelihara seekor kucing betina di tempat kerjanya. Kucing yang sering memonopoli waktu istirahatnya. Kucing yang membuatku merasa hanya sebagai wanita kedua.

Sebelumnya aku ingin mengingatkan, aku bicara tentang kucing yang benar-benar hewan. Bukan kucing dalam konotasi lain. Kami masih remaja. Belum mungkin pacarku punya ‘kucing’ yang begitu. Tahu kan maksudku?

Hari ini, Ari, Pacarku sakit sehingga ia tidak bisa masuk kuliah dan bekerja. Saat menjenguknya aku menemukan kucing hitam itu di kamarnya, bermain di antara buku-buku yang berserakan di lantai. Aku cemburu dan alasannya terasa sangat konyol.

Membayangkan kucing betina itu tidur di kasur yang sama dengan pacarku saja aku merasa kesal. Bagaimana bisa orang yang mengaku suka dengan kesendirian tiba-tiba suka ditemani mahluk hidup lain di kamarnya. Tempat yang kalau bukan karena ingin menjenguk dia yang sakit, tidak pernah akan aku jejaki.

Ari menyambutku dengan senyuman, tapi sinar matanya terlihat redup. “Kamu tau aku sakit dari siapa?”tanyanya.

“Aku tadi ke kampus kamu. Kata teman sekelasmu kamu lagi sakit.” Aku membuang nafas. “Aku nggak ngerti deh, kamu ngabarin dia tapi nggak ngabarin aku. Ada apa?”

Ari diam.

“Jawab,”tuntutku.

“Aku nggak mau kamu khawatir. Itu aja. Jangan marah.”

“Kalo aku nggak boleh khawatir dan jenguk kamu, siapa lagi yang bisa ada di sisimu kalo kamu sakit?”

Ari tersenyum. “Kan ada Mio.”

Mio adalah nama yang Ari berikan untuk kucing itu. Aku mencemberuti Ari. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi candaannya benar-benar membuatku kesal. Dia tahu aku tidak suka Mio. Dia tahu aku benci mendengarnya bercerita tentang hari-harinya bersama Mio di tempat kerja. Aku rasa Ari sengaja berkata begitu untuk membuatku kesal.

“Mio kenapa di sini? Kamu nggak di marahin Ibu kosmu karena melihara kucing?” tanyaku ketus.

Ari hanya diam.

Mio mengeong lalu bermanja-manja dengan Ari. Aku benar-benar kesal. Apalagi saat melihat Mio naik ke pangkuan Ari dan tidur dengan cueknya di atas paha Ari. Mio bergelung di paha Ari sambil mengibar-ngibas santai ekornya.

Aku menggertakkan gigi. Aku benar-benar benci kucing satu ini. Tapi aku mencoba bersikap tidak peduli. “Kamu udah makan?”tanyaku pada Ari.

“Belum. Kamu bawa makanan?”

“Iya. Aku tadi beli nasi uduk di tempat favorit kita. Nih,”kataku. Aku mengeluarkan nasi uduk yang tadi kubeli dari tas lalu aku memberikannya pada Ari.

“Wah, thanks, ya. Aku sama Mio belum makan dari pagi tadi. Tuh, Mio. Bilang makasih sama Tia.”

Mio menguap dengan mata terpejam, mengacuhkanku. Ingin sekali rasanya melempari Mio dengan sesuatu. Tapi rasanya itu hanya akan memancing pertengkaran antara aku dan Ari. Karena itu aku menahan diri.

“Aku beliin nasi uduk buat kamu, bukan buat Mio,”kataku kesal.

Bibir Ari langsung terkatup rapat. Mungkin dia marah karena aku bersikap kejam pada peliharaannya. Terserahlah.

“Aku pergi dulu,”pamitku. “Lima belas menit lagi aku ada janji sama temen.”

“Hati-hati di jalan,”kata Ari tanpa menatapku.

“Iya,”kataku sebelum keluar dari kamar kos Ari. Rasanya Ari sedikit marah karena hal kecil barusan. Biasanya dia selalu mencegahku pergi jika kami baru bertemu sebentar karena ia ingin berlama-lama mengobrol denganku. Yah, Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mau berdamai dengan Mio.

Aku merasa patah hati, padahal masih punya pacar. Di dalam keramaian seperti rapat OSIS sekarang aku tidak bisa fokus sama sekali dengan kegiatan yang sedang di sampaikan oleh anggota salah satu sekbid. Aku tidak bisa berhenti mengkhawatir Ari walau aku patah hati karena dia. Rasanya aku harus berhenti berusaha memahami isi rapat.

Aku mengacungkan tangan kananku. “Permisi. Saya mau izin cuci muka sebentar. Boleh?”

Fajar, ketua OSIS satu memandangku lewat kacamatanya. “Aku lihat kamu banyak pikiran dari tadi. Kenapa?”bisiknya di sampingku.

“Lagi nggak mau cerita,”kataku balas berbisik. “Permisi,”kataku sebelum keluar dari ruang OSIS.

Aku bisa mendengar Fajar memberi waktu istirahat untuk semua anggota pengurus OSIS selama 15 menit saat aku sudah berada di luar ruangan OSIS. Aku punya firasat ia berencana mengikutiku dan ikut campur dalam masalahku seperti biasa.

Aku dan Fajar adalah teman baik saat kelas 10. Tapi setelah aku punya pacar saat semester 2 kelas sepuluh, Fajar perlahan menjauh. Dia dan aku jadi dekat lagi sejak kegiatan perpisahan untuk kelas 12 kemarin karena kami sering terpaksa berkomunikasi saat persiapannya. Kira-kira tepatnya sejak 2 minggu lalu dia jadi orang yang tidak mau jauh-jauh dariku. Padahal Fajar juga sudah punya pacar.

Aku mendesah lalu membasuh mukaku dengan air keran. Sebenarnya perhatian Fajar sedikit menggodaku untuk berselingkuh. Pacarku tipe yang terlalu kaku, tidak seperti Fajar. Rasanya jika aku ingin punya pacar untuk disayang-sayang, Fajar adalah orang yang tepat.

Aku mendesah lagi. Rasanya aku sudah mencapai batas frustasi sampai-sampai aku jadi mengharapkan cinta dari laki-laki yang dulu pernah dekat denganku. Apalagi dengan statusnya sekarang yang sudah jadi pacar dari gadis lain. Aku rasa aku tidak sanggup bersikap serendah itu.

Aku menabrak tubuh yang lebih tinggi dari tubuhku saat keluar dari toilet. Aku mendongak dan menemukan wajah Fajar yang terlihat serius di hadapanku. “Ngapain, sih, ngikutin? Aku lagi nggak butuh teman curhat,”kataku lalu beranjak meninggalkannya.

“Aku tau kamu lagi-lagi akan menolak bantuan moral dariku. Tapi setidaknya kamu harus tau kalo kamu butuh seseorang, masih ada aku.”

Kata-kata yang manis sekali. Mendengar Fajar berkata begitu aku jadi berharap pacarkulah yang mengatakan kalimat seperti itu. Aku juga berandai-andai kalau seharusnya pacarku adalah Fajar. Rasanya semuanya akan jadi lebih mudah jika salah satu dari 2 hal yang kuharapkan itu terjadi. Aku jadi tidak usah berurusan dengan penyayang kucing yang membuatku merasa di nomorduakan.

“Ini soal pacarmu lagi?”tanya Fajar.

Aku mengangguk sambil berjalan. Dari jarak suaranya yang terdengar sangat dekat, aku tahu dia mengikuti langkah kakiku.

“Juga soal Mio?”tanyanya lagi.

Aku mengangguk keras-keras. Karena selalu bercerita pada Fajar tentang Ari sejak kami dekat lagi, dia jadi hapal semuanya. Mungkin Cuma dia yang tahu kalau kucing betina itu satu-satunya masalah dalam hubungan kami.

“Mio cuma kucing. Santai aja,”katanya ringan.

Aku mendesah. “Aku pengen di sayang pacarku kayak dia memperlakukan Mio. Aku benci banget sama kucing satu itu,”curhatku akhirnya.

Fajar tertawa.

Aku tidak suka caranya menertawaiku. “Apanya yang lucu?”tanyaku.

“Kamu suka di elus-elus kayak kucing?”tanyanya, membuat pipiku merona.

Aku mendiamkannya lalu berjalan cepat-cepat ke ruang OSIS.

Sebuah tangan hangat meraih tanganku. “Maaf. Aku cuma becanda,”kata suara Fajar.

“Becanda kamu kelewatan.”

“Tapi masih bisa di terima, kan?”tanyanya.

“Aku nggak mau ngomong sama kamu.”Aku menyentak tanganku agar terlepas dari tangannya lalu berlari kembali ke ruang OSIS. Tidak ada yang memperhatikanku saat masuk ke ruangan, jadi aku bisa lega.

Ketika Fajar tidak kunjung kembali bahkan sampai rapat berakhir, aku jadi bingung sendiri. Apa yang dia lakukan?

Fajar datang ke rumahku dengan tubuh yang masih memakai seragam. Setelah menghilang di rapat tadi, dia berani-beraninya menunjukkan hidung di depanku. Ekspresinya tidak terlihat bersalah sedikit pun, padahal dia sudah membuat teman-teman kami di OSIS mengira kami bertengkar karena ia tidak kembali ke ruangan.

“Tadi kemana?”tanyaku ketus.

“Ngerokok di toilet cowok. Kenapa?”

Aku cuma bisa diam menahan amarah. Dia merokok dan dengan santainya mengatakan hal itu padaku? Aku ingin memarahinya tapi aku terlalu kesal untuk melakukan hal itu. “Pergi,”usirku.

“Oke. Aku cuma mau nganterin bukumu yang ketinggalan, nih,”katanya sambil mengulurkan bukuku, buku catatanku sebagai sekretaris OSIS. Aku mengambil buku itu dari tangannya lalu menutup pintu.

“Nggak mau bilang makasih?”teriaknya.

Aku membuka pintu lagi. “Makasih,”kataku padanya lalu menutup pintu lagi.

Fajar tertawa keras sekali. Untunglah orang tuaku tidak ada di rumah.

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!