Istri Kecil Tuan Jonathan

"Apa Papa bilang kalau Papa tidak akan merestui kalian?" tanya Dika membuat Ega dan Catherine menatap pria paruh baya itu dengan mata berbinar.

"Papa hanya ingin mendengarkan apa alasan kalian berbohong dan menutupi hubungan kalian. Jadi, bisa kalian jelaskan?"

Ega pun menceritakan alasannya kepada Dika. Jujur, Dika memang kecewa dengan keputusan putranya itu. Tapi, sebagai orang tua, dia harus mencoba untuk memahami anak-anaknya.

"Sekarang, karena kami sudah mengetahuinya, kalian tidak perlu lagi menutupi semuanya. Dan sebagai seorang pria, kamu harus meminta restu dari orang tuanya jika ingin mengencani putri mereka. Papa tidak mau anak Papa menjadi pria yang tidak punya sopan santun."

"Kalian boleh melanjutkan hubungan kalian asalkan kalian juga mendapatkan restu dari orang tua Catherine."

"Om, bagaimana kalau restunya nanti saja?" tawar Catherine membuat Ega menepuk keningnya sendiri.

"Ega akan meminta restu orang tua Catherine secepatnya, Pa," putus Ega dengan sebelum Catherine berbicara lagi.

"Benarkah?" tanya Catherine yang mendapatkan anggukan penuh senyum dari Ega.

"Berarti, aku tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi saat ingin bertemu denganmu lagi bukan, Sayang?"

"Iya," jawab Ega dan Catherine langsung memeluk dan mengecup bibir Ega di hadapan semuanya.

"Dasar tidak punya malu," gerutu Nayla kesal dengan tingkah keduanya.

"Tapi, kenapa Om bisa datang kemari?" tanya Jonathan. "Apa Om ingin bertemu denganku? Apa ada hal yang ingin Om bahas denganku?"

"Tidak, Jo. Tadi Om bertemu teman Om disini," jawab Dika. "Saat Om mau pulang, Om malah melihat mereka berdua masuk kemari."

"Kalau begitu, Nayla pulang dengan Papa saja, ya?" tawar Nayla yang langsung mendapatkan penolakan dari Dika.

"Kamu tetap akan pulang dengan Jo. Dan tidak ada bantahan sama sekali."

Nayla langsung mengerucutkan bibirnya dan hal itu membuat Catherine tertawa. Dan hal itu semakin membuat mood Nayla rusak.

"Ya sudah, kalau begitu kalian lanjutkan saja kegiatan kalian. Papa mau kembali ke kampus untuk menjemput Mama kalian."

Hari-hari berlalu dengan cepat. Tidak terasa, Nayla sudah menyelesaikan kuliahnya dan hanya perlu menunggu wisuda saja. Tapi, sebelum hari itu tiba, Nayla harus melewati hari besar lainnya terlebih dahulu. Apalagi kalau bukan hari pernikahannya.

Saat ini, Nayla sudah tampil cantik dengan balutan gaun pengantin model sabrina. Tidak lupa dengan veil yang terpasang dan menutupi wajahnya.

Sedangkan Ega sudah menghadap dan meminta restu dari orang tua Catherine pada malam dimana hubungan keduanya terbongkar sehingga keduanya bisa berpacaran secara terang-terangan.

"Sayang," panggil Gina yang masuk bersama dengan Dika dan Ega ke kamar dimana Nayla dirias.

"Anak Mama cantik sekali." Gina menahan air mata yang hendak jatuh dari pelupuk matanya.

"Tentu saja, Ma," ucap Ega. "Tidak mungkin bukan kalau Nayla tampil jelek dihari pernikahannya. Semua wanita pasti akan cantik di hari pernikahan mereka."

"Kalau tidak, bukankah itu artinya MUA yang mendandani mereka sudah gagal?"

"Jangan membuat Nayla kesal di hari pernikahannya, Ega," ucap Dika menggelengkan kepalanya.

"Padahal kamu sendiri tadi Papa lihat sempat menangis sambil melihat foto kamu bersama dengan Nayla."

"Mata Ega tadi kelilipan, Pa. Ega bukan menangis," jawab Ega dengan tingkat gengsi yang tinggi.

"Kak Ega tidak sayang dengan Nayla?" tanya Nayla memancing Ega padahal sudah jelas jawabannya adalah iya.

Lebih tepatnya mereka saling menyayangi meskipun suka bertengkar. Anggap saja pertengkaran dan peradaban kecil itu sebagai bumbu untuk tali persaudaraan mereka.

"Kamu harus bahagia," ucap Ega alih-alih menjawab pertanyaan Nayla. "Jika suamimu berani menyakitimu, katakan kepada Kakak. Tidak peduli dia atasan Kakak, selama dia membuatmu menangis, Kakak tidak akan bisa membiarkannya. Kakak pasti akan membalas rasa kesalmu."

"Hem," jawab Nayla menahan air matanya.

"Jangan menangis. Nanti makeup mu luntur," ucap Ega dan mendapatkan anggukan dari Nayla.

"Sudah, jangan melo begini," ucap Dika. "Ingat, ini adalah hari besar Nayla. Mulai hari ini, Nayla akan memulai perjalanan baru dalam hidupnya jadi semuanya harus bahagia."

"Papa," panggil Nayla seraya memeluk Dika dengan erat.

"Ingat, kamu sudah menjadi seorang istri mulai hari ini. Kamu harus belajar melayani suami kamu dengan baik. Kamu juga harus mendengarkan perkataannya karena dia adalah kepala keluarga kalian." Dika membalas pelukan Nayla dengan tidak kalah erat.

"Iya, Pa," jawab Nayla.

Selain memeluk sang Papa, Nayla juga memeluk Gina dan Ega secara bergantian. Setelah itu, mereka segera menuju ke taman hotel dimana acara pemberkatan akan dilaksanakan.

"Sekarang kalian sudah sah sebagai pasangan suami istri," ucap Pastur yang memimpin pemberkatan pernikahan keduanya. "Untuk mempelai pria, dipersilahkan untuk mencium mempelai wanita."

Terdengar riuh suara tepuk tangan saat Jonathan membenamkan ciuman pertamanya sebagai seorang suami di kening Nayla setelah pria itu membuka veil yang menutupi wajah Nayla.

Ucapan selamat pun terus mengalir dari keluarga, sanak saudara dan teman yang menghadiri pemberkatan itu. Seraya menunggu acara resepsi yang juga akan dilaksanakan di hotel itu, lebih tepatnya di ballroom hotel, semuanya beristirahat dikamar yang memang sudah disiapkan untuk mereka karena hotel itu adalah hotel yang dimiliki oleh Cris dan telah berpindah tangan ke Jonathan.

"Huh, kenapa suasananya menjadi canggung seperti ini?" gerutu Nayla didalam hatinya. "Padahal, aku sudah biasa berdua dengan Kak Jo sebelumnya. Tapi, kenapa sekarang suasananya berbeda jauh?"

"Kenapa dia tidak bicara sama sekali sejak tadi?" tanya Jonathan kali ini dan tentunya juga hanya didalam hatinya. "Apa dia marah karena aku menciumnya dihadapan banyak orang tadi? Tapi, bukankah itu bagian dari prosesi pemberkatan?"

"Aku bisa g*la kalau lama-lama begini," lanjut keduanya serentak didalam hati masing-masing.

Tanpa mereka rencanakan, mereka beranjak dari posisi mereka secara serentak. Hal itu malah membuat keduanya saling melemparkan tatapan.

"Kamu mau ke kamar mandi?" tanya Jonathan mengalah kali ini. Apalagi status keduanya sudah berubah dan Nayla sudah menjadi istrinya mulai saat ini.

"Iya, Kak," jawab Nayla yang kemudian langsung berlari ke kamar mandi dengan mengangkat gaunnya meskipun harus sedikit kesusahan karena masih mengenakan gaun pemberkatan tadi.

"Hati-hati," ucap Jonathan karena tingkah sembrono istrinya itu.

"Lebih baik aku mandi dan menyegarkan diriku," ucap Nayla ketika wanita yang baru saja menikah itu tiba di kamar mandi.

"Mengenakan gaun ini ternyata tidak semudah dan secantik kelihatannya. Gaun ini cukup berat dan membuatku kesusahan berjalan. Untung saja aku tidak terjatuh tadi. Tidak lucu bukan kalau seorang pengantin terjatuh karena tersandung gaunnya sendiri."

Beberapa saat kemudian, Nayla masih belum kunjung mandi. Hal itu dikarenakan wanita itu masih belum berhasil membuka resleting gaunnya.

"Kenapa susah sekali membukanya? Bagaimana aku bisa mandi kalau seperti ini? Tidak mungkin aku meminta bantuan Kak Jo, bukan?"

Karena tidak ada pilihan lain, Nayla terpaksa keluar untuk menemui Jonathan dan meminta bantuan kepada pria itu.

"Kak, bisakah Kakak membantuku sebentar?" tanya Nayla.

"Ada apa?" tanya Jonathan meletakan ponselnya.

"Bisakah Kakak membantuku membuka ini?" Nayla membalikkan tubuhnya sehingga Jonathan punggung mulus Nayla. "Aku sudah mencobanya tapi tidak berhasil juga. Aku gerah, mau mandi."

"Baiklah." Jonathan mendekat kearah Nayla dan meraih resleting gaun istrinya itu.

"Mulus juga punggungnya," ucap Jonathan didalam hatinya sementara jantungnya sudah tidak karuan lagi. Begitu juga dengan Nayla yang jantungnya berdebar dengan kencang.

"Apa sudah selesai, Kak?" tanya Nayla setelah berhasil menormalkan jantungnya seraya memegangi gaun bagian depannya agar tidak melorot.

"Sudah," jawab Jonathan tersadar dari pikirannya.

Saat hendak berlari untuk ke kamar mandi, Nayla justru tersandung. Dengan cepat, Jonathan meraih tubuh Nayla sehingga wajah keduanya yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja.