NovelToon NovelToon
Stuck On You

Stuck On You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: _Sri.R06

Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.

Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.

Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.

Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perhatian Abian dan Jerat Kaivan

Setibanya di pusat perbelanjaan, Agnia keluar dari mobil Abian, yang diikuti oleh pria itu.

“Jadi apa yang ingin kamu beli di sini?” tanya Agnia, sebelum mereka memasuki tempat itu.

“Tidak ada,” jawab Abian.

Agnia mengernyit. “Tidak ada?” Dia lantas menatap Abian dengan pandangan bertanya, namun melihat anggukan Pria itu Agnia merasa dia tidak salah dengar.

“Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Agnia. Apa Abian hanya menyibukkan dirinya saja? Bukankah ikut berbelanja hanya akan membuat pria itu merasa bosan.

Namun saat itu Abian malah menjawab, “Karena kamu ke sini,” katanya.

Agnia akhirnya menyerah, dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Abian. Mereka memasuki supermarket terdekat, Agnia mendorong pintu dan memasuki tempat yang dipenuhi oleh berbagai keperluan sehari-hari itu.

“Jadi apa yang ingin kamu beli?” Abian bertanya, mereka tengah mengambil sebuah troli saat itu.

“Bahan makanan, makanan ringan, stok sabun. Dan beberapa yang lain juga.”

Mereka mulai melewati lorong, melihat berbagai makanan yang terpajang di rak penyimpanan.

Agnia sadar, sepanjang perjalanan dirinya dan Abian melewati lorong yang juga dipenuhi orang-orang yang berbelanja itu ternyata berhasil menyita perhatian mereka. Lebih tepatnya, Abian yang melakukannya.

Terkadang para wanita dari kalangan yang masih muda ataupun yang lebih tua melirik secara diam-diam atau bahkan terang-terangan untuk melihat Visual pria itu yang memang sulit untuk dilewatkan.

Agnia bahkan sempat meringis saat mendengar beberapa orang-orang itu berbisik dan terkikik geli. Kini Agnia merasa tidak nyaman.

“Kamu seperti magnet, ya?” Agnia berujar tiba-tiba, sementara Abian yang di sampingnya hanya mengangkat alis.

Agnia tersenyum kecil. “Kehadiranmu berhasil membuat banyak orang tertarik.” Agnia mengambil sayur bayam di antara banyaknya sayur yang tertata rapi di dalam lemari pendingin.

“Itu karena mereka memiliki mata,” jawab Abian singkat.

Agnia sontak memukul bahu pria itu, memelototinya dengan kejam. “Bukan seperti itu!” ujarnya, dia menyimpan sayuran itu ke dalam troli setelah memasukkan ke dalam kantong plastik, sebelum kembali berbicara. “Kamu sama sekali tidak mengerti!”

Abian ikut mengambil tomat dan menyimpannya di dalam troli. “Kalau begitu biarkan saja. Aku hanya perlu fokus pada apa yang perlu aku lakukan tanpa memperdulikan orang-orang itu, kan?”

Mereka berjalan lagi, kini berhenti di depan Freezer untuk mengambil daging dan juga ikan.

“Apa kamu bisa memasak semuanya?” Abian bertanya dengan tidak yakin.

Tiba-tiba saja Agnia yang mendapat pertanyaan itu terdiam. Bibirnya justru malah mengeluarkan cengiran lucu yang bagi Abian itu adalah jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Kalau begitu aku akan mengajarkanmu memasak.” Abian berkata santai namun di saat bersamaan Agnia justru tidak percaya.

“Kenapa?” Abian tahu tatapan meremehkan wanita di sampingnya itu. “Tidak percaya aku bisa memasak?” tanyanya, dengan raut wajah yang tenang.

“Kamu sungguh bisa memasak?” Agnia bertanya memastikan, melihat raut serius Abian rasanya pria itu tidak mungkin membohonginya.

“Dulu aku sempat belajar memasak saat menempuh pendidikan di luar negri. Karena hidup di sana harus menjadi mandiri, aku juga harus bisa menghidupi diriku jika ingin bertahan,” kata Abian.

“Semuanya dilakukan sendiri? Apa tidak meminta bantuan dari orang lain? Seharusnya kamu memiliki cukup uang untuk menyewa koki, atau membeli makanan di restoran mahal, kan?” tanya Agnia, di sela-sela langkah mereka saat melewati area per-sabunan.

Abian terdiam, sorot matanya seolah berkelana menembus masa lalu. Dia kemudian berkata. “Para penerus dari keluarga Bellamy harus menjadi orang yang mandiri dan bisa menyelesaikan masalah saat mereka mulai belajar dan memasuki dunia perkuliahan. Mereka diharuskan untuk tidak bergantung pada apa yang dimiliki keluarga. Kakek yang membuat peraturan itu, semua biaya pendidikan memang ditanggung oleh keluarga, namun untuk kebutuhan hidup, kami tetap harus bekerja di tempat lain.

“Tapi bagusnya, setiap penerus Bellamy yang melewati itu semua memiliki pemikiran yang lebih terbuka, mereka berkembang dengan cepat, juga jadi terbiasa untuk menghadapi berbagai macam orang di dunia bisnis,” kata Abian, berbicara panjang lebar. Agnia bahkan sampai terperangah karena untuk pertama kalinya Abian berbicara begitu panjang.

Namun saat mendengar cerita pria itu, Agnia kini tahu dari mana kemampuan Abian dan kepribadiannya yang lebih tenang dan dewasa itu. Dia kagum dengan cara Tuan Arsenio membentuk keturunannya dengan sedemikian rupa hingga bisa menjadi para sosok besar sekarang ini.

Ya, meskipun ada beberapa dari keluarga itu yang justru memiliki kepribadian arogan. Namun tetap saja, sebenarnya dari segi kesuksesan, mereka semua memang layak untuk diapresiasi.

Agnia kemudian menatap Abian, dia tersenyum saat Abian juga menatapnya dengan pandangan bertanya. “Baik! Aku menerima tawaranmu tadi. Ajari aku memasak saat kamu memiliki waktu luang!”

Agnia berjalan terlebih dulu mendorong troli yang sudah dipenuhi belanjaannya. Dia tidak sadar jika Abian sedang mati-matian menahan bibirnya yang ingin tersenyum karena tingkah Agnia barusan.

Mereka sudah berada di depan kasir saat ini. Dua troli penuh barang-barang yang masing-masing dibawa oleh Agnia dan Abian semuanya sudah dipindahkan ke atas meja untuk dihitung. 

“Semuanya jadi 2.879.000.”

Agnia baru saja bersiap mengeluarkan kartu saat Abian sudah lebih dulu membayarkan belanjaannya dengan kartu berwarna hitam miliknya.

“Loh, Abian, aku saja?”

“Tidak apa-apa—pakai saja kartu Saya.” Abian menatap Agnia sekilas sebelum berbicara pada wanita penjaga kasir tersebut.

Abian sudah mengambil kembali kartunya, mereka membawa beberapa kantong belanjaan ke luar dari tempat itu menuju area parkir.

Dalam perjalanan menuju mobil Abian itu, Agnia masih tidak terima. “Seharusnya kamu tidak perlu melakukan itu, lagi pula semua itu adalah belanjaanku. Kamu bahkan tidak membeli apapun,” kata Agnia, saat melihat Abian sudah membuka bagasi mobil dan mulai memasukkan belanjaan itu ke sana. 

“Kalau begitu, lain kali traktir aku makan,” kata Abian dengan raut tenang setelah menutup kembali bagasinya.

Agnia yang mendengar itu berseru semangat. “Setuju!” Tapi tiba-tiba wajahnya berubah murung membuat Abian menatap bingung wanita itu. “Tapi jangan yang mahal-mahal, ya. Aku belum kaya,” katanya dengan nada polos.

Abian menggeleng lemah. Dia menatap mata Agnia cukup lama kemudian tersenyum. “Traktir saja apa yang kamu mau,” ujarnya, sambil sebelah telapak tangan besarnya itu sudah mengacak-acak rambut Agnia. Setelahnya Abian terkekeh kecil saat melihat wajah Agnia justru tertutup rambut karena ulahnya.

“Kan, berantakan! Ish.” Agnia merengut, dia membenarkan rambutnya yang sudah tidak berbentuk, namun tak urung tetap tersenyum kecil.

Saat Agnia akan memasuki mobil, Abian menghentikan langkahnya.

“Tunggu.”

“Kenapa?”

“Duduk dulu di sana, biar aku lihat kakimu,” kata Abian, dengan raut wajah tanpa ekspresi. Namun Agnia yang mendengar itu jelas bisa saja salah paham.

Dia membulatkan mata seraya berkata. “Dasar mesum!”

Abian yang diteriaki itu jelas tertegun. Namun dia masih bersyukur karena tidak ada orang yang mendengar itu. “Apa yang kamu pikirkan? Aku ingin melihat kakimu karena sepertinya semenjak perjalanan tadi kamu seperti kesakitan,” kata Abian, menjelaskan maksudnya.

Namun Agnia malah termangu, jadi dia salah paham?! Betapa malunya Agnia saat ini, rasanya dia telah dua kali menyalahpahami Abian. Agnia benar-benar menyesal.

“Tunggu apa lagi, cepat duduk.”

“Iya.” Agnia menjawab dengan suara kecil, dia lantas duduk di dalam sofa mobil dengan kedua kakinya yang mengarah di luar.

“Tapi aku tidak apa-apa, sungguh!” Agnia yang tadinya hendak berdiri lagi langsung ditahan oleh Abian, lelaki itu menekan bahunya agar tetap duduk dan tidak bergerak.

“Aku yang akan memastikannya.” Kemudian Abian mulai berjongkok. Dia membuka sepatu yang membungkus kaki Agnia. Saat tanpa sengaja jemari tangan Abian menekan pergelangan kaki Agnia yang terkilir karena kejadian bersama Shena pagi tadi, Agnia meringis.

“Sepertinya terkilir,” kata Abian, dia menatap wajah Agnia dari bawah. Namun malah tertegun saat cahaya matahari justru seolah jatuh tepat di wajah wanita itu dengan lembut.

Abian terdiam, tanpa sadar matanya memperhatikan Agnia dengan saksama. Setiap kali mata itu berkedip, bulu matanya yang panjang seolah menyapu udara, setiap pergerakan menjadi lambat, dan Abian terperangkap di dalamnya. 

Dipandanginya wajah itu lebih lama, tepat ketika angin berhembus, rambut hitam legamnya yang panjang tersapu, menghalangi penglihatannya. Entah mendapat dorongan dari mana, Abian sedikit mencondongkan tubuhnya, setengah berdiri. Tiba-tiba tangannya sudah terangkat tepat pada wajah Agnia, disingkirkannya rambut itu dengan lembut, kemudian dia selipkan ke belakang telinga.

Agnia berkedip dua kali, situasi macam apa yang sedang dihadapinya saat ini?! Jantungnya tiba-tiba saja menggila. Detak, kan, nya begitu tak beraturan. Bahkan rasanya Agnia hampir lupa bagaimana cara bernapas jika saja kesadarannya tidak segera pulih.

Namun dalam posisi sedekat tadi, Abian tersadar, wanita itu memiliki tahi lalat yang sangat kecil di bawah mata sebelah kanan. Dan, satu hal lagi. Agnia … memiliki netra emas yang tampak bersinar di bawah cahaya hari itu, atau biasa dipanggil amber.

“Cantik.”

Agnia berkedip dua kali, dia tidak terlalu memperhatikan apa yang Abian katakan. “Apa?”

“Bukan apa-apa.” Abian berpaling dari Agnia, dia sedikit memberikan pijatan di area kaki Agnia yang sebelumnya terasa sakit.

“Ayo kita pulang. Kakimu sudah lebih baik, sekarang?” tanyanya, setelah memakaikan kembali sepatu Agnia di kakinya.

“Oh!” Agnia terkejut, sekarang kakinya sudah terasa lebih baik. “Iya, kamu juga bisa melakukan pijatan ternyata?!”

“Hanya dasarnya saja. Tapi sepertinya harus tetap dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih baik.” 

“Tidak! Aku sudah jauh lebih baik. Ayo, kita pulang saja, ya?” Agnia memasang wajah melas. Dia tidak ingin ke rumah sakit.

Abian hanya bisa menghela napas pasrah. “Baiklah.”

Di dalam mobil, Agnia terlebih dulu mengecek ponselnya yang beberapa saat lalu mengeluarkan notifikasi. Namun napasnya terasa berat saat melihat sebuah pesan yang dikirimkan ke nomornya itu.

[Seharusnya kamu menjaga jarak dari pria manapun Sayang, atau aku terpaksa akan membuat pria yang membuatmu memperhatikannya itu menghilang dari dunia ini.]

Kemudian sebuah foto juga ikut dikirimkan ke ponselnya, itu adalah saat Abian sedang mengecek pergelangan kaki Agnia. Itu artinya orang itu sedari tadi memperhatikan mereka.

Agnia langsung melihat ke segala arah, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Abian yang melihat Agnia bertindak aneh lantas bertanya. “Kenapa?”

Agnia menatap Abian begitu cepat. “Tidak!” jawabnya, terlalu cepat hingga Abian dapat merasakan sesuatu yang mencurigakan dari gerak-gerik Agnia.

“Kita pergi sekarang, ya. Cepat,” kata Agnia, tangannya sudah saling meremas. Bola matanya bergerak gelisah, tanpa sadar Agnia menggigit bibirnya sendiri. Ini yang akan terjadi saat dirinya merasa cemas atau ketakutan.

Abian menyadari itu, jadi segera melajukan mobilnya berharap dengan itu Agnia bisa menjadi lebih tenang.

***

Setelah beberapa lama Agnia hanya berdiam diri di kamarnya. Memperhatikan pesan yang kini berdatangan lebih banyak. Bahkan mau berapa kali pun Agnia memblokir nomor itu nomor baru selalu datang memberikan pesan serupa. 

“Kenapa dia tidak mau berhenti?!” Agnia memeluk lututnya, memperhatikan ponselnya yang menampilkan pesan itu.

“Kenapa dia terus-menerus mengganggu hidupku!”

Kemudian dalam gerakan cepat Agnia mengambil ponselnya, dia menekan icon hijau berbentuk telepon. Memanggil nomor itu untuk mengungkapkan amarahnya.

Dalam panggilan pertama telepon langsung tersambung.

Dari seberang sana kekehan samar terdengar mengerikan.

“Kenapa? Kenapa kamu terus melakukan hal ini, Kaivan?!” tanya Agnia, dengan nada geram menahan amarah.

Dari seberang sana suara Kaivan terdengar. “Kenapa? Sayang … aku sebenarnya tidak ingin menjadi pemaksa, tapi Agnia …  jika kamu bersikeras untuk menjauh, maka aku tidak memiliki pilihan lain, bukan?” Kaivan menjeda ucapannya, kemudian terdengar kekehan samar sebelum dia kembali melanjutkan. “Maka aku harus mengikatmu agar tidak bisa pergi dari sisiku.”

Agnia membanting ponselnya di atas kasur setelah mematikan panggilan itu. “Gila!” lirihnya. “Dia benar-benar gila!”

1
Jam Jam
ceritanya bagus ka, dilanjut ya kak. Semangaaat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!