Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.
Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Mimpi
"Kembalikan bungaku, Cashel!"
Gadis itu bersusah payah melompat untuk mengambil setangkai bunga mawar cantik berwarna merah dari tangan Cashel. Lelaki yang kini tumbuh tinggi melampaui Finley itu tertawa puas melihat ketidakmampuan Finley untuk menjangkau bunga mawar pada genggamannya.
Lelaki itu telah menjemput janjinya.
5 tahun telah berlalu. Finley berusia 18 tahun dan Cashel 17. Mereka berhasil bertahan dari banyaknya marabahaya. Bocah 13 dan 12 tahun itu kini beranjak remaja akhir. Keduanya tumbuh tinggi. Terutama Cashel. Jarak tinggi mereka hampir 10 sentimeter. Bukan berarti Finley pendek. Ia termasuk tinggi, hanya saja Cashel yang tumbuh terlalu tinggi. Di luar perkiraan Finley bahkan Cashel sendiri.
Seminggu setelah kejadian penyerangan kelelawar raksasa itu, Finley sendiri yang melindungi dirinya sekaligus Cashel. Seorang lelaki yang masih patah kaki ditambah tombaknya yang dibawa kelelawar raksasa entah ke mana. Untungnya, selama seminggu itu tidak ada ancaman berarti dari hewan buas. Bukan berarti mereka aman-aman saja. Beberapa hari, Finley bertemu kawanan anjing. Beberapa ekor. Cukup sendiri. Ia mampu mengatasinya.
Setelah itulah, mereka menemukan mayat kelelawar raksasa. Di kakinya tertancap tombak. Tidak salah lagi, itu adalah kelelawar yang pernah menyerang mereka. Dengan begitu, Cashel mendapatkan senjatanya kembali. Ia sedikit bisa membantu Finley walaupun kakinya belum bisa digunakan untuk berjalan.
"Ambillah kalau bisa!"
Mereka berada di tanah penuh bebatuan. Dengan sungai mengalir di antaranya. Beberapa tahun lalu, mereka menemukan sungai itu. Sejak itu, mereka mulai melangkah mengikuti aliran sungai. Sampai sekarang. Dengan begitu, mereka tak perlu khawatir lagi kehausan.
"Hei! Bunga itu untuk perempuan. Laki-laki menginginkan bunga tanpa keinginan untuk diberikan ke wanita itu pertanda ia banci!"
"Aku tidak menginginkan bunga, nona. Aku hanya ingin melihat wajah marahmu yang merah padam."
"KEMBALIKAN!"
DHUAKKK!
Muak dengan kejahilan Cashel, kesabaran Finley habis hingga ia menendang perut Cashel hingga jatuh ke belakang. Pada saat itulah Finley merebut bunga mawarnya. Namun, karena masih digenggam erat oleh Cashel, kelopak bunga mawar itu menjadi berguguran.
DHUAKKK!
Tendangan kedua. Sebagai pelampiasan rasa kesal karena bunganya hancur.
"Cashel, bodoh!"
Lelaki yang beranjak remaja akhir itu memegang perutnya yang terkena tendangan super Finley.
"Rasakan itu!"
"Tendangan lemah macam apa itu? Aku saja terheran, mengapa kau masih bisa bertahan hidup sampai sekarang dengan kekuatan lemah seperti itu," Cashel berseru ketus.
Finley menyeringai, "Lemah? Apa kau lupa? Aku pernah menggendongmu selama 5 bulan. Ketika kakimu kehilangan fungsi untuk berjalan hanya karena terjatuh dari kaki kelelawar raksasa."
"Tentu. Itu adalah jasa yang tidak akan aku lupakan sampai kapan pun dan aku sangat berterima kasih karena itu."
Serangan kelelawar raksasa itu bukanlah sekali mereka alami. Berkali-kali. Bahkan tidak hanya satu-dua ekor. Terbanyak adalah sampai 5 ekor. Itu baru-baru mereka alami. Kurang dari seminggu yang lalu.
Saking seringnya, kini mereka mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kelelawar raksasa itu. Sekaligus sebagai alas kaki. Tak hanya kelelawar raksasa. Kulit hewan-hewan lain pun tetap dimanfaatkan. Termasuk menjadi kantong bekal dan selimut.
Air sungai mengalir deras. Menghibur dua pengembara tangguh itu. Keduanya bukan anak kecil lagi. Tumbuh di sela perjalanan panjang. Menantang maut. Tanpa kejelasan ke mana tujuan mereka. Namun, mereka tahu apa tujuan mereka. itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan agar tetap hidup bersama usaha.
"Lihatlah, pendek sekali kau!" Ejek Cashel.
"Setidaknya, aku pernah lebih tinggi darimu!"
"Itu dulu dan tidak akan kembali. Sementara aku, akan selalu lebih tinggi seterusnya. Kita tidak jadi mati dalam keadaan kau yang masih lebih tinggi, bukan!?"
...****************...
"Lima... Enam, tidak. Itu belasan ekor," ucap Cashel sambil berbisik.
Keduanya bersembunyi di balik semak-semak. Di malam hari. Api unggun menyala. Memperlihatkan sosok mengerikan yang datang. Tepatnya di udara.
"Apakah kali ini kita akan mati?"
"Lima tahun berlalu dan kau masih saja belum pintar?"
"Itukah kata-kata terakhirmu? Mengejekku sampai akhir hayatmu."
Napas berat sebab ketegangan terdengar. Juga degup jantung. Selama ini, sudah tidak terhitung berapa kali mereka melawan bahaya. Namun, kali ini mereka melihat sosok hewan raksasa yang satu saja sulit dikalahkan. Mereka memang pernah mengalahkan paling banyak sekali. Satu kali. Beberapa hari lalu. Bahkan luka-luka yang mereka peroleh belum kering. Sekarang, terlihat berterbangan di udara. Jauh lebih banyak dari itu. Belasan hewan raksasa mirip kelelawar. Itulah mengapa Finley pasrah mempertaruhkan nyawanya.
"Diam saja. Mereka akan pergi. Maka kita selamat tanpa perlawanan," ucap Cashel.
"Apakah itu berarti sembunyi atau mati?"
Lelaki itu menatap tajam pada Finley. Kalimat yang dilontarkannya memang bisa bermakna itu.
"Keselamatan akan selalu menyertai kita. Masih banyak mimpi yang masuk ke dalam lelapku dan itu belum terwujud."
"Bukankah tidak semua mimpimu berarti kenyataan?"
"Benar. Tapi aku yakin beberapa di antaranya memang akan menjadi nyata. Jika kita mati, siapa yang akan menjemput mimpi itu?"
"Bagaimana jika yang menjemput mimpi itu salah satu dari kita karena salah satu yang lain telah mati karena hewan raksasa itu."
"Itu tidak akan terjadi. Menurutlah. Jangan ulangi kesalahan yang dulu hingga membuat persembunyian kita ketahuan. Lagipula, kau pikir sudah berapa lama kita menjelajah. Lihat, kita sudah besar sekarang. Langkah kita menjadi saksi pertumbuhan itu. Kita bukan lagi dua bocah ingusan. Kita sekarang sudah bertambah kuat dan lebih kuat lagi."
"Aku mau mengakui satu hal, Cashel."
"Apa?"
"Aku khawatir kau kenapa-napa. Aku tahu selama ini kita terus bertengkar dan tak mau menganggap masing-masing adalah teman. Walaupun berkali-kali aku keceplosan mengatakan kita teman di saat terjepit."
KYAKKK!
Suara bising melintas di atas kepala Finley dan Cashel. Spontan mereka langsung tengkurap di balik semak-semak.
Lengang sejenak. Menyisakan suara aliran sungai dan deru napas ketegangan. Cashel merasakan tubuh Finley yang gemetar.
"Perkataanmu seperti orang yang hendak menjemput ajal saja, Finley. Kita akan selamat. Pegang omonganku," Cashel berbisik.
Ujung mata Finley berair. Setangguh apa pun selama ini, jelas masih punya batasan untuk bisa merasakan ketakutan. Terutama dengan kawanan hewan raksasa yang seperti di luar batas kemampuan. Itu merongrong rasa pasrah yang menggeluti.
"Kita, akan menemui ayahku dan desa yang besarnya berkali-kali lipat dari desa Hyacinth?" tanya Finley dengan mata berkaca-kaca.
"Iya."
KYAKKK!
Satu lagi hewan raksasa mirip kelelawar yang melintasi mereka. Bukan lagi di atas kepala, melainkan merobek semak-semak persembunyian.
Dengan kecepatan dan insting bertahan hidup yang kuat, mereka berguling-guling menjauhi serangan.
Seharusnya, hewan raksasa itu tidak mengetahui keberadaan Finley dan Cashel. Akan tetapi, tanpa sengaja salah satunya merobek semak-semak persembunyian mereka. Alhasil, selamat tanpa perlawanan tak jadi terwujud.
Belasan hewan raksasa terbang mengitari udara. Aroma pertarungan yang pekat. Api unggun mulai redup. Cashel segera melemparkan kayu-kayu dan Finley menambahkan dedaunan kering agar api itu menjadi terang. Mereka butuh cahaya untuk bertarung di malam hari.
"Ketahuan juga, ya. Bahkan di saat aku tidak lagi berbuat kesalahan," ucap Finley di sela rasa takut.
KYAKKK!
KYAKKK!
KYAKKK!
KYAKKK!
KYAKKK!
Suara hewan raksasa itu silih bersahutan. Berisik sekali hingga Finley menutup telinga.
Wajah Cashel berubah serius. Mata tajam seperti mata kucing itu menautkan harapan besar demi mewujudkan lontaran kata yang diucapkan kepada Finley. Padahal, hati kecilnya ragu sekali. Nyaris tak yakin bisa mengalahkan semuanya. Ia juga merasakan pasrah bahwa pertarungan kali ini akan membunuhnya.