NovelToon NovelToon
Black Parade

Black Parade

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Identitas Tersembunyi / Kutukan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Dendam Kesumat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sad Rocinante

Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !

Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.

------------------------------------------------

Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.

Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.

Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"

------------------------------------------------

Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...

Apakah kau tetap mau menari bersamaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian II - Death Penalty

November tiba begitu cepat sepertinya, tanggal 5 telah tiba, hari ini hari selasa yang ramai, tanggal pemeriksaan kekayaan dan penarikan pajak jatuh pada hari ini, serta hari ini juga adalah hari penghukuman bagi para pendosa termasuk Saroh dan Naisah yang akan segera dilaksanakan.

Eksekusi dijadwalkan pada pukul empat atau lima sore di pusat kota Nolohopis, tepatnya di depan bangunan bekas pengadilan yang telah berganti fungsi menjadi gudang rampasan.

Nampaknya penduduk yang datang semakin banyak dan bergelombang dari pada eksekusi biasanya, karena beredarnya rumor tentang seorang penyayi lah yang akan dieksekusi di tali gantungan.

Pada gelombang pertama penduduk yang datang pagi hari merupakan para pedagang yang langsung membawa tempat duduk dan menentukan lokasi toko masing-masing, dan setiap orang tua menyiapkan bekal makanan kepada anak-anaknya seperti berlibur saja.

Gelombang kedua adalah pada siang hari, dimana para penduduk yang ingin memberikan pajaknya telah datang berbondong-bondong dari seisi sudut kota Nolohopis.

Hingga pada sore hari Gelombang ke tiga juga ikut memadati seisi kota dan jalan-jalannya hingga terasa sesak. Yaitu para prajurit, orang kaya yang dekat dengan kerajaan, para pendeta dan biarawan gereja, beserta orang-orang dari kota lain yang lebih memilih datang untuk menonton eksekusi Si Penyanyi dari pada menonton eksekusi di kotanya sendiri.

Tepat pukul empat sore keadaan kota semakin padat saja, suara yang tadinya hening menjadi keributan yang tidak biasa terjadi. Para penjual dan pembeli asik menawar dengan gerakan tubuh maupun dengan suara bagi orang yang bisa berbicara. Pencuri mengendap-endap mengincar wanita-wanita berpakaian rapih dari kota sebelah, pemabuk yang berjalan sempoyongan menimbulkan kerusuhan dan ketakutan bagi penduduk lainnya, begitu pula anak-anak tak jauhlah bedanya.

Merasa tidak tahan lagi, Seorang Kepala Eksekutor bernama Monsieur La Bruno menaiki panggung eksekusi, dengan suara keras dan tegas dia memerintahkan para eksekutor untuk membawa para pendosa dari kurungan menuju panggung eksekusi.

Dengan cepat sekelompok prajurit yang keluar dari arah penjara nampaknya telah membawa para tahanan untuk diarak ke atas panggung eksekusi yang jaraknya sekitar 100 meter dari penjara.

" Jalan!"

Mendengar perintah dari Monsieur itu, secara serempak prajurit lainnya berjalan mengawal para pendosa.

Tampak dari dalam penjara keluar para tahanan dengan tangan dan kaki tengah terikat, tangan terikat ke belakang menggunakan tambang yang tebal dan diikatkan dengan teramat kencang sampai-sampai melukai kulit, sementara kaki diikat dengan rantai besi, dimana rantai-rantai itu terikat dengan kaki kanan para tahanan satu sama lainnya.

Para penonton yang takut melihat para Algojo yang juga berjalan di belakang rombongan mulai membuka jalan bagi mereka, serta membentuk lingkaran di tengah-tengah mengelilingi panggung eksekusi. Dalam keheningan terdengar suara decak rantai dari kaki-kaki tahanan yang berjalan beriringan.

Cakkk ... cakkk ... cakkk ....

"Berhenti!"

"Lepaskan rantai!"

Teriak Monsieur La Bruno kepada para prajurit setelah para pendosa telah sampai di panggung eksekusi.

Hari ini terdakwa yang akan di hukum berjumlah enam orang—termasuk Saroh dan ibunya—diantaranya adalah para perampok, pembunuh, dan pemerkosa. Hukuman yang di berlakukan cukup lah adil walaupun akhirnya akan mati juga tentunya.

"Kamu dan kamu cepat naik!"

Perintah Monsieur kepada dua orang pemerkosa dan pembunuh dengan cara menunjuknya.

Menurut peraturan dan kesepakatan, pendosa yang memiliki kesalahan paling besar, seperti: koruptor, pembunuh, pemerkosa, penyihir, dan pemusik yang membuat orang menari adalah orang yang akan dihukum pertama kali sebelum para pendosa dengan dosa sedang, seperti: pencuri, perampok, pelacur, maupun penyayi dan dosa sedang lainnya.

Para pendosa yang berat akan dihukum gantung dengan terlebih dahulu kulit perut mereka akan di sayat dengan pisau yang sangat tajam dengan sekali sayatan yang akan merobek dan mengeluarkan isi perut, dan pendosa yang telah tersayat perutnya harus menahan perutnya sendiri agar isi perut itu tidak keluar dulu sebelum digantung.

Sedangkan untuk pencuri dan penyayi akan dihukum dengan tali gantungan saja tanpa merobek perutnya terlebih dahulu, namun ujung-ujungnya mereka akan tetap mati, dan setelah mati mayat mereka akan dipenggal lagi kepalanya agar kepala itu diangkat keatas oleh para eksekutor sebagai lambang bahwa hukum itu memang benar adanya, sehingga hal itu akan memberikan dampak jera serta takut bagi masyarakat lainnya.

***

"Algojo ...!"

Segera dua orang Algojo membimbing kedua orang pertama ke atas panggung untuk dieksekusi. Panggung eksekusi terbuat dari kayu, dimana terdapat ember dari besi sebagai pijakan, dan tali gantungan yang diikat bulat sedemikian rupa pada enam tiang gantung, bentuknya disimpul pas dengan leher agar tali itu mencekik sampai mati.

Para Algojo galak memaksa orang yang akan dieksekusi naik dan berdiri di atas ember besi, lalu mengalungkan tali gantungan kedalam kepala orang itu serta menariknya kencang sampai orang itu merasakan sakit di lehernya.

Hackkk ....

Setelah para pendosa berat sudah berdiri di tiang gantungan, ikatan tali di tangan mereka akan diputuskan, tujuannya adalah saat perut mereka dirobek maka tangannya bisa menahan isi perut tersebut supaya tidak keluar .

"Pisau ...!"

"Siap Pak!"

"Robek ...!"

Srakk ....

Dengan sekali ayunan Algojo merobek perut orang itu.

"Aaaaaaaa ...!" teriak pendosa amat keras karena kesakitan.

"Tahan isi perutmu!" bisik Algojo.

Monsieur kembali memerintah.

"Pisau ...!"

"Siap Pak!"

"Robek ...!"

Srekk ....

"Aaaaaaaa ... sakit ...."

"Jangan sampai tumpah!"

Setelah perut dirobek dan pendosa berteriak amat kesakitan, orang-orang yang menonton bukannya ketakutan atau merasa ngeri, mereka malah bersorak mengangkat tangan dan melambai-lambai seakan sedang menyaksikan opera atau drama saja. Begitu pula dengan Bapa Pendeta dan para Biarawan yang tadinya mengutuk hukuman ini sekarang malah ikut larut di dalamnya.

"TARIK ...!" teriak Monseour.

Cekatan dua Algojo lainnya yang berdiri di belakang menarik tali yang terhubung dengan ember besi, sehingga para terhukum itu tercekik sangat kuat dan amat menyiksa, dia harus memilih menahan sakit di lehernya atau menahan sakit di perutnya. Semakin lama pendosa menahan rasa sakitnya, semakin kencang pula sorak sorai dari para penonton.

MATI...  MATI....

Hingga pada akhirnya dalam penderitaan yang sudah tidak tertahankan lagi, tangan para terhukum sudah tidak bertenaga lagi dan napas telah berada di ujung kepala, sesak sungguh sesak, seisi perut berupa usus-jeroan keluar membanjiri lantai panggung yang telah penuh dengan darah merah segar.

Sebagian penonton banyak yang mual dan muntah, namun kembali bersorak seakan dapat kehidupan kedua kalinya.

"Selanjutnya kalian."

"Cepat naik!" ucap Monsieur kepada dua orang yang telah berkeringat ketakutan sampai pakaian mereka basah seluruhnya.

Dua perampok selanjunya diarahkan oleh Algojo untuk naik dan menggantung lehernya seperti para pendosa sebelumnya, tetapi perut mereka tidak lah dirobek melainkan tangannya tetap diikat kebelakang.

"TARIK ...!"

Hackk ....

Kedua perampok itu seketika kejang-kejang dengan badan tergantung mati berlahan, wajah membiru dan mata yang hampir meledak keluar. Kembali para penonton bersorak gembira menikmati tontonan menegangkan tersebut.

HORE ... LAGI ...  LAGI ....

"Selanjutnya ...!"

"Naik ...!"

Naisah dan Saroh berjalan menaiki tangga menuju panggung eksekusi, di bawah kakinya telah penuh dengan genangan darah yang membasahi lantai panggung, membuat mereka berdua menangis gemetaran serta pandangan mereka tidak lagi mengandung makna, hanya kosong saja.

Naisah yang sudah tua dan bungkuk, Saroh yang dulunya cantik menjadi wanita yang kotor dan kurus, berjalan dengan lunglai menaiki ember penghukuman dan memasukkan kepalanya dengan iklas ke dalam tali gantungan.

"Wanita ini adalah pendosa yang telah melanggar keagungan sang raja, dan di sebelahnya adalah nenek tua yang berharap bisa menutup-nutupinya dari pandangan sang kuasa. Maka, dengan itu mereka akan dijatuhi hukuman yang setimpal."

"Algojo ...!"

"Ta– ...."

Belum sempat Monsieur mengatakan tarik, tiba-tiba Saroh bernyayi dengan tatapan kosong mengangkat kepala menatap langit mendung.

"Tuhan memberikan jalan menuju kehidupan kekal setelah melewati kematian, dia bersamaku saat orang yang kukasihi mati.

Kematian pasti datang, tetapi itu bukanlah akhir kehidupan. Dia berjanji akan mempertemukanku kembali dengan mereka yang telah mati.

Dia mengerti rasa kehilangan yang kualami, dan aku juga tahu bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Wahai kehidupan setelah mati."

Mendengar nyayian itu tiba-tiba seluruh isi kota menjadi tenang dan damai, rasa cinta, kasih sayang, sukacita, dukacita, dan puji syukur semuanya bercampur seakan menyambar bak kilatan petir. Semua bersorak untuk kebebasan penyanyi itu.

"Sungguh mulialah dia, lepaskan lah tali gantungan itu dari padanya."

"Sungguh indah dirinya, tak pantaslah dia bersama pendosa itu."

"Lepas ... lepas ... lepas ...!"

Suara dari segala arah memenuhi panggung gantungan, membuat Monsieur dan para algojo menatap Saroh penuh kekaguman dan rasa bingung kenapa dia bisa berada di tali gantungan itu, sementara dia adalah air bersih yang begitu suci.

Penuh rasa bersalah, Monsieur memerintahkan agar ikatan tangan dan tali gantungan di leher Saroh segera dilepaskan.

Teramat pelan dan hati-hati diselimuti senyum yang ramah, para algojo yang galak melepaskan tali yang mengikat Saroh dan membimbingnya turun dari ember besi penghukuman.

Para penduduk yang menonton menjadi kagum dan dipenuhi senyum ramah pada wajah mereka, berseri-seri.

Suasana terasa menjadi indah dan bersukacita sebelum seorang Biarawati berteriak sangat kencang dan ketakutan.

"Dia adalah penyihir, dia adalah penyihir... bagaimana mungkin dengan seketika semua orang bisa melemparkan senyum sementara dia adalah pendosa yang akan dihukum gantung? " teriak Biarawati tersungkur ke tanah, ketakutan menatap Saroh.

Tersadar dari mimpi, dengan cepat seisi kota kembali rusuh dan gila, Monsieur dan para algojo tersadar akan tugasnya, semua orang bertanya-tanya akan apa yang telah terjadi dengan mereka, sehingga dalam kompromi dan ketakutan setiap dari mereka setuju bahwa wanita itu adalah seorang penyihir yang dapat mempengaruhi semua orang dengan nyanyiannya.

"BUNUH DIA ... BUNUH ... BUNUH ...!" teriak orang-orang.

"Tangkap-tangkap!" perintah Monsieur kepada algojo.

"Hukuman apakah yang pantas bagi seorang penyihir wahai Bapa Pendeta?" Lirik Monsieur kearah Pendeta dan para Biarawan.

"Bakar ...," jawab Sang Bapa Pendeta dengan penuh kebencian.

Seketika seluruh pengisi kota berteriak menyambar, menyerukan amarah mereka.

"BAKAR ... BAKAR ... BAKAR ...!"

"Algojo ikatkan dia di tiang pembakaran!" teriak Monsieur.

Saroh yang tadinya dilempari senyum telah terikat pada tiang pembakaran dan dipenuhi tatapan kebencian dan rasa takut oleh seisi kota.

"Ibu nya juga ...!" teriak para penduduk sehingga Naisah juga ikut diikatkan dalam tiang pembakaran.

Para prajurit menumpuk kayu-kayu bakar mengelilingi tiang pembakaran, menyiraminya dengan minyak tanah agar cepatlah api menyembur dari padanya.

Sebelum api dinyalakan, salah seorang perempuan dari arah depan kerumunan bertanya apakah wanita itu sedang mengandung? Karena ketika tubuhnya diikat dengan tiang pembakaran nampak lah perut wanita itu buncit seperti ibu yang sedang mengandung.

Mendengar perkataan itu membuat rasa religius dan keadilan dari Bapa pendeta mulai terketuk, karena sesuai peraturan yang telah disepakati pemerintah kerajaan dengan gereja. Yaitu, hukuman bagi pendosa yang sedang dalam keadaan mengandung ketika akan diberikan hukuman mati adalah ditangguhkan terlebih dahulu sampai dia melahirkan, karena membunuh ibu yang sedang mengandung sama saja dengan membunuh bayi tidak berdosa di dalamnya.

Menyadari akan hal tersebut, Bapa Pendeta memerintahkan salah satu dari Biarawatinya untuk memeriksa apakah benar wanita itu sedang mengandung atau tidak.

Ternyata benar saja, bahwa wanita itu sedang mengandung dan diperkirakan usia kandungannya telah menginjak dua atau tiga bulan. Semua orang terkejut dan mengutuk penjara serta seluruh bagiannya, tuduhan yang paling mungkin adalah bahwa wanita itu bisa mengandung karena para penjaga atau sipir penjara lah yang telah memerkosanya.

Seketika semua tatapan tertuju kepada Monsieur La Bruno sebagai kepala penjaga penjara, menyadari dirinya sedang dalam masalah, Monsieur memerintahkan agar algojo segera menyalakan api pada kayu-kayu pembakaran itu agar si wanita cepat terbakar saja.

Namun, sama sekali tidak ada satu orang pun algojo yang berani melakukannya, sehingga dengan amat terpaksa Monsieur menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah kayu bakar yang telah disirami minyak sehingga dengan cepat apinya menyambar dan menyebar semakin besar.

Para Biarawan yang melihat api telah menyala bergantian menyiramkan air dan melepaskan ikatan di badan Saroh serta mengangkatnya keluar dari lingkaran kayu sebelum api meluas kembali.

Sayangnya sebelum Saroh berhasil melompat keluar, api telah terlebih dahulu menyambar ke arahnya sehingga pakaian dan wajah Saroh terbakar karenanya.

Untungnya, salah seorang Biarawati sempat menarik tangannya dan melemparkan Saroh keluar dari api tersebut serta dengan cepat menyiramkan air dingin kepadanya sehingga api tidak sampai membuatnya mati terbakar.

Melihat kelakuan dari Monsieur membuat seisi kota menjadi geram dan marah, Monsieur yang sudah gemetaran dan berkeringat diam-diam menyelinap dari balik para algojo untuk melarikan diri dari sana, sehingga tepat lah pilihannya melarikan diri, membuat dirinya tidak mati dihakimi para penduduk kota.

Saroh yang kesakitan karena luka bakar di wajahnya mulai menyadari bahwa ibunya masih terbakar oleh api yang besar, dia mencoba menyelamatkan ibunya, tetapi api sudah terlalu besar untuk dia masuk sehingga ibunya telah terbakar dan melepuh seluruh kulit.

"IBU ... IBU ... KENAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU ...?!"

"IBU ...!"

Saroh mengaum dalam tangis,  meringis dalah pedih.

"Aku mencintaimu ... aku mencintaimu, aku sungguh mencintaimu, aku mencintaimu Ibu .... Kenapa engkau melindungiku, kenapa engkau tersenyum saat aku bernyayi, kenapa aku tidak bisu saja sepertimu, Ibu ...?" Suaranya semakin parau.

"Maafkan aku, maafkanlah aku, Tuhan aku mohon selamatkan ibuku."

Saroh menangis dan meraung semakin keras, mata birunya telah menjadi aliran sungai berkaca-kaca, pelupuk mata tak sanggup lagi menahan sesak di dada, air mata mengalir tak henti-hentinya, dunia telah hitam, hancur lebur langit runtuh dalam hati mendung, kesedihan merobek hati tak terbendung.

"KENAPA ... KENAPA KALIAN MEMBUNUH IBUKU  ...!" teriak Saroh penuh kemarahan—menggelegar dan menggema.

Tak ada yang menghiraukan tangisan gadis kesepian ini, semuanya diam dan hirau perduli.

Dari balik lidah api Saroh sempat melihat mulut ibunya bergerak Samar-samar seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu.

'Sungguh aku tidak ingin mati demi orang yang aku cinta, melainkan aku ingin hidup selamanya demi dirinya. Jadi maafkan lah aku anakku sayang, aku selalu mencintaimu. Dulu, sekarang, dan selamanya. Sepanjang Sungai Oitan, sehangat matahari, seharum bunga, seluas lautan, dan sepekat kegelapan malam, aku selalu mencintaimu. Jagalah dirimu surgaku dan Tuhan beserta engkau kasihku.'

Api pun semakin membesar, Naisah telah hangus sepenuhnya.

Mulailah tercium aroma daging yang telah gosong oleh api, menyebar kemana-mana membuat orang merasa lapar saja.

"IBU ...!"

Orang-orang yang melihat Saroh berlari ketakutan menjauhi dia, begitu pula Bapa pendeta dan para Biarawan yang tadinya menolongnya juga takut dan jijik kepada pendosa seperti dia, nampaknya kebaikan mereka tadi hanya karena rasa kasih kepada manusia di dalam perut Saroh saja, bukan kepada dirinya.

Semua orang satu sama lain bertanya siapakah yang akan merawat kandungannya maupun bayinya jika dia terlahir nanti, semua orang tidak sudi menerimanya namun tidak tega membunuhnya.

Sehingga Bapa Pendeta yang bernama Bapa Abiel yang berarti napas kehidupan mencoba memberikan napas kehidupan bagi si bayi tidak berdosa, penuh rasa percaya diri akan pengetahuan dan keyakinan berlebihan tentang kebijaksanaan yang ada pada dirinya dia memutuskan agar Saroh tidak dapat dihukum mati sebelum bayi di dalam perutnya terlahir.

Sebagai keputusan yang terbaik adalah membiarkan wanita penyihir ini memperjuangkan hidupnya dan hidup bayinya sendiri, sehingga tidak perlu adanya perdebatan dan kebingungan antara orang-orang lagi.

Jika dia dan bayi nya meninggal, itu adalah dosa dan kesalahan dia, dan yang terpenting tidak ada sangkut pautnya dengan gereja sama sekali.

Begitulah keputusan yang diambil oleh Bapa Abiel yang dengan rasa lega diiakan oleh seluruh penduduk yang ada disana, dalam hati Bapa Abiel menyanjung betapa bijaknya dia, dan betapa pintarnya dia menjauhkan tanggung jawab merawat wanita dan anaknya yang seorang pendosa, tidak pantaslah dia sebagai orang suci untuk berurusan dengan para pendosa dan juga tidak sepantasnya sepeserpun uang gereja akan di berikan kepada pendosa menjijikkan ini jika dia yang merawatnya.

Malam berlalu dan semua orang pergi meninggalkan Saroh yang masih kesakitan penuh isak tangis, menangisi ibunya yang telah menghitam tinggal tulang sendirian di tengah-tengah kota yang dingin.

1
Sulis Tiani Lubis
negeri yang dibalik?
SAD MASQUITO: gimana? hahaha
total 1 replies
L'oreal ia
jadi bacaan cewek cocok, apalagi cowok.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja
Gregorius
thor, Lo gila kayak pas nulis ini
Anonymous
lupa waktu jadinya
hopitt
alur cerita penuh warna, tidak monoton, naik turun kayak mood gw wkwk
Kyo Miyamizu
cerita ini bikin segala macam perasaan muncul, dari senang sampai sedih. Gila!
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
total 2 replies
AmanteDelYaoi:3
Mendebarkan! 😮
SAD MASQUITO: terimakasih banyak, kakak pembaca pertama saya, akan saya ingat.
izin screenshot ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!